Damai Adat dan Kekerasan seksual Terhadap Anak Di Sabu Raijua 

Oleh: Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru (Pendeta GMIT)

Di Sabu Raijua, damai bisa dibeli dengan seekor babi. Luka anak bisa “diselesaikan” dengan pesta sirih pinang. Dan gereja, terkadang, memilih untuk memberkati perdamaian itu—bahkan jika artinya mengubur keadilan. Kita tidak sedang hidup dalam “kearifan lokal”. Kita sedang terjebak dalam siklus diam yang melukai.

I.Kekerasan yang Berulang, Keadilan yang Ditunda

Sepanjang 2022 hingga 2025, kasus kekerasan seksual terhadap anak terus bermunculan. Empat kasus mencuat hanya dalam bulan pertama 2022 (Warisan Budaya Nusantara, 28 Januari 2022). Seorang pendeta diduga memperkosa anak 14 tahun di pastori (Warisan Budaya Nusantara, 14 November 2022). Terpidana Horis Huna Kore bahkan tinggal bersama korban hampir setahun sebelum akhirnya dieksekusi (Warisan Budaya Nusantara, 21–22 Mei 2025).

Dan kini, sebuah kasus terbaru dari SDN Lobolou membuat masyarakat gemetar: seorang guru diduga mempertontonkan konten pornografi dan mencabuli 24 anak kelas. Kasus ini mencerminkan darurat moral dan kehancuran sistem yang tidak hanya gagal melindungi, tapi diam membiarkan.

II. Damai Adat Terhadap Kekerasan seksual adalah Kematian Nurani

Di banyak desa di Sabu Raijua, kekerasan seksual diselesaikan lewat mekanisme adat. Pelaku membawa babi putih, atau seekor kuda, lalu dilakukan upacara damai. Keluarga korban menunduk karena tekanan sosial, pelaku kembali ke rumah tanpa rasa bersalah, dan masyarakat menyambutnya sebagai “anak yang sudah ditebus”.

Upacara damai adat memang penting dalam rekonsiliasi sosial, tetapi saat digunakan untuk menghentikan proses pidana atas kejahatan terhadap anak, maka itu bukan rekonsiliasi. Itu adalah penghinaan terhadap korban dan institusionalisasi trauma.

Adat, dalam konteks ini, bukanlah pagar pelindung nilai luhur, tapi tirai tebal yang menyembunyikan ketidakadilan. Kita sedang menyembah perdamaian yang palsu—yang dalam kitab Mikha disebut sebagai “shalom palsu” (Mikha 3:5): damai yang dijual untukbmenyenangkan penguasa, dan mematikan jeritan korban.

III. Gereja dan Kekerasan: Antara Doktrin dan Pengabaian Gereja tidak lepas dari tanggung jawab. Terlalu sering, saat kasus kekerasan terungkap, gereja lebih cepat meminta korban “memaafkan” daripada mengantar pelaku ke ranah hukum.

Pengampunan didekati sebagai syarat “damai sejahtera” jemaat, padahal dalam teologi Calvinis, pengampunan adalah buah dari pertobatan dan keadilan Allah yang ditegakkan.

Dalam Institutes of the Christian Religion, Calvin menegaskan bahwa keadilan sosial adalah wujud dari kasih Allah yang aktif di dunia. Maka, jika gereja menyembunyikan pelaku, atau bungkam demi nama baik, maka gereja tidak sedang menjadi terang. Gereja sedang menjadi bayang-bayang dosa kolektif.

Lebih lanjut, Mikha 6:8 menyatakan: “Telah diberitahukan kepadamu, hai manusia, apa yang baik: berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu.” Ayat ini bukan slogan untuk selebaran gereja. Ini adalah kompas pelayanan gereja lokal.

Berlaku adil berarti berpihak kepada korban, bukan kepada pelaku yang membawa persembahan besar. Mencintai kesetiaan berarti tetap setia kepada korban, walau harus melawan struktur kekuasaan. Dan hidup rendah hati berarti mendengar jeritan anak -anak, bukan sibuk menyelamatkan citra institusi.

IV. SDN Lobolou: Jangan Dibiarkan Menjadi Statistik

Kasus SDN Lobolou harus menjadi turning point gereja dan negara. Jika gereja hanya berdoa di balik mimbar dan pemerintah hanya menggelar konferensi pers, sementara 24 anak terkurung dalam trauma yang tak selesai, maka kita semua bersalah.

Anak-anak itu tidak butuh slogan. Mereka butuh keadilan. Mereka butuh gereja yang bicara tegas, pemimpin adat yang berani berdiri di sisi korban, dan negara yang tidak gentar melawan kompromi kultural.

Lalu, apa yang Harus Dilakukan?

1. Hukum harus berjalan tanpa syarat;

Semua pelaku kekerasan seksual harus diadili sesuai hukum negara. Tidak ada proses adat yang boleh menghentikan jalannya pidana. Damai adat tidak boleh menutup mulut hukum.

2. Perda Anti-Damai Adat untuk Kasus Kekerasan Seksual; 

Gereja dan masyarakat sipil harus mendorong peraturan daerah yang melarang penyelesaian kekerasan seksual terhadap anak melalui mekanisme adat. Tubuh anak bukan alat tukar damai.

3. Pendidikan Seksualitas dan Kesadaran Hukum;

Sekolah dan gereja harus mengajarkan kepada anak-anak tentang batas tubuh, hak atas perlindungan, dan cara melaporkan kekerasan. Jika kita tidak ajarkan, predator akan menggantikan kita.

4. Gereja sebagai Ruang Aman;

Setiap jemaat GMIT perlu memiliki Satgas Perlindungan Anak, terdiri dari majelis, guru sekolah minggu, dan pemuda gereja. Pastori harus menjadi tempat aman, bukan ruang rahasia predator berjubah liturgis.

5. Layanan Trauma Healing Jangka Panjang.

Pemda dan gereja wajib bekerja sama membangun pusat pemulihan trauma di tiap kecamatan. Jangan sampai pendeta hanya datang saat ibadah pemulihan, tapi anak tetap tidur dengan mimpi buruk.

6. Suara Mimbar Harus Profetik;

Mimbar gereja bukan tempat untuk menenangkan kegelisahan struktural.

Mimbar adalah tempat untuk menyatakan kebenaran: Yesus tidak memaafkan Herodes, Yesus menantang sistem yang menindas.

V. Mikha 6:8: Suara Kecil yang Membalik Dunia.

Ayat Mikha bukan untuk seremoni HUT gereja. Ia adalah suara kenabian yang mengganggu. Jika kita benar mengklaim gereja sebagai tubuh Kristus, maka tubuh ini harus berdiri di antara anak dan pelaku. Bukan di belakang pelaku. Bukan di samping aparat. Tapi di depan korban, menutupi mereka, menyuarakan mereka, dan membela mereka—meskipun itu artinya kita akan dicaci.

VI. Penutup: Gerakan Kolektif Menuju Sabu Raijua yang Baru.

Hari ini kita harus berhenti menyembelih keadilan di atas tikar adat. Kita harus mulai membangun gerakan lintas agama, lintas desa, lintas generasi untuk menjadikan Sabu Raijua sebagai Kabupaten yang benar-benar layak anak. Anak-anak adalah masa depan. Tapi masa depan mereka akan dibentuk oleh keberanian kita hari ini.

Jika kita tetap diam, maka bukan hanya mereka yang hancur—kita pun akan dikenang sebagai generasi yang memilih reputasi di atas nurani. “Anak-anak SDN Lobolou dan semua anak Sabu Raijua bukan ternak budaya.Mereka adalah citra Allah. Dan keadilan bagi mereka adalah harga mati.”

Pada akhirnya, apresiasi yang mendalam kepada media Warisan Budaya Nusantara (WBN) yang telah dengan konsisten dan berani menyuarakan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak di Sabu Raijua.

Ketika banyak media memilih diam, WBN tetap menjadi suara kenabian di tengah padang gurun moral. Kiranya semangat jurnalisme bernurani ini terus menginspirasi gerakan kebenaran di seluruh NTT dan Indonesia.

Share It.....