Kristus di Tengah Budaya: Inkulturasi sebagai Jalan Iman, Bukan Kompromi

Oleh: John Mozes Hendrik Wadu Neru (Pendeta GMIT)

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) tengah berjalan di persimpangan penting: bagaimana Injil hidup di tanah sendiri tanpa kehilangan kekudusan dan keotentikannya. Bulan Budaya yang telah menjadi agenda tahunan GMIT, menegaskan semangat inkulturasi—usaha menghadirkan Kristus dalam rupa-rupa simbol lokal. Namun sebagian pihak justru menyamakan langkah ini dengan kompromi atau sinkretisme.

Apakah benar menginkulturasi Injil berarti menodainya? Atau justru, di situlah kita belajar merayakan Allah yang menjelma?

Tulisan singkat ini bukan tanggapan terhadap individu atau institusi tertentu, melainkan sebuah refleksi pastoral yang bertujuan memperdalam pemahaman kita tentang inkulturasi yang sejati dalam terang Kristus, firman Allah yang menjadi manusia (Yohanes 1:14), dan dalam semangat keadilan, kasih, dan kerendahan hati sebagaimana dikumandangkan oleh Nabi Mikha (Mikha 6:8).

I. Inkulturasi Bukan Sinkretisme

Inkulturasi bukan pencampuran liar, melainkan upaya iman untuk mengabarkan Kristus dalam bahasa dan simbol yang dimengerti umat. Ia bukan bentuk kompromi, tetapi bentuk kesetiaan yang kreatif.

Dalam Yohanes 1:14, kita tidak menjumpai Kristus yang datang “di luar budaya”, tetapi yang menjelma—masuk ke dalam daging, sejarah, dan kebudayaan.

Yohanes Calvin memberi pijakan kuat bagi hal ini. Dunia ini, katanya, adalah theatrum Gloria Dei—panggung kemuliaan Allah.

Tidak ada ciptaan yang netral atau najis secara inheren; yang ada adalah ciptaan yang perlu disaring, disucikan, dan dipersembahkan kepada Allah. Gratia communis (anugerah umum) memberi ruang bagi nilai dan keindahan dalam budaya, bahkan sebelum Injil hadir secara eksplisit.

II. Kristus, Bukan Budaya, Adalah Pusat

Inkulturasi yang sehat menjadikan Kristus sebagai pusat—bukan budaya. Segala bentuk, simbol, dan ekspresi budaya hanya berharga jika membawa umat lebih dekat kepada Kristus, bukan menggantikan-Nya. Liturgi dalam tradisi Reformed tidak sakral karena formatnya, tetapi karena tujuannya: mempertemukan umat dengan Allah dalam Firman dan Sakramen.

Karena itu, memasukkan tarian, motif tenun, atau syair tradisional ke dalam ibadah bukanlah pelanggaran terhadap kekudusan liturgi, melainkan sarana pewartaan yang menyentuh konteks umat. Asalkan Kristus tetap pusatnya, bentuk bisa fleksibel. Iman bukan museum; iman adalah kehidupan.

III. Mikha 6:8: Kompas Etika Inkulturasi Periode Pelayanan 2024-2027

“…berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu.” (Mikha 6:8)

1. Tiga prinsip Mikha menjadi kompas moral dalam praktik inkulturasi:

2. Keadilan: menghindari penghakiman sepihak terhadap budaya lokal, dan menilai secara adil dengan terang Injil.

3. Kesetiaan: menjaga kemurnian Injil dalam bentuk apa pun.

4. Kerendahan hati: menyadari bahwa gereja pun belajar dari budaya, bukan sekadar menghakiminya.

Inkulturasi tanpa ketiganya berisiko jadi kosmetik. Tetapi bila dijalani dengan roh Mikha 6:8, ia bisa menjadi jalan perjumpaan yang transformatif antara Injil dan konteks.

IV. Budaya: Ladang dan Altar

Budaya bukan hanya tantangan. Ia juga ladang tempat Injil ditaburkan, dan bahkan altar tempat persembahan syukur umat dinaikkan. Calvin menolak dikotomi sakral–profan.

Seluruh hidup adalah ibadah (Roma 12:1), dan itu mencakup tenunan, bahasa, tari, dan musik tradisional—jika semua itu diarahkan kepada Allah.

GMIT tidak dipanggil untuk memilih antara Injil atau budaya. Kita dipanggil untuk menempatkan Kristus sebagai penafsir utama budaya. Dengan Kristus sebagai pusat dan discernment sebagai alat uji, gereja tidak hanya relevan, tetapi juga kudus.

V. Penutup: Reformasi Adalah Kembali ke Kristus.

Reformasi yang sejati bukanlah nostalgia bentuk lama, melainkan keberanian untuk terus kembali ke Kristus sebagai pusat segala sesuatu. Dalam terang itulah, inkulturasi menjadibbukan jalan kompromi, tetapi tindakan profetik—menyatakan bahwa Allah tidak asing bagi budaya kita.

Mari kita hadapi zaman ini bukan dengan ketakutan, tetapi dengan iman. Sebab Kristus bukan hanya Tuhan atas gereja; Ia adalah Tuhan atas segala ciptaan—termasuk budaya kita. Dan di altar itulah, kita mempersembahkan budaya, bukan sebagai berhala, tetapi sebagai ibadah yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya (Roma 12:1).

Share It.....