Penulis : Jacob Ereste
Jakarta Selatan | WBN – Rangkaian acara silaturahmi GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) kepada sejumlah tokoh dan lembaga maupun paguyuban dari komunitas warga masyarakat terus berlangsung. Kali ini, Selasa 21 September 2021 Tim GMRI menyambangi
Bhikku Dhammasubho Mahathera di Wisma Sangha, Theravada Pondok Labu, Jakarta Selatan.
Semula acara pertemuan telah disepakati pada dengan acara makan siang bersama, kata Eko Sriyanto Galgendu yang bertandang bersama Tim inti GMRI, Wati Imhar Burhanudin Ketua Aspirasi Emak-emak serta Ustad Bagus Mulyono Ketua Koordinator Pengajar Pondok Pesantren Manula Indonesia, Sukabumi. Tapi karena Banthe Dammasubho mengalami keterlambatan dalam perjalanan dari luar kota, acara pun sepakat digeser baru bisa dimulai pukul 16.00 di Wisma Sangha Theravada Indonesia di Kawasan Pondok Labu Jakarta Selatan dengan jamuan makan malam ala sufi yang sangat mengesankan.
Suasana nyaman, demikian sangat mengesankan saat memasuki Wisma yang tertata apik dan resik di Kawasan Pondok Labu Jakarta Selatan. Apalagi di teras depan yang luas, terpampang indah disamping prasasti yang megah : “Soegeng rawuh poro tamu. Maturnuwun Pandonganipun. Mugi sedoyo titah.
Tansah rahayu basuki gesangipun”.
Di prasasti yang bersebelahan dengan sambutan selamat datang itu tertilis tanggal peresmian Wisma di lahan 1500 meter persegi ini tanggal 16 Maret 2002 sebagai wujud persembah dari
Keluarga Besar Trihatma Kusuma Haliman.
Bagi Eko Sriyanto Galgendu, sosok Banthe Dhammasubho memang sudah tak asing, karena persahabatan mereka — yang telah terjalin sejak 20 tahun silam itu kini telah menjadi persaudaraan — hingga sungguh akrab dan hangat, las-lasan dengan guyon khas gaya kawula milineal masa kini dari Banthe yang sungguh merakyat ini.
“Waktu pertama kali saya hijrah dan ingin usaha di Jakarta, kata Eko Sriyanto Galgendu berkisah, sungguh mengalami kesulitan. Lalu entah bagaimana kisahnya, justru dirinya merasa dituntun untuk menemui Banthe Dammasubho, kata Eko Sriyanto Galgendu berkisah secara spontan saat menikmati hidangan makam malam di Wisma Sangha Theravada.
Hidangan khas makan malam itu, semakin membuat suasana cair dan hangat — meski sang Bhiku sendiri tidak ikut makan — karena memang begitu tradisi dalam ajaran Buddha — adanya tata aturan bahwa jadual makan hanya dilakukan antara pukul 11.00 – 12.00 siang hari saja. Karena itu Banthe Dammasubho hanya menemani saja Tim GMRI bersantap malam, sedangkan Bhiku sendiri yang tidak makan justru memberi semangat — layak supporter bola — agar tamunya mau menghabiskan semua hidangan yang ada. Karena kalau sampai ada yang tersisa, kata Bikhu Dammasubho akan mubazir. Sebab tidak ada satupun orang yang mau makan pada malam itu di Wisma. Jadi memang harus dihabiskan, kata Banthe serius dan berulang kali mengatakannya.
Tata aturan makan dalam ajaran Buddha memang hanya memang hanya sekali saja makan setiap hari terhitung mulai pukul 11.00 – 12.00. Setelah itu tak lagi ada acara makan apapun hingga esok pagi hingga seperti waktu yang sama yang ditentukan waktu seperti hari-hari kemarin.
Tradisi disiplin makan serupa ini, sama dengan keyakinan dari sebagian mereka yang tidak makan daging apapun. Jadi hanya sayur dan biji-bijian saja. Karena dalam tradisi makan yang disiplin ini, sama dengan tradisi puasa bagi ummat Islam yang wajib ditaati pada bulang Ramadan maupun puasa sunnah lainnya.Tentu saja laku spiritual serupa tidak ada yang mengontrol kecuali diri mereka sendiri sendiri yang melakukan puasa itu.
Bagi pengikut ajaran Buddha yang tidak vegetarian, syarat untuk memakan daging itu pun ada persyaratan yang harus ditaati.
Pertemuan Sahabat dan Kerabat Spiritual, di Wisma Theravada ini tak hanya hangat dan akrab sambil menikmati jamuan makan malam ala sufi, tetapi juga dialog spirirual yang serius, tapi penuh dengan selingan guyon Banthe Dammasubho yang khas dan kocak. Namun tetap bernas, hingga mengingatkan penulis pada acara buka luasa bersama yang dilaksanakan Banthe Dammasubho pada 8 tahun silam di tempat yang sama. Tentu saja suasananya ketika.itu belum seapik sarana Wisma yang sudah berdiri megah dan komplit sarananya seperti sekarang.
Acara makan malam kali ini pun sangat istimewa. Sebab bagi yang bertamu — kecuali berbuka puasa sunnah dengan bubur spesial kacang hitam — justru sahibul bait tidak sama sekali makan — karena begitulah tradisi dalam budaya Buddha hanya makan sekali saja dalam sehari pada pukul 11.00 – 12.00. Setelah itu tak lagi ada acara makan sampai hari esok pada waktu yang sama seperti yang telah ditentukan seperti kemarin itu.