warisanbudayanusantara.com  | Secara pribadi sebenarnya rasa tresno saya pada Presiden Jokowi mengalami pasang surut. Pada kenyataannya, ia memang beberapa kali membuat kekeliruan langkah yang bisa berdampak fatal. Dan saya termasuk yang menyimpan marah di dalam hati saat itu terjadi. Ini rasa marah yang muncul karena ada rasa sayang, ada harapan besar. Momen yang paling membuat saya marah adalah saat pembentukan Kabinet di masa jabatan Presiden yang kedua. Mengapa saya marah? Saat itu Presiden Jokowi tidak menggunakan rasa sejatinya, malah terjebak dalam perhitungan secara pikiran, dan tak bisa menghindar dari tekanan kanan kiri. Saya menyaksikan pada saat itu, Wahyu Keprabon sempat lepas. Selama beberapa bulan pasca pelantikan anggota Kabinet II, suasana di Istana cenderung panas, dan kemudian banyak keputusan yang memicu kontroversi.

Namun saya tidak punya bakat jadi tukang nyinyir dan protes. Jadi meski marah ya saya diam, saya terima semuanya sebagai dinamika yang wajar Saya lalu sibuk dengan perjalanan ke berbagai negara, menjalankan peran secara energi pada tataran global.

Namun, Presiden Jokowi ini memang banyak karna baiknya. Ada satu karakter yang selalu menyelamatkannya. Apakah itu? Pada dasarnya ia adalah pribadi yang selalu tulus. Ketulusan itu yang melandasi kerjanya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia. Ketulusan itu yang membuat Presiden Jokowi selamat. Tanggal 2 Januari 2020, saat saya meditasi di Monas, pasca Jakarta kebanjiran, saya menyaksikan Wahyu Keprabon kembali dianugerahkan kepada Presiden Jokowi.

Setyo Hajar Dewantoro

Wahyu Keprabon adalah simbol dukungan secara kosmik bagi seseorang yang menduduki jabatan kepemimpinan publik. Ia memastikan seorang pemimpin bertindak dan mengambil kebijaksanaan sesuai hikmat kebijaksanaan. Maka, sejak 2 Januari 2020 itulah Presiden Jokowi kembali menjadi sosok Satria Pinandhita. Jiwanya konsisten di dalam kejernihan, ia memimpin tak hanya dengan rasionya tetapi juga dengan rasa sejatinya.

Share It.....