WBN │Desakan Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, NTT kepada Badan Pertanahan Nagekeo serta para pihak yang mengurusi kebijakan pembangunan waduk triliunan rupiah dari APBN, Waduk Lambo masih terus berjalan hingga berita ini kembali diturunkan, Senin (18/10).
Sebelumnya dikabarkan, Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa bersama Kuasa Hukum mereka, Mbulang Lukas, SH dan Tim, secara inisiatif mendatangi BPN Nagekeo di Kota Mbay, Flores, (13/10), mempertanyakan sikap Kepala Badan Pertanahan dalam menangani persoalan tanah Waduk Lambo, secara khusus mereka mempertanyakan mengapa mulai tahab pengukuran tanah ulayat mereka, nama-nama ulayat mereka selaku pemilik lahan dihapus atau tidak dimunculkan. Berikutnya, proses pengukuran tanah dilakukan sepihak karena belum ada pelepasan tanah dari mereka selaku ulayat pemilik lahan, namun serta merta dilakukan pengukuran di lokasi, tanpa melibatkan para ulayat Labolewa. Selainitu, luas genangan, menurut mereka, tidak mengikuti perintah kaji ulang luas genangan yang diperintahkan oleh Presiden.
Disaksikan wartawan media ini, (13/10) Kehadiran sejumlah perutusan Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa didampingi Kuasa Hukum Mbulang Lukas, SH dan tim, disambut baik oleh Kepala BPN Nagekeo, Dominikus Insantuan dan terjadi dialog persuasif dan kondusif. Poin-poin kesepahaman dan jalan keluar akan ditempuh, namun BPN Nagekeo belum membuka kepada media, apa-apa saja yang telah dibicarakan bersama, termasuk mosi jalan keluar yang akan segera dilakukan.
Salah satu fungsionaris adat dari Persekutuan Masyarakat Labolewa, Urbanus Papu sebagaimana dikutip tim media ini (15/10), kembali menegaskan, sejak awal mula bergulirnya rencana Pembangunan Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa adalah kelompok masyarakat adat yang secara nyata mendukung pembangunan waduk. Bukti dukungan real tersebut, lanjut Urbanus, ditunjukan dengan banyak peristiwa hukum kepada negara, diantaranya menyurati Presiden RI untuk melakukan percepatan pembangunan waduk, berikutnya menandatangani persetujuan izin survey lokasi waduk Lambo di lokasi tanah ulayat Labolewa serta melakukan ritual adat pelaksanaan survey lokasi waduk.
“Bicara dukung pembangunan Waduk Lambo, kami dari Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa, tidak hanya sebatas bunyi atau hanya sebatas bicara dukung. Kami mendukung pembangunan waduuk dengan terang benderang dan hal-hal itu tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Kami tidak menolak, bahkan kami mengajukan percepatan pembangunan. Kami dari Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa juga menyurati Presiden RI untuk melakukan percepatan pembangunan waduk, berikutnya kami juga menandatangani persetujuan izin survey lokasi waduk Lambo di lokasi tanah ulayat kami Labolewa, serta melakukan ritual adat pelaksanaan survey lokasi waduk. Kebersamaan kami sejak awal sangat jelas, namun yang sangat melukai kami adalah ketika memasuki tahaban pengukuran, Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa dicampakan, nama-nama keulayatan kami yang berhak atas tanah waduk, itu tidak tertulis atau dihapus sepihak, lalu lebih aneh lagi, belum ada tahab pelepasan tanah, tetapi mereka datang dengan serta-merta mematok, memasang leter tulisan tanah waduk dan melakukan pengukuran di lokasi dengan mengunjuk kekuasaan. Pertanyaan kami, begitu kah cara membangun di atas tanah adat dan ulayat di negeri kita ini. Apakah izin survey tanah yang kami berikan, itu sudah dimanipulasi sebagai izin garap, ukur, dan segala macam atas nama pembangunan waduk. Kalau begini caranya, warga dimana pun di negara ini tidak akan menerima pembangunan, sebab proses dan prosedurnya sangat kental berbau merampas saja tanah rakyat atas nama bangun waduk. Waduk dibangun untuk rakyat, tetapi proses membangunnya dibuat dengan cara melukai hak-hak rakyat, ini namanya membangun ala perampok dan ala pembajak”, tutur Urbanus Papu.
Kepada wartawan (16/10) salah satu fungsionaris Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa, Marselus Igedeus Lado menambahkan ada sejumlah titik permasalahan yang terjadi sehingga memicu perlawanan maupun desakan dari Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa kepada para pihak, terkait pembangunan Waduk Lambo.
“Kami dari Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa adalah kelompok masyarakat yang mendukung pembangunan Waduk Lambo. Kami bukan masyarakat yang menolak pembangunan waduk. Saat ini yang kami lawan adalah perilaku para pihak saat tahaban pembangunan waduk mulai berjalan. Yang kami lawan adalah perbuatan tidak konsisten Pemerintah dalam hal ini pihak-pihak terkait kepada kami masyarakat adat selaku pemilik lahan pembangunan waduk itu. Titik-titik perbuatan yang memicu kami warga adat yang awalnya dukung waduk, namun akhirnya melawan adalah, pertama, sejumlah kesepakatan yang warga adat sudah setuju dengan Bapak Jenderal Goris Mere saat beliau turun ke lapangan sebelum tahab survey, beliau bertemu langsung dengan kami masyarakat adat, beliau memberikan pemahaman dan terjadi kesepakatan-kesepakatan soal kebijakan terhadap kuburan leluhur kami, terhadap tempat-tempat ritual sakral adat budaya kami akan diatur dengan baik dan bijaksana, tetapi saat ini hal-hal itu kami temukan tidak dilaksanakan atau dilangkahi. Yang kedua, luas lahan genangan yang disepakati, dan bahwa Presiden pun sudah perintahkan untuk dikaji ulang, tetapi saat ini hal itupun tidak dilaksanakan di lapangan atau dilangkahi. Luas genangan yang disurvey harusnya 431 hektar, tetapi saat ini yang mereka pakai adalah 592,59 hektar, demikian faktanya. Berikutnya, ada masalah lagi, tanah-tanah ulayat untuk waduk itu belum ada pelepasan hak tanah, tetapi tiba-tiba mereka datang lalu lakukan pengukuran secara sepihak, bahkan nama-nama sejumlah ulayat pemilik tanah tidak tercantum, atau mereka hilangkan. Ini mau bangun waduk atau secara tidak langsung mau membuat masalah di lapangan. Kalau bermain seperti ini, jangan jual bahwa warga adat Labolewa menolak waduk kah”, jelas Marselus Igedeus Lado.
Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa Minta Jangan Pakai Istilah Warga Menolak
Dikutip wartawan, Urbanus Papu, Marselus Igedeus Lado bersama para tokoh ulayat Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa Kabupaten Nagekeo minta masyarakat luas tidak memakai sebutan mereka menolak, tetapi menurut mereka yang sebenarnya harus disebut adalah fakta praktek lapangan yakni ada proses dan prosedur yang dilangkahi dalam pembangunan waduk Lambo serta adanya ketidak-konsistenam dalam menerjemahkan kebijakan pemerintah pusat.
“Masyarakat luas sebaiknya tidak ikut-ikutan menyebut kami dari Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa menolak pembangunan waduk. Kami ini sebenarnya sangat mendukung pembangunan waduk. Yang terjadi sebenarnya menurut kami adalah praktek yang terjadi di lapangan cacat prosedur sebab ada proses dan prosedur yang dilangkahi dengan tau dan mau, serta ada kejadian tidak konsisten dalam menerjemahkan kebijakan pemerintah pusat di daerah. Contohnya, tentang luas genangan waduk, selanjutnya tentang hak-hak ulayat atas tanah adat di lokasi, berikutnya tidak tertera nama sejumlah ulayat yang berhak atas tanah waduk, berikutnya pelepasan tanah tidak dilakukan tetapi serta-merta datang ukur tanah, buat pemetaan, lalu tempel sepihak leter tanah waduk di lapangan. Itu sebenarnya yang mereka lakukan di lapangan. Jangan jual isyu bahwa kami di Labolewa menolak”, tutup Urbanus Papu, Marselus Igedeus Lado dari Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa Nagekeo disampingi warga dan para tokoh adat setempat, (16/10).
Mereka berharap proses dan prosedur lapangan jangan main kuasa, tetapi harus dipenuhi secara baik dan benar, begitu juga tentamg perintah kaji ulang dari Presiden perihal luas genangan, hal-hal itu harus dikerjakan atau jangan main patok dengan menggunakan data lama yang berbunyi luas genangan waduk seluas lima ratus lebih hektar. Tetapi sebaliknya harus sesuai dengan data kaji ulang yakni seluas 431 ha.
WBN │Tim│Wil│Editor-Aurel