Bukti Nyata Sultan Kutai Kartanegara Turunan BUGIS

Pada tahun 1705 Aji Pangeran Adipati Tua kawin dengan Putri Karaeng Baturombo Putri Sultan Tallo Mangkubumi Sultan Gowa di Makassar hingga 25 Tahun kemudiaan orang Bugis dari Kerajaan Wajo di pimpin Petta Sebenggareng dan Pangeran Terawai meminta ijin membuka hutan di Mangku Jenang di jaman Aji Dipati Anom (Aji Mangkurat).

Petta Sebenggareng anak La Maddukelleng juga menjadi Matowa Wajo Singkang dan Sirendereng dan Paniki hingga hubungan keluarga di ikat dengan perkawinan Aji Pangeran Idris (Sultan Aji Mohammad Idris) dengan I Doja Petta Senggeng Ri Saiman (Putri Adin Duyah) ketika Aji Pangeran Idris Menjadi Sultan dan Putri Adin Duyah bergelar Aji Putri Agung melahirkan Aji Imbut, dan Aji Kengsan (Aji Intan) sehingga orang bugis senantiasa melindungi Kesultanan Kutai Kartanegara yang dipimpin Aji Idris yang meninggal di Wajo hingga terjadinya kemelut keluarga.

Antara Asmara dan Tahta selalu menjadi rebutan dan hal terselubung di balik kisah tahun 1738 setelah menjadi Dewan Perwalian sebelumnya Aji Kado kakak Sultan Aji Moh Idris yang Lahir dari Keturunan Maharaja di Muara Kaman yang Tinggal Di Muara Bengkal bernama Maharaja Marga Nata Kusuma memiliki anak bernama Dane Jonget merupakan Ibu Kandung Aji Kadoyang naik Tahta menjadi Sultan ke 2 Kesultanan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Mohammad Aliyiddin memperisteri I Doja Petta Senggeng Ri Saiman (Putri Adin Duyah) Aji Putri Agung bertahta sangatlah lama.
Hingga pada tahun 1752 orang Bugis Wajo Po Ado (Po Adi) La Sawedi Daeng Sitabba dari Mangku jenang pimpinan orang Bugis di Segara seberang Samarinda yg di beri hukum Astorika persetujuan perjanjian Kepangeranan Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC, membawa orang Sulu Kebuntalan dari Philipina Pimpinan Dato’ Tan Prana Lela pergi menyerang Kota Pamerangan (Jembayan) senagai pusat Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kala itu.
Hingga pada tahun 1764 Sultan Aji Mohammad Aliyiddin mengadakan perjanjian kerjasama dengan VOC dalam menghadapi perang antara VOC dengan Kesultanan Berau namun hal tersebut dilatari dari Perjanjian Sultan Tamjillah II Sultan Banjar yang menyerahkan Kesultanan Kutai pada VOC hingga pada tanggal 29 Mei 1809 Pemerintah Inggris membuat surat keputusan agar VOC meninggalkan Banjarmasin dan baru di tahun 1812 Kesultanan Kutai Kartanegara Resmi sebagai Bawahan dari Residen Inggris bernama A. Hare berkedudukan di Banjarmasin.

Melihat hal ini terjadi di kutai maka dalam tahun 1778 Po Adi mengirim Nachoda Lambai dan adiknya La’ Made Daeng Punggawa serta pemuka agama Sajid Alwi bin Hosen Al’ Mardjak menjemput Aji Ibut yang saat itu telah menjadi Petta Tjakurdi di Kerajaan Wajo dan telah beristeri Pua’ Areng dating di Segara Mangku Jenang Samarinda seberang pada tahun 1779 hingga tahun 1780 Aji Imbut di nobat Sultan ke 3 Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Saat itu Sultan Aji Aliyiddin masih berkuasa sebagai Sultan Kutai Kartanegara dan Ibu Aji Imbut masih menjadi Aji Putri Agung yang di jaga ketat oleh orang bugis dan Sultan Aji Mohammad Aliyiddin di tangkap dan di hukum krenet mati tampa mengeluarkan darah di ikat dengan tajong.

Aji Imbut menjadi Sultan Kutai Kartanegara di bawah kekuasaan Residen Inggris atas kontrak Sultan Banjar tahun 1814 dan baru kembali Ingris melakukan kontrak dengan VOC dalam perjanjian Convrensi Van Londen tanggal 1 Januari 1817 maka Sultan Banjar Menyerahkan Kesultanan Kutai Kepada VOC dan perjajian tersebut ditandatangani Sultan Aji Muhammad Salehuddin selaku Sultan Kutai Kartanegara dan G. Muller selaku Residen di Banjarmasin serta mengankat Civiet Gezeg Hebber bernama H. Van Dewall sebagai Assisten Residen untuk berkedudukn di Kutai.

Hal ini berdasarkan laporan dari Assisten Residen Dewell dan S.C Knappert tahun 1825 dengan adanya pembunuhan terhadap G. Muller seorang Residen di luar Batas wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara yaitu di bunuh di Muara Kaman oleh kaki tangan Raja Kutai yang berada disana.

Hingga dalam tahun 1827 sampai tahun 1828 pemerintah Ingris mengirim Jhon Dalton guna menyelidiki daerah Kerajaan Kutai (Muara Kaman) hingga pada tahun 1842 Ingris Datang lagi ke kutai membawa 2 buah kapal perang bernama Young Queen dan The Anna yang dipimpin oleh Kapten Nachkoda Murry dan Tuan Thomas Nelson mereka bermaksud membeli sebidang tanah di Samarinda dan meminta persetujuan untuk ke pedalaman Mahakam yaitu ke Muara Kaman namun saat itu Sultan Kutai Kartanegara sedang tidak di tempat dan pada tanggal 28 Februari 1842 Kapten Nachkoda Murry ke Tenggarong menemui Sultan Kutai Kartanegara.

Menurut berita surat kabar harian Hongkong “Friend of Cina” senbenarnya Hindia Belanda mengetahui kejadian yaitu Inggris mengirim Angkatan Perang Lautnya guna membalas perbuatan kematian G. Muller seorang Residen yang di bunuh Raja Kutai di Muara Kaman tapi Hindia Belanda sudah memperingatkan Pemerintah Inggris yang ingin menyerang wilayah kedaulatan Hindia Belanda berdasarkan perjanjian tahun 1824 hingga Ingris meninggalkan Samarinda.

Pada bulan Maret 1844 pemerintah Hindia Belanda mengirim angkatan perang lautnya dari kota Makassar dipimpin oleh Letu Hofd dan tiba di Tenggarong pada tanggal 7 April 1844 mereka diperintahkan untuk menembaki Kota Samarinda Seberang dan Tenggarong hal ini dilakukan sehingga Panglima Kalamenteri Awang Suji Diselerong (Awang Long) gugur dan Sultan Kutai Lari ke Kota Bangun dan peristiwa inilah Kesultanan Kutai Kartanegara terpaksa menandatangani surat perjanjian Tepian Pandan Tractat antara Hindia Belanda dan Sultan Kutai Kartanegara yang menyatakan Kedaulatan Hindia Belanda Penuh dalam Kesultanan Kutai Kartanegara.

#kaji Sejarah
Reporter NN |RED.WBN NN
Kamis(12/09)

Share It.....