
Catatan dari pinggir jalan Trans Bolou oleh = Pendeta John Mozes Hendrik Wadu Neru ( Ketua Klasis Sabu timur)
Sebagai warga biasa yang tinggal di Sabu Timur, saya menulis catatan ini bukan karena ingin cari ribut, apalagi menggurui aparat. Hanya saja, saya bingung. Makin bingung, malah, setelah membaca pernyataan Pak Kapolres Sabu Raijua , AKBP Paulus Naatonis di laman media online Warisan Budaya Nusantara.com yang terbit pada tanggal 14 Juni 2025 kemarin.
Katanya: “Silakan laporkan secara resmi bila ada unsur judi, kami pasti bubarkan.”
Baiklah, izinkan saya bercerita, Pak Kapolres =
Di Unukume (Hole Dimu), sejak Senin, 16 Juni 2025, hingga Sabtu, 21 Juni 2025—jadi bukan cuma 3 hari seperti yang biasa disebut—sedang berlangsung kegiatan yang katanya adat.
Tapi anehnya, wajah-wajah yang ramai hadir bukanlah wajah-wajah penghayat adat Jingitiu. Inisial-inisial yang saya dengar berseliweran justru: Matius, Markus, Lukas, Yohanes. Sedangkan nama-nama yang biasanya akrab di lingkungan adat, seperti Lodo, Mage, Mamo… malah jarang terlihat.
Lebih mengherankan lagi, sejak pagi, jalan Trans Bolou itu ramai. Motor-motor berseliweran, pengendara membawa ayam di sangkar, sebagian langsung mengendong ayam di dada—mirip sekali bukan hendak menghadiri ritual, melainkan festival sabung ayam. Busana adat? Maaf, Pak. Yang ada malah kaos oblong, sandal jepit, dan celana pendek.
Dan di tengah lapangan, terang-benderang: arena taji, papan dadu, ayam-ayam aduan siap berlaga, para pedagang sibuk menggelar dagangan. Ini bukan lagi praktik terselubung. Ini pertunjukan live—di depan mata siapa saja yang lewat.
Lalu, saya merenung membaca pernyataan Pak Kapolres.
Maka izinkan saya, warga awam ini, bertanya:
1. Apakah “izin keramaian” juga otomatis mencakup “izin kawanan ayam” yang mendengkur di arena sabung?
Kalau tidak, mohon dijelaskan pasal mana yang memperbolehkan unggas berjudi di zona yang katanya sakral.
2. Jika warga seperti saya hendak melapor, ke mana persisnya laporan itu saya layangkan? Kantor Polsek? Hotline? Atau cukup DM ke Instagram Polres sambil menulis tagar: #AyamButuhPencerahan?
3. Berapa menit SLA (Service Level Ayam)‑nya? Apakah satu set dadu harus selesai dulu, baru patroli bergerak? Ataukah begitu suara ayam berkokok, sweeper langsung meluncur?
4. Bagaimana dengan perlindungan saksi-pelapor, Pak? Sebab pemain sabung bukan cuma penghayat rasa penasaran, kadang juga penghayat kekerasan.
5. Apakah Polres Sabu Raijua punya rencana jangka panjang selain “himbauan”? Misalnya: razia gabungan, patroli undercover, atau minimal spanduk bertuliskan: “Ayam boleh berkokok, Judi jangan ngokok.” Supaya pesan moral lebih nyaring terdengar.
Dan satu hal yang sangat menggelitik saya, Pak:
Jika adat sungguh dianggap sakral, kenapa penjudi dadakan—yang bahkan bukan penghayat Jingitiu—begitu bebas mondar-mandir membawa sangkar taruhan? Apakah kini kesakralan adat diukur dari besarnya taruhan, bukan dari penghormatan?
Jujur, saya makin tak paham. Barangkali terlalu naif. Atau mungkin saya masih terlalu percaya bahwa adat itu suci, hukum itu tegas, dan aparat itu tegas menjaga marwah keduanya.
Tapi yang saya lihat di lapangan? Dadu berputar. Ayam bertaji. Dan hukum, entah di mana—masih berkata ramah: “Silahkan lapor.”