Tuhan Tak Duduk di Kursi VIP : Refleksi  Kepemimpinan, Gereja, dan Kehidupan Publik di Sabu Raijua

Oleh: John Mozes Hendik Wadu Neru (Pendeta GMIT)

 

Jika Yesus datang ke sebuah acara ibadah atau perjamuan pembangunan di Sabu Raijua hari ini, kemungkinan besar Ia tidak akan mendapat tempat di barisan depan. Ia mungkin terlalu “biasa”, terlalu “tak bersepatu pantofel”, dan tak membawa surat undangan resmi. Ia akan duduk di pinggiran, mungkin bersama guru honorer yang gajinya tak kunjung cair, atau nelayan yang lautnya telah diambil alih proyek pembangunan.

Karena Tuhan kita — sayangnya — tak termasuk dalam daftar VIP.

I. Kisah Lama di Ruang yang Baru: Lukas 14 Masih Berbicara.

Lukas 14:7–14 tidak usang. Ia tetap aktual, bahkan di tengah mikrofon wireless, backdrop instansi, dan deretan kursi empuk yang disusun sesuai urutan kekuasaan. Dalam perikop ini, Yesus mempermalukan mentalitas haus gengsi yang masih juga hidup hari ini. Ia bicara tentang orang-orang yang berebut tempat duduk kehormatan. Ia menyindir — dengan pedas namun tajam — bagaimana kehormatan manusia seringkali berbanding terbalik dengan kehormatan di hadapan Allah.

“Barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan,” kata Yesus.

Tapi di sini, siapa yang mau direndahkan? Semua ingin dipuji, disanjung, disorot kamera. Bahkan kadang pelayanan pun berubah menjadi ajang konten.

II. VIP: Very Important Pencitraan

Di banyak acara resmi di Sabu Raijua — entah itu ibadah perayaan, seminar pendidikan, atau peluncuran program publik — tamu VIP bukan yang paling melayani, tetapi yang paling dekat dengan kekuasaan. Kursi mereka di depan, wajah mereka di baliho, nama mereka disebut pertama. Tapi pertanyaan mendasarnya: apa peran mereka dalam memperjuangkan hidup rakyat kecil?

• Ketika nelayan kehilangan mata pencaharian akibat tambang pasir laut, apakah para VIP ini turun tangan?

• Ketika anak-anak belajar di sekolah yang tak layak, apakah mereka duduk bersama rakyat?

• Ketika guru-guru menanti gaji dan sertifikasi, ke mana suara mereka yang duduk paling depan di ibadah-ibadah itu?

Tuhan tampaknya tidak hadir dalam kursi-kursi itu. Ia terlalu sibuk menjenguk mereka yang tidak dianggap penting oleh agenda protokoler.

III. Gereja: Menyediakan Kursi atau Menjadi Kursi?

Gereja sering kali ikut-ikutan. Kita menyusun barisan tamu undangan berdasarkan kekuasaan, bukan berdasarkan kesetiaan melayani. Bahkan di beberapa gereja, kursi paling depan tidak pernah kosong — selalu tersedia untuk “yang penting”. Tapi yang “tak penting” hanya dapat tempat di belakang, bahkan kadang tidak diajak makan.

Padahal Kristus tidak pernah mengajarkan teologi kasta dalam ibadah. Ia justru menghapus garis pemisah. Sayangnya, kita telah menciptakan kembali tembok itu — hanya saja kali ini kita menyebutnya “liturgis”, “seremonial”, atau “protokoler”.

Teolog Gustavo Gutiérrez pernah berkata: “Gereja harus berpihak pada yang miskin, atau ia berpihak pada sistem.” Dan sistem hari ini — baik agama maupun politik — lebih peduli pada kursi VIP daripada nilai Injil.

IV. Moralitas yang Lesu, Janji yang Layu

Kerendahan hati dalam Lukas 14 juga menantang wajah muram moralitas di Sabu Raijua:

• Proyek-proyek dibagi bukan karena rakyat butuh, tapi karena teman dekat butuh proyek.

• Pantai yang dulunya tempat kehidupan kini jadi zona barter kekuasaan.

• Pendidikan? Ya, tetap disebutkan dalam visi-misi. Tapi kualitas pendidik diabaikan, gaji sering tertunda, dan guru harus bersaing dengan sistem yang lebih menghargai birokrasi daripada pengabdian.

Janji politik yang dulu digembor-gemborkan kini tinggal gema. Kesejahteraan yang dijanjikan tak lebih dari nasi basi yang dilempar saat masa kampanye. Tapi yang aneh, orang-orang ini tetap tampil dalam ibadah — bahkan kadang memimpin doa. Mungkin karena gereja terlalu sibuk menyambut mereka, dan lupa menyambut kebenaran.

V. Yesus Tak Pernah Butuh Gelar Kehormatan

Yesus tidak lahir di rumah bangsawan. Ia lahir di kandang. Ia tidak pernah memegang jabatan sipil, tapi mengguncang tatanan sosial. Ia tidak duduk di kursi VIP, tapi menyentuh mereka yang bahkan tidak diundang ke pesta. Dan justru di situlah letak kemuliaan-Nya.

Hari ini, kita terlalu sibuk menyambut tamu penting, tapi lupa menyambut Sang Tuan Rumah sejati.

VI. Penutup: Siapa yang Duduk Bersama Kristus?

Tuhan tidak duduk di kursi VIP. Ia duduk di mana air mata paling deras mengalir. Ia ada di rumah bocor milik guru yang mengajar dengan iman. Ia ada di perahu yang kini sulit berlayar karena pasir pantai dijual. Ia hadir di dapur ibu-ibu yang memasak sambil mendengar anak-anak bertanya kapan sekolah bisa layak.

Jadi, pertanyaannya:

Apakah kita masih menyusun kursi berdasarkan kuasa, atau sudah menyusunnya berdasarkan kasih?

Apakah gereja akan tetap jadi penyelenggara jamuan yang mewah tapi kosong makna?

Apakah kita akan terus menyambut VIP dan mengusir Kristus diam-diam?

Mari kita bertobat — bukan dengan liturgi panjang dan dekorasi mahal, tapi dengan keberanian membongkar kursi-kursi palsu dan memberi tempat bagi suara yang paling kecil.

Karena di Kerajaan Allah, kursi yang terendah seringkali tempat di mana Tuhan duduk.

Share It.....