Batu Karang yang Bicara Lebih Bijak Dari Kita: Catatan Pendidikan di Sabu Raijua

Oleh = Pdt.  John Mozes Hendrik Wadu Neru ( Ketua Klasis Sabu timur)

I. Prolog: Ketika Batu Berbicara, Manusia Malah Bungkam

Mazmur 78:15-16 menuturkan sesuatu yang ajaib sekaligus memalukan bagi kita:

“Ia membelah gunung batu di padang gurun, dan memberi mereka minum banyak-banyak seperti dari samudera raya; Ia mengeluarkan aliran-aliran dari bukit batu, dan membuat air turun seperti sungai.”

Bayangkan betapa mengejutkan: gunung batu, benda mati yang bisu, mendadak patuh pada suara Allah — retak, menganga, lalu memancarkan air kehidupan. Di sisi lain, umat-Nya yang hidup, yang memiliki hati dan pikiran, justru keras kepala. Mereka bersungut, membangkang, dan menolak untuk setia.

Dalam konteks kita di Sabu Raijua, betapa ironis: batu karang yang keras itu malah lebih cepat menuruti kehendak Tuhan daripada kita yang katanya berakal budi, bersekolah, berpendidikan, bahkan beriman. Di hadapan Mazmur 78, kita ditelanjangi: mungkin batu karang di pantai Sabu Timur lebih patuh pada Tuhan daripada kita yang saban Minggu duduk rapi di gereja dan setiap Senin berbaris tegak di bawah tiang bendera.

II. Menggugat Pendidikan Kita Lewat Mazmur 78

Mazmur 78 adalah kurikulum memori — Asaf menuliskan sejarah gelap Israel agar generasi penerus tidak mengulang kebebalan yang sama. Ini adalah dokumen pendidikan kolektif, supaya bangsa itu ingat: setia pada Allah adalah jalan hidup, bukan sekadar lirik kidung.

Dalam pelayanan pendidikan di Sabu Raijua, entah di SD GMIT terpencil atau SMP Negeri di pinggir pantai, kita juga seharusnya memelihara memori iman, bukan cuma menata angka akreditasi. Pendidikan kita sering sibuk mengejar administrasi BOS, Laporan Dapodik, atau sertifikasi guru, tapi gagal mentransmisikan hikmat Allah yang membuat hati lembut — hingga bisa memancarkan air kehidupan di tengah “padang gurun” sosial kita.

Maka Asaf seperti sedang menampar kita: “Jika batu karang saja bisa mematuhi Tuhan dan mengucurkan air untuk kehidupan banyak orang, mengapa engkau yang katanya beriman, bersekolah, punya gelar, justru keras hati, pelit pengetahuan, dan sering menutup mata terhadap penderitaan guru kontrak atau murid miskin?”

III. Pendidikan Yang Kehilangan Roh: Dari Comenius Sampai Bonhoeffer

Johann Amos Comenius, bapa pendidikan Protestan, menulis pada abad ke-17: “Sekolah adalah bengkel hidup, di mana hati manusia ditempa menjadi serupa dengan gambar Allah.”

Bagi Comenius, tugas pendidikan bukan semata menghafal tabel perkalian, tetapi menanamkan rasa kagum pada Allah dan ciptaan-Nya — agar anak-anak kelak memuliakan Tuhan dalam segala profesi. Pendidikan tanpa dimensi ilahi adalah bangunan megah tanpa pintu ke surga.

Hari ini, sekolah-sekolah kita sering hanya menjadi tempat memproduksi ijazah, bukan menempa hati menjadi bijak. Murid-murid dipaksa menghafal pelajaran, tapi tak diajar mengagumi misteri Allah yang mengeluarkan air dari batu. Kepala sekolah sibuk mengejar data BOS, guru kontrak bertarung menunggu gaji, sementara anak-anak lebih hapal konten TikTok daripada Mazmur 78.

Dietrich Bonhoeffer dalam Ethics menulis keras: “Tugas pendidikan Kristen bukan memproduksi tentara penurut, tetapi orang bebas yang mampu memikul tanggung jawab etis di hadapan Allah dan sesama.”

Sayangnya, banyak kurikulum kita masih mengandalkan metode drill dan ranking. Kita mendewakan tes, membanggakan juara, tapi gagal menyiapkan generasi yang sanggup berkata “tidak” pada korupsi, menolak manipulasi politik, atau sekadar berdiri membela teman miskin di kelas. Kita sibuk memoles rapor, tapi jarang menggugat: apakah anak-anak ini sungguh belajar takut akan Tuhan? Apakah mereka kelak akan lebih bijak daripada batu karang?

IV. Batu Karang yang Memancarkan Air, Kita Memancarkan Apa?

Di Sabu Raijua, batu karang adalah sahabat sekaligus tantangan. Petani garam menggantungkan hidup pada cekungan-cekungan batu. Rumah tradisional menumpang pada fondasi batu. Ketika musim kemarau panjang, kita menengok sumur-sumur di antara karang. Kita tahu karang bisa menahan, menyimpan, bahkan melepaskan air.

Tetapi manusia — yang seharusnya lebih lembut dari karang — justru sering membeku.

• Guru kontrak menunggu honor enam bulan, tapi dinas hanya bilang, “sabar, menunggu APBD.”

• Anak-anak datang ke sekolah dengan sandal putus, tapi orang-orang dewasa sibuk debat di media sosial tentang pilkada berikut.

• Gereja merayakan bulan pendidikan dengan meriah, tapi tak punya program nyata untuk menolong guru dan murid di dusun terpencil.

Mazmur 78 seolah berbisik sinis: lebih baik belajar pada batu karang, sebab mereka mematuhi suara Allah dan memberi air bagi kehidupan.

 

V. Dari Belajar Masa Lalu, Membangun Pelajaran Berharga Untuk Masa Depan

Mazmur 78:6-7 menegaskan tujuan “kurikulum memori” itu:

“Supaya diketahui oleh angkatan yang kemudian, anak-anak yang akan lahir kelak; supaya mereka bangun dan menceriterakannya kepada anak-anak mereka, supaya mereka menaruh kepercayaan kepada Allah dan tidak melupakan perbuatan-perbuatan-Nya, tetapi memegang perintah-perintah-Nya.”

Inilah inti pendidikan: agar generasi mendatang tidak sekadar cerdas angka, tapi teguh pada Tuhan, peduli pada sesama, dan sanggup mewariskan kasih yang adil. Pendidikan di Sabu Raijua hanya akan bernilai jika mampu membuat anak-anak lebih bijak dari karang — siap memancarkan “air kehidupan” bagi tetangganya, gereja, dan bangsa.

Jangan sampai sekolah kita hanya melahirkan orang pintar licik. Jangan biarkan gereja kita hanya memproduksi “tukang tafsir doktrin” tapi kering kasih. Kita perlu sekolah dan gereja yang mau menggali dasar iman, menembus karang keras egoisme, lalu memancarkan air sejuk kebenaran, keadilan, dan pengharapan.

 

VI. Sebuah Sindiran: Batu Karang Tidak Pernah Butuh BOS atau SPP

Betapa satire! Batu karang di pesisir Pantai Sabu Timur tak pernah ikut pelatihan guru, tak pernah menunggu APBD, tak perlu proposal dana BOS, tetapi ketika Allah berseru, mereka retak dan memancarkan air untuk ribuan umat-Nya.

Sementara kita — manusia bersekolah, berdasi, berliturgi — justru sering mempersulit air kehidupan mengalir: kita sibuk urusan prosedur, malas memperjuangkan hak guru honorer, malas menyediakan buku bermutu, enggan membela murid yang dilecehkan, lalu dengan cepat berkata, “Itu urusan pemerintah.”

Batu karang mungkin menertawakan kita. Mereka hanya batu, tapi patuh total pada Sang Pencipta. Kita manusia, dicipta segambar Allah, tetapi kerap keras kepala melebihi karang.

VII. Penutup: Waktunya Kita Belajar Pada Batu Karang

Maka bulan pendidikan kali ini, ketika GMIT di Sabu Raijua mengangkat tema “Belajar Dari Masa Lalu, Pelajaran Berharga Untuk Masa Depan,” kita patut bertanya:

Apakah kita sudah sungguh belajar dari masa lalu?

Apakah kita sudah menjadi komunitas pendidik — keluarga, gereja, sekolah — yang hati dan pikirannya lembut, mudah dibentuk Allah, lalu memancarkan air kehidupan?

Jika belum, mungkin kita harus berjalan ke pesisir, duduk diam di samping batu karang, dan merenungkan satu fakta pahit:

mereka tidak bersekolah, tidak pernah ikut bimbingan teknis, tidak memegang silabus, tapi ketika Tuhan berkata, mereka patuh. Mereka retak, lalu memancarkan air untuk menolong ribuan manusia.

Kita — yang punya rapat rutin, buku catatan, kurikulum, liturgi, bahkan rancangan program pelayanan — kapan retak supaya air kebaikan keluar dari hidup kita?

Mungkin hanya setelah itu, barulah kita pantas disebut lebih bijak daripada batu karang.

Share It.....