WBN-FLORES TIMUR -Etnis Boru atau biasa disebut dengan Boruk Tana Bojang Kebo Kilibatu merupakan salah satu etnis yang mendiami Desa Boru dan Boru Kedang, Flores Timur, NTT yang hingga kini masih melestarikan dan menjujung tinggi warisan budaya leluhurnya. Salah satunya adalah ritual Rik Ekok.
Sejatinya ritual Rik Ekok merupakan ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan Leluhur Lewotana atas hasil yang melimpah. Ritual tersebut juga dipercaya dapat memberikan kesehatan dan kelancaran rezeki.
Kali ini Ritual penuh khidmat dan kebersamaan itu diselenggarakan oleh salah satu anggota dari Suku Liwu dan Suku Lewar di kebun miliknya di Desa Boru, Selasa (24/08/2021)
Ritual ini melibatkan semua sanak saudara serta para pemangku adat Etnis Boru serta para tamu undangan.
Para tetua saling sahut menyahut melantunkan doa dengan syair-syair adat, suasananya terasa sangat khidmat dan sakral. Setelah melantunkan doa, satu per satu hewan kurban pun disembelih.
Generasi Muda pemerhati budaya Etnis Boru, Pangkrasius Gala Liwu menerangkan, ritual tersebut didahului dengan proses menggoreng padi, menumbuk untuk dijadikan emping. Pada proses ini juga dilaksanakan ritus mengundang dan meminta restu leluhur untuk hadir bersama pada kegiatan tersebut.
Pada proses ini ritual perdamaian pun dilakukan dengan menyantap siri pinang yang disebut “Tekan Wua Malu” Ta’a, sebagai simbol perdamaian dan pemersatu Etnis Boru.
Ditambahkannya, daging disertai dengan emping dibagikan kepada segenap sanak saudara serta tamu dan warga suku yang hadir dalam ritual tersebut. Emping dan daging tersebut disimpan dalam sebuah wadah dari daun yang disebut sebagai Mumet atau Teet.
Pangkrasius mengajak kepada generasi muda agar tetap melastirakan ritual tersebut, sebagai wujud syukur terhadap Sang Pencipta, luluhu dan sebagai wujud Nasionalisme kepada bangsa dan tanah air Indonesia.
“Saya mengajak kepada generasi muda, bahwa kita berbudaya, kita mempunyai religius, kita mempunyai harga diri. harus berpegang teguh terhadap budaya kita. Tradisi ini tidak boleh punah. Mari kita ikuti proses ini, kita pelajari, kita hayati. Budaya ini hidup dan tumbuh di bumi kita sendiri,” ajak Pangkrasius.
**Atten