ASAL USUL LAHIRNYA KABUPATEN KUNINGAN JAWA BARAT

Nah begitupun dengan kasus Kuningan, Arya Kemuning itu nyatanya Anak Sunan Gunung Jati sendiri yang dipersiapkan untuk menjadi Adipati Kuningan. Dahulu gelar Adipati itu tidak sembarang orang, harus keturunan Raja Pusat atau minimal Sudara dekat, kan begitu.

Lalu, kenapa Kuningan tidak dibuat kesultanan dan pusat penyebaran Islam di Sunda juga macam banten. Pembentukan Keadipatian Kuningan Ini sebagi Benteng Cirebon dalam menghadapi kerajaan Galuh yang berpusat di Kawali (Sekarang Ciamis), Sehingga dengan adanya Kuningan yang Pro Cirebon, serbuan Kerajaan Galuh sebelum masuk ke pusat Kesultanan Cirebon dapat terlebih dahulu ditangkal oleh Kuningan.

 

Dalam sejarah Kabupaten Kuningan diputuskan bahwa hari jadi Kab Kuningan yaitu pada 1 September 1498 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kuningan Nomor 21/Dp.003/XII/1978 tanggal 14 Desember 1978. Tahun tersebut didasarkan pada tahun dimana Arya Kemuning diangkat menjadi Adipati yang memerintah Kuningan dibawah Kesultanan Cirebon. Selain itu dalam legenda atau cerita-cerita yang berkembang dikuningan, dikatakan bahwa Arya Kemuning dan Pangeran Kuningan itu adalah dua orang yang berbeda. Tapi anehnya dalam naskah-naskah Cirebon tidak demikian, Arya Kemuning ya Pangeran Kuningan satu orang, anak Ong Tien itu.

 

Pangeran Arya Kemuning atau Pangeran Arya Adipati Kuningan juga mempunyai nama lain Suranggajaya. Suranggajaya mewarisi nama Arya Kemuning dari Bratawijaya. Kemudian, sesuai pesan Syekh Syarif Hidayatullah, Suranggajaya dinobatkan sebagai Adipati Kuningan, menggantikan Ratu Selawati (Ratu Kerajaan Kuningan). Penobatan ini dilakukan pada tanggal 1 September 1498 Masehi. (Sejak tahun 1978, hari pelantikan Suranggajaya menjadi Adipati Kuningan itu ditetapkan sebagai Hari Jadi Kuningan sampai sekarang.) Sebagai Adipati, Suranggajaya menggunakan nama Pengeran Kuningan bergelar Pangeran Arya Adipati Kuningan.

 

Sedikit kisah penobatan Suranggajaya atau Pangeran Arya Kemuning saat dinobatkan oleh kanjeng Sunan Gunung Jati.

 

“Pagi itu cuaca cerah, angin bertiup sepoi-sepoi di pendopo keraton Pakungwati Cirebon dengan iringan gending gamelan mendayu-dayu.

 

Seorang pria muda gagah dan tampan duduk bersila tepat di hadapan singgasana Sultan. Wajahnya tampak berwibawa dan sedikit tegang sekaligus menyimpan bahagia. Di kanan dan kirinya berjejer Menak (ningrat) yang dikawal beberapa para prajurit. Suasana ruangan begitu sakral dan khidmat.

 

Tak lama kemudian muncul kanjeng Sinuhun Sunan Gunung Jati sambil tersenyum lalu duduk di peraduannya. Sontak seisi ruangan memberi salam kehormatan.

 

“Hari ini aku penuhi janji kepada anakku, Arya Kamuning”, Aku angkat engkau Bertahta di Kuningan dengan gelar Sang Adipati’, kata Sinuhun Sunan Gunung Jati”.

 

Mungkin begitulah suasana ‘pelantikan’ Adipati Kuningan Arya Kemuning di istana Pakungwati pada saat itu sebelum 521 tahun ini.

 

Konon, peristiwa penting ini terjadi pada 14 Suro tahun setempat yang bertepatan dengan 1 September 1498, dan menurut tanggal tersebut adalah jatuh pada hari Sabtu.

 

Saat itu, Kuningan merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Pakungwati Cirebon pimpinan kanjeng Sunan Gunung Jati.

 

Arya Kamuning alias Suranggajaya alias Bratawiyana dalam versi lain ialah anak Ki Gedeng Luragung.

 

Menurut cerita lisan, ia menjadi anak angkat Sunan Gunung Jati untuk ‘mengobati’ kesedihan istrinya yang mengalami keguguran.

 

Selepas pelantikan, Arya Kamuning yang menunggangi kuda putih, Si Windu bergegas kembali ke Luragung. Sang Adipati ditemani Ewangga yang di kemudian hari menjadi Panglima Perang-nya.

 

Mula-mula Sang Adipati menggabungkan Luragung dengan Kajene menjadi satu yakni Kuningan.

Lalu ia membangun kekuatan militer yang cinta damai khususnya pasukan berkuda atau”kavaleri”.

Nah dengan pasukan inilah, Keadipatian Kuningan banyak membantu Sunan Gunung Jati dalam penyebaran ajaran Islam terutama wilayah selatan Priangan seperti Ciamis,Tasikmalaya, Banjar, Pangandaran, dan Garut.

 

Adipati Kuningan melalui Ewangga juga turut membantu Kesultanan Demak ‘mendatangi’ Kesultanan Banten. Kemudian menyerbu Portugis di SundaKalapa .

 

“Ia juga sempat bersitegang dengan Arya Wiralodra, penguasa Indramayu. Namun ketegangan tersebut berhasil diredakan oleh Sunan Gunung Jati”, menurut cerita E. Mungal, abdi dalem keraton Kasepuhan Cirebon.

 

Semasa tak ada perang, Arya Kamuning menata kehidupan rakyatnya terutama sektor pertanian. Saat itu umumnya masyarakat Sunda di Kuningan masih menggunakan Huma (sawah kering) untuk menanam padi.

 

Lalu Sang Adipati melakukan revolusi hijau dengan memadukan konsep pertanian dari Demak dan Mataram yakni sawah basah seperti yang kita tahu saat ini.

 

“Kontur wilayah Kuningan yang berbukit-bukit mengakibatkan sawah menjadi bertingkat-tingkat” (terasiring).

Tak hanya padi sawah, Sang Adipati pun memperkenalkan sumber pangan baru yaitu

Boled atau umbi tanah/ubi jalar.

Konon, ide ini muncul tatkala beliau berkunjung ke kaki gunung Ciremai di sekitar Lembah Cilengkrang . Pangeran Arya Kamuning kemudian mendapatkan ‘areuy’ atau bibit Boled tersebut yang kemudian ditanam di sawah”

 

Dalam setiap melakukan perjalanan, Suranggajaya memakai nama Arya Kemuning.

Hampir semua versi menyebutkan bahwa Arya Kemuning adalah anak atau anak angkat Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien Nio atau Ang Liong Tin. Namun apabila ditilik dari babad peteng (sastra suram, yang sengaja digelapkan agar tidak diketahui umum) maka akan lebih terlihat hubungan kekerabatan yang sesungguhnya.

 

Beberapa tempat di sekitar Ciayumajakuning (Cirebon-Indramayu-Majalengka-Kuningan), dalam sejarah pembentukannya banyak yang menyebut nama Arya Kemuning.

Satu di antara tempat itu adalah Arjawinangun. Arjawinangun berasal dari kata Harja (bahagia atau puas) dan Winangun (berkarya, membangun, bekerja atau melaksanakan tugas). Konon Arya Kemuning beristirahat di sini sepulang mengemban tugas dari Sunan Gunung Jati. Tugas yang diberikan adalah menyampaikan undangan kepada Suryadarma di Indramayu, agar menemui Sunan Gunung Jati di Cirebon.

 

Mundur ke belakang, kembali saat Putri Ong Tien Nio atau Ong Tien atau Ang Liong Tien berlayar menyusul Syekh Syarif Hidayatullah ke Cirebon.

Sepulang dari Cina, Syarif Hidayatullah mengembangkan ajaran Islam di Pesantren Amparan Jati, Gunung Jati, Cirebon, menggantikan Syekh Nurjati atau Syekh Dzatul Kahfi.

 

Sementara itu, Nyi Indang (Endang) Geulis (istri Pangeran Cakrabuana) beserta putrinya, Nyi Mas Pakungwati, datang menemui Syarif Hidayatullah di Amparan Jati. Nyi Indang Geulis menyerahkan titipan kandaga yang berisi surat dari Pangeran Cakrabuana. Pada kesempatan ini, Syekh Syarif Hidayatullah memperistri Nyi Mas Pakungwati.

 

Memasuki Wilayah Laut Jawa, di sekitar Kepulauan Seribu, kapal Putri Ong Tien diterjang ombak badai. Kapalnya karam di dekat sebuah pulau, yang kemudian disebut sebagai Pulau Balik Layar. Sang Putri dan beberapa ABK yang selamat terdampar di sebuah pulau, yang kemudian dinamakan Pulau Putri. Kelak kedua pulau itu menjadi tempat persembunyian Pasukan Sandi Pangeran Jayakarta yang dipimpin oleh Adi Patih Keling dan kawan-kawan, dalam menyerang benteng Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa, membantu pasukan Fatahillah atau Faletehan atau Fadillah Khan yang melalui darat.

 

Dengan waskitanya, Syarif Hidayatullah mendapat petunjuk dari Allah dan mengetahui kejadian tersebut. Syarif Hidayatullah berangkat menjemput Sang Putri yang terdampar di Kepulauan Seribu. Syarif Hidayatullah telah memaafkan Putri Ong Tien dan ayahnya Sang Kaisar Cina. Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah menikahi Putri Ong Tien dan menetap di Gunung Jati.

Tak berapa lama kemudian, Putri Ong Tien diungsikan dan dititipkan ke Ki Lurah Agung (atau Ki Gedeng Lura Agung atau Ki Gedeng Luragung), ke tempat yang kemudian dinamakan Luragung. Ki Gedeng Luragung terlahir dengan nama Raden Jayaraksa atau Raksa Jaya Menggala atau Surajaya Menggala atau Sura Dijaya atau Sura Menggala. Di tempat ini, Ki Gedeng Luragung membawa serta anaknya yang bernama Sura Anggajaya atau Suranggajaya.

 

Jayaraksa (Ki Gedeng Luragung) adalah anak ketiga, setelah Raden Bratawijaya dan Ratu Selawati. Mereka bertiga adalah cucu Prabu Siliwangi. Artinya masih sepupu tiri Syekh Syarif Hidayatullah (dari nenek tiri), atau ponakan tiri Pangeran Cakrabuana (dari ibu tiri). Bratawijaya, Ratu Selawati dan Jayaraksa adalah anak dari Prabu Surawisesa atau Guru Gantangan (saudara tiri Cakrabuana) dengan Mayang Kuning (anak Prabu Langlangbuana).

Prabu Langlangbuana (pewaris Kerajaan Kuningan Hindu) adalah menantu Prabu Dewa Niskala, berarti ipar Prabu Sribaduga atau Prabu Siliwangi. Berarti Bratawijaya, Ratu Selawati dan Jayaraksa, adalah cicit Prabu Dewa Niskala baik dari pihak ibu maupun ayah.

Prabu Langlangbuana kemudian mewariskan nama Pangeran Langlangbuana kepada Cakrabuana. Cakrabuana hanya dikenal sebagai Pangeran Langlangbuana di daerah Kuningan saja, dan dianggap sebagai ayah angkat dari Bratawijaya, Ratu Selawati dan Jayaraksa. Karena mereka bertiga di-Islam-kan oleh Pangeran Cakrabuana (Uwak tiri mereka). Sedangkan warisan tahta Kerajaan Kuningan dari Prabu Langlangbuana jatuh kepada Mayang Kuning (putrinya), kemudian berlanjut kepada Ratu Selawati (cucunya).

 

Setelah Ratu Selawati menganut agama Islam kemudian menikah dengan Syekh Maulana Arifin. Syekh Maulana Arifin adalah juga keturunan Prabu Dewa Niskala. Ibu Syekh Maulana Arifin adalah Nyi Wandansari. Nyi Wandansari adalah putri Raden Surayana. Raden Surayana adalah adik Prabu Siliwangi, anak Prabu Dewa Niskala.

 

Ayah Syekh Maulana Arifin adalah Syekh Bayan (atau Syekh Bayanullah) dari Mekkah, yang rumahnya disinggahi oleh Walangsungsang dan Rara Santang saat mereka menunaikan ibadah haji. Syekh Bayan adalah sahabat Syekh Datuk Kahfi (atau Dzatul Kahfi), yang sudah dianggap adik oleh Syekh Datuk Kahfi. Syekh Bayan kemudian dikenal pula dengan nama Syekh Maulana Akbar pendiri pesantren pertama di Kuningan di wilayah Kajene, di sekitar Desa Sidapurna sekarang. Itulah sebabnya pusat pemerintahan Kuningan kemudian pindah ke Kajene. Karena dekat dengan Pesantren Syekh Maulana Akbar.

 

Dari tokoh-tokoh inilah terjadi berbedaan versi tentang siapa Arya Kemuning atau Pangeran Kuningan, Sang Adipati.

 

Versi 1: Arya Kemuning adalah nama lain dari Bratawijaya.

Versi 2: Arya Kemuning adalah anak dari Ratu Selawati dengan Syekh Maulana Arifin.

Versi 3: Arya Kemuning adalah Suranggajaya.

Versi 4: Arya Kemuning adalah bayi dari kandungan Putri Ong Tien.

 

Tampaknya, versi ke-4 adalah yang paling banyak diketahui khalayak umum. Apalagi pada versi ketiga, nama Suranggajaya hanya terdapat pada Babad Peteng. Meskipun kemudian nama Suranggajaya mulai dikenal pula pada sejarah Kuningan. Nama “Suranggajaya” di Kuningan Mengapa Tidak Populer ?

Pengurai kekusutan ini, ada pada kelanjutan cerita Syarif Hidayatullah mengungsikan dan menitipkan Putri Ong Tien kepada Ki Gedeng Luragung pada Babad Peteng.

 

Dalam pengungsian di kediaman Ki Gedeng Luragung, Syarif Hidayatullah dan Putri Ong Tien Shalat Hajat dan bermunajat kepada Allah. Kemudian Syarif Hidyatullah mendekat ke arah Putri Ong Tien, dan berkata pada kandungan istrinya tersebut, “Wahai yang berada dalam kandungan, jika engkau adalah jabang bayi manusia, lahirlah sebagai manusia. Tapi jika engkau adalah bokor kuningan dan bantal, kembalilah ke wujud asalmu sebagai bokor kuningan dan bantal.”

 

Tak berapa lama kemudian, kandungan Putri Ong Tien kembali menjadi bokor kuningan dan bantal. Maka ada versi cerita yang mengatakan bahwa bayi dalam kandungan Putri Ong Tien meninggal saat dilahirkan, atau versi lain menyebutnya keguguran. Namun ada pula versi yang menyebutkan Putri Ong Tien melahirkan bokor kuningan.

 

Pada masa itu, Luragung kemudian menjadi penerus Kerajaan Kuningan yang dulu beribukota di Saunggalah. Namun masa itu, kegiatan pemerintahan atau yang menjadi ibukota berada di Kajene. Artinya, pada masa itu ada dua tempat kegiatan pemerintahan di Kuningan, yaitu Luragung dan Kajene. Namun Kuningan tidak dianggap sebagai kerajaan melainkan sebagai buyut haden.

Bratawijaya adalah pemimpin pasukan di Kajene. Namun di Kajene juga terdapat pesantren, yang juga merupakan pedukuhan yang dipimpin oleh Syekh Maulana Arifin (suami Ratu Selawati).

 

Nama Arya Kemuning, sebenarnya adalah nama lain Bratawijaya saat memimpin di Kajene. Namun yang kemudian dikenal sebagai Arya Kemuning adalah Suranggajaya (putra Luragung) yang diasuh dan dididik secara militer oleh Bratawijaya. Suranggajaya sebenarnya telah diangkat anak oleh Putri Ong Tien (istri Syekh Syarif Hidayatullah, ada versi yang menyebutkan Suranggajaya adalah hasil tukar dengan bokor kuningan dari kandungan putri Ong Tien). Namun, oleh Ratu Selawati, juga dianggap sebagai anaknya, dan dididik secara ilmu agama di pesantren suaminya (Syekh Maulana Arifin), sekalipun mereka juga punya anak yang bernama Nyi Mas Kencanawati.

 

Bratawijaya sendiri sebenarnya memiliki anak yang bernama Selawiyana dan Dipawiyana, tapi tak ada yang mewarisi bakat ayahnya di bidang militer. Sementara itu, Bratawijaya mengasuh anak lain bernama Ewangga. Ketika Ewangga telah tumbuh dewasa, dia berniat mengabdi pada Syekh Syarif Hidayatullah di Kesultanan Cirebon. Namun Syarif Hidayatullah menyarankan Ewangga menjadi Panglima Perang di Keadipatian Kuningan.

Itulah sebabnya pada logo lambang Kabupaten Kuningan, terdapat gambar “kuda perang” Dipati Ewangga selain “bokor kuningan” Arya Kemuning.

 

Arya Kemuning (Suranggajaya) dan Ewangga beserta pasukan Kuningan turut andil dalam menyerang Pelabuhan Sunda Kelapa dalam BKO (bawah komando operasi) Fatahillah yang memimpin pasukan sandi Jayakarta. Seusai pertempuran, sebagian menetap di wilayah yang kemudian bernama Kuningan (Jakarta). Tapi inipun termasuk dalam babad peteng.

 

Wallahu’aklambhisshowab…

Sesungguhnya semua kebaikan itu adalah datangnya dari Allah dan jika ada kekhilapan dari saya mohon di maafkan..Semoga bermanfaat

 

Sumber cerita :

#Historyofcirebon.id, #SejarahCirebon, #suntinggelisindonesia

Reporter NN

Share It.....