Jika Pemberitaan Pers Diduga Merugikan, Jangan Keburu Langkahi UU Pers

Oleh : Aurelius Do’o, WBN Pers

Catatan Pro Penegakkan UU Nomor 40  Tahun 1999 dan MoU  Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor 2/DP/MoU/II/2017, Nomor : B/15/II/2017.

Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di Indonesia yang mulai dibahas pertama kali pada tanggal 20 Agustus 1999, lalu disetujui pada tanggal 13 September 1999, dan pada hari yang sama disahkan sebagai undang-undang dan menjadi Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 1666, adalah untuk menjamin kemerdekaan pers sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis

Pers, yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya, diharapkan dapat terus berfungsi maksimal, menjunjung kehidupan yang demokratis, terjaminnya pertanggung jawaban kepada rakyat, memperkuat sistem penyelenggaraan negara yang transparan serta keadilan dan kebenaran terwujud.

Pers harus memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi, termasuk dalam bingkai mewujudkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. XVIII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berkomunikasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia pasal 19 yang berbunyi, ”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah.

Maka, pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.

Pers juga melaksanakan kontrol sosial, di dalamnya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan terhadap korupsi, kolusi, nepotisme maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.

Kontrol masyarakat dimaksud antara lain, oleh setiap orang dengan dijaminnya hak jawab dan hak koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai cara dan bentuk.

Terhadap catatan pendek di atas, pertanyaannya adalah, apakah pemberitaan yang dilakukan oleh perusahaan pers dapat dituntut atau tidak?.

Pertanyaan ini dapat dijawab dengan kembali mengutip penegasan, yakni setiap orang dijaminnya hak jawab dan hak koreksi atas pemberitaan pers apabila diduga merugikan. Hal ini di atur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Lex Specialis.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, menyebutkan bahwa Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.

Berikutnya, dalam Pasal 1 ayat 2, disebutkan, pers itu sendiri diselenggarakan oleh Perusahaan Pers. Dan, Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers, meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi.

Penyelesaian Pemberitaan Pers yang Merugikan

Mekanisme penyelesaian atas pemberitaan pers yang merugikan dalam konteks menegakan kemerdekaan pers, menjelaskan bahwa UU Pers merupakan Lex Specialis terhadap Lex Generali atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Maka dengan ini dapat dikatakan bahwa apabila terdapat permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers.

Penegakan UU Pers di Indonesia memang harus terus didorong, termasuk kepada wartawan dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, wartawan serta merta langsung dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum atau Lex Generali.

Pertanyaannya adalah, siapa yang bertanggungjawab jika wartawan diduga bersalah?.

Jika ditinjau secara teknis hukum, perusahaan pers harus menunjuk penanggung jawabnya. Secara umum diketahui terdiri dari dua bidang, yaikni penanggung jawab bidang usaha dan penanggung jawab bidang redaksi. Mekanisme pertanggungjawaban yang dilakukan oleh wartawan diambilalih oleh perusahaan pers yang diwakili oleh penanggung jawab tersebut.

Mekanisme apa yang dapat ditempuh ?

Pertama, pemenuhan Hak Jawab dan Hak Koreksi

Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baik. Sedangkan, Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Dan, pers wajib melayani hak jawab dan hak koreksi.

Selanjutnya, Pengaduan kepada Dewan Pers

Pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers. Sebab, salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Hal ini mengacu pada Penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Pers, berkaitan dengan Hak Jawab, Hak Koreksi dan dugaan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik.

Dengan demikian, sebelum menuntut perusahaan media cetak maupun perusahaan media onlineterdapat mekanisme-mekanisme yang dapat dipertimbangkan. Ada baiknya melaksanakan mekanisme-mekanisme tersebut.

Pengajar hukum media masa Universitas Indonesia, Rudy Satryo, menyebut hak jawab ibarat salah satu tahap negosiasi untuk bisa menyelesaikan masalah antara media dengan pihak yang merasa dirugikan.

Praktisi hukum Misbachudin Gasma, mantan Direktur LBH Pers dalam artikelnya pernah menyentil bahwa gugatan hukum jangan dijadikan wahana untuk menekan media. Kalaupun menuntut ganti rugi, harus jelas kerugian yang ditimbulkan akibat pemberitaan. Karena biasanya dalam perkara pencemaran nama baik, aspek kerugian psikologis amat ditonjolkan.

Sementara itu, Dewan Pers menyayangkan jika penuntutan secara hukum tetap dilakukan meski hak jawab sudah digunakan. Anggota Dewan Pers, Wikrama Abidin menyebut, seharusnya secara moral, gugatan secara hukum tidak bisa lagi dilakukan ketika hak jawab sudah dipakai.

Mengutip Pedoman Hak Jawab, pers berhak menyunting Hak Jawab sesuai dengan prinsip-prinsip pemberitaan atau karya jurnalistik, namun tidak boleh mengubah substansi atau makna Hak Jawab yang diajukan. Tanggung jawab terhadap isi Hak Jawab ada pada penanggung jawab pers yang memublikasikannya.

Berselancar sedikit, Nota Kesepahaman

Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor 2/DP/MoU/II/2017, Nomor : B/15/II/2017, tentang koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers dan penegakkan hukum trekait penyalahgunaan profesi wartawan, pada Kamis 9 Februari 2017, bertempat di Ambon, antara Ketua Dewan Pers sebagi Pihak Kesatu, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pihak Kedua, Jenderal Polisi Drs. M. Tito Karnavian, M.A.,Ph.D., Bab I, Maksud dan Tujuan, Pasal 1 (1) Maksud Nota Kesepahaman, sebagai pedoman para pihak dalam rangka terwujudnya koordinasi dalam Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan. (2). Tujuan Nota Kesepahaman, memberikan dan meningkatkan pemahaman kepada para pihak dalam rangka koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.

Bagian Kedua, Koordinasi Bidang Perlindungan Kemerdekaan Pers. Pasal 4 (2) berbunyi, Pihak Kedua apabila menerima Pengaduan dugaan perselisihan/sengketa termasuk surat pembaca atau opini / kolom antara wartawan / media dengan masyarakat, akan mengarahkan yang berselisih / bersengketa dan/atau mengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari menggunakan hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke Pihak Kesatu maupun Proses Perdata.

Mencermati betapa pentingnya Penegakkan UU Nomor 40  Tahun 1999 dan MoU  Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Nomor 2/DP/MoU/II/2017, Nomor : B/15/II/2017, maka tidaklah keliru apabila kita di ajak untuk mengurai sebuah dugaan masalah dengan cara tidak terburu-buru melangkahi UU Pers, apabila ditemukan ada Pemberitaan Pers diduga merugikan pihak lain.

Sekian

Penulis : Aurelius Do’o, WBN Pers / Pers Warisan Budaya Nusantara

 

Share It.....