
WBN-Pantang menyerah. Itulah kata paling tepat untuk melukiskan tekad Abd Jalali Dg Nai, dalam memperjuangkan haknya kembali atas tanah warisan miliknya di Kilometer 18, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar, Sulawesi Selatan.
Senin, 11 September 2023, ahli waris tanah Almarhum Tjoddo itu mendatangi Bagian Persuratan Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta.
Tujuan kedatangan, adalah untuk menyerahkan sepucuk surat kepada Presiden Joko Widodo, selaku Ketua Tim Pusat Pemberantasan Mafia Tanah.
Pada hari yang sama, Dg Nai juga menyerahkan surat kepada Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kapolri, serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Dg Nai berharap, melalui surat-surat yang diserahkannya itu, tanah miliknya di Kilometer 18 bisa kembali kepada dirinya dan keluarganya.
Seperti diketahui, di Tanah Milik Indonesia atas nama Tjoddo itu, sejak 2015 telah berdiri bangunan Indogrosir.
Satu tahun sebelumnya, yakni pada 21 Agustus 2014, melalui transaksi jual beli dengan Keluarga Tjonra Karaeng Tolla, tanah itu beralih penguasaan ke PT Inti Cakrawala Citra (ICC), yang merupakan perusahaan pemilik Indogrosir.
Transaksi jual beli dilakukan dengan dasar surat kepemilikan tanah, yakni SHGB 21970 terbitan 13 April 2016, atas nama 54 ahli waris Keluarga Tjonra Karaeng Tolla. Surat inilah yang terus digugat keabsahan hukumnya oleh Dg Nai.
“SHGB No. 21970 atas nama 54 (lima puluh empat) Ahliwaris Almarhum Tjondra Karaeng Tola, dibuat bukan semestinya (tidak benar), karena dibuat bertentangan dengan 41 (empat puluh satu) ketentuan hukum,” demikian tulis Frans S. Parera, SH, kuasa hukum Dg Nai, dalam surat yang dikirimkan kepada Presiden itu.
Sebelum terbitnya SHGB 21970 itu, tanah milik ahli waris Tjoddo di Kilometer 18 itu, telah lebih dulu dirampas paksa oleh H. Andi Mattoreang, alias Karaeng Ramma, dari Keluarga Tjonra Karaeng Tolla.
Perampasan paksa juga dilakukan oleh tiga serangkai: Dr. Andreas Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali.
Modus yang dilakukan dalam perampasan paksa itu nyaris seragam, yakni menggunakan sertifikat hasil rekayasa dan tidak sesuai dengan peruntukannya.
Karaeng Ramma menggunakan Surat Rintjik (Simana Boetaja) No. 157, Persil 6 D I Kohir 51 C I, atas nama ayahnya, Tjonra Karaeng Tolla. Persil 6 D I tercatat atas nama Tjoddo.
Namun, Kohir 51 C I tercatat atas nama Sia di Kilometer 17. Sedangkan Tiga Serangkai: Dr. Andreas Asikin Natanegara, Reza Ali, dan Achmad Reza Ali memakai SHM 490/1984 Bulurokeng, atas nama Annie Gretha Warow, dari Kilometer 20.
Belakangan, melalui Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Dokumen, Nomor Lab: 25/DTF/2001, yang dikeluarkan oleh Laboratorium Forensik Polri Cabang Makassar, tertanggal November 2008, Surat Rintjik (Simana Boetaja) No. 157, Persil 6 D I Kohir 51 C I itu dinyatakan tidak sesuai jenis tinta dan kertasnya, dengan jenis tinta dan kertas saat diterbitkan pada tahun 1936.
Kemudian, pada 16 April 2015, SHM 490/1984 Bulurokeng pun ikut dicabut dari peredaran oleh BPN RI Kantor Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
Namun, meski Surat Rintjik itu sudah dinyatakan palsu, dan SHM 490 telah dicabut dari peredaran, kedua surat itu terbukti tetap “hidup”.
Bahkan, kemudian seolah “dikawinkan paksa”, seiring dengan terbitnya SHM 25952 atas nama Annie Gretha Warow pada 21 Agustus 2014, SHGB 21970 atas nama M. Idrus Mattoreang dkk. pada 13 April 2015, dan SHGB 21970 atas nama 54 ahli waris Keluarga Tjonra Karaeng Tolla pada 13 Aprl 2016.
LANJUT KEHALAMAN BERIKUTNYA DI BAWAH INI…