
WBN │Setelah puluhan tahun tidak lagi menjalankan Ritual Bato, Anggota Suku Sabekodomado di Desa Were II, Kecamatan Golewa Selatan, Kabupaten Ngada Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, kembali menghidupkan Budaya Bato.
Disaksikan media ini, (14/6/2022) Kepala Suku Sabekodomado, Hendrikus Ngete dan Pemandu atau Pemimpin Ritual Adat, Andreas Lai, menggelar Ritual Bato.
Ritual Bato merupakan salah satu ritual adat warisan leluhur adat setempat, untuk menandai akan dimulainya proses bercocok tanam.
Ritual Bato diyakini bermanfaat untuk menghindari serangan hama pertanian. Jika ritual Bato tidak dilaksanakan, diyakini hama dan wabah akan menyerang tanaman pertanian, yang berujung pada peristiwa gagal panen.
Sebelum melaksanakan ritual Bato, seorang Kepala Suku mengumumkan kepada seluruh anggota suku, para penggarap tanah maupun para pembeli tanah, tentang semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan ritual Bato.
Hal-hal yang diumumkan oleh Kepala Suku, misalnya soal pantangan atau larangan-larangan adat untuk dipatuhi dan bersifat wajib.
Rangkaian ritual Bato biasanya digambarkan dengan memasak nasi dengan cara mengisi beras ke dalam potongan-potongan bambu yang sudah disediakan, lalu dibakar menggunakan api dan setelah masak akan dilangsungkan acara makan nasi bambu.
Selain beras dan air yang diisi pada bambu, juga disertai potongan-potongan daging ayam yang dicampur merata bersama bumbu-bumbu lokal.
Jenis bambu yang digunakan untuk ritual ini ada dua jenis bambu yakni, bambu aur atau dalam istilah setempat disebut “guru”. Sementara jenis berasnya adalah beras merah untuk dimakan oleh kaum pria.
Berikutnya, jenis bambu yang dalam istilah setempat disebut “Peri” dan menggunakan beras putih, yang diperuntukannya khusus bagi kaum wanita.
Sementara itu, potongan daging ayam yang dimasak bersama beras dan dicampuri bumbu-bumbu lokal dan dimasukan dalam bambu untuk dibakar, semuanya harus melalui proses ritual, yang dalam istilah adat setempat disebut dengan “Mate Manu”, atau do’a adat sebelum menyembelih seekor ayam.
Ritual Mate Manu tidak bisa dilakukan pada sembarang tempat, tetapi dilakukan pada salah satu lokasi khusus dalam tanah kekuasaan ulayat, dengan melalui upcara ritual pengesahan tempat mengikti jejak ritual para leluhur tempo dulu, harus dilaksanaan di sebuah lokasi yang dalam istilah setempat disebut dengan “Mata Uma”, berlokasi di Mata Uma.
Setelah semua menu yang disatukan dalam wadah bambu dimasak, Kepala Suku dan Tokoh Adat yang telah ditunjuk melakukan ritual bernama “Fedhi Tua” dan dilaksanakan di “Mata Uma”.
Ritual Fedhi Tua adalah acara untuk memberi makan kepada para leluhur dengan didahului do’a adat. Untuk ritual yang satu ini, seluruh menu makanan yang dipersembahkan kepada leluhur, pada akhirnya harus dimakan sampai habis oleh kaum lelaki dalam suku.
Usai ritual Fedhi Tua, acara dilanjutkan dengan membanting pecahaan bambu nasi oleh Kepala Suku, lalu disembur dengan air sirih oleh salah satu peserta ritual Fedhi Tua, sambil menyebutkan waktu dan posisi bulan untuk dilaksanakan kegiatan bercocok tanam dan pelaksanaan kegiatan berikutnya.
Ketika Kepala Suku telah memperoleh keputusan yang tepat, yang ditentukan melalui pecahan bambu yang diyakni dipecahkan oleh para leluhur, pecahan bambu tersebut diikat lalu digantung di Mata Uma, berikutnya dilanjutkan dengan acara makan bersama di sekitar Mata Uma.
“Dengan kemampuan saya yang secara alami dicurahkan oleh para leluhur untuk melakukan berbagai macam ritual adat, sebenarnya menjadi kesempatan emas bagi generasi muda untuk mempelajarinya. Tetapi, ini semua menjadi sia-sia apabila kegiatan seperti ini banyak yang tidak mengambil bagian atau hanya setengah-setengah mengikutinya”, ujar Sang Pemandu Ritual, Andreas Lai kepada tim media Warisan Budaya Nusantara di lokasi ritual yang dilaksanakan.
Dia berharap, kawula muda, khususnya Anggota Suku Sabekodomado, untuk kembali menata tempat-tempat seperti Mata Uma, ditata menjadi lebih indah, karena selain menarik perhatian, juga akan sangat menjiwai seluruh rangkaian acara adat, yang akan membawa dampak positif kepada kehidupan pertanian dan ataupun berbagai usaha lainnya.
Kepada media ini, Kepala Suku Sabekodomado, Hendrikus Ngete mengungkapkan perasaan bahagia karena ritual yang sudah lama ditinggalkan, dapat kembali dilaksanakan.
“Terakhir kami lakukan ritual ini pada tahun 1995. Akhir-akhir ini para petani diresahkan dengan berbagai macam hama tanaman yang mengakibatkan masyarakat gagal panen. Pada zaman dulu ritual seperti ini selalu dihadiri oleh ratusan lebih orang, lalu ditandai dengan banyaknya ayam yang terkumpul. Ritual ini sebenarnya tidak hanya dihadiri oleh anggota suku, tetapi seharusnya semua warga, baik oleh para pembeli atau penggarap tanah yang bersumber dari suku ini, maupun anggota suku. Sebagai Kepala Suku saya sangat mengharapkan kegiatan-kegiatan berikutnya dihadiri oleh semua pihak baik anggota suku, para pembeli atau penggarap tanah. Saya juga menyampaikan terimakasih kepada semua pihak, sebab acara ini dapat berjalan dengan baik, sesuai harapan,” kata Kepala Suku Sabekodomado, Hendrikus Ngete.
Kepala Suku Sabekodomado, Hendrikus Ngete juga mengharapkan kepada pemerintah setempat agar dapat ambil bagian dalam kegiatan adat budaya seperti ini, lalu mau mensosialisasikan kepada masyarakat umum tentang nilai-nlai penting dari adat budaya yang selalu dilestarikan.
Simak berita video, WBN Pers : Dubbing siar : Aurelius Do’o – Klip video : Nober Niga – Naskah : Nober Niga – Editor Naskah : Aurelius Do’o, – Sound back : gong gendang budaya Ngada : dokumen audio Redaksi WBN Redaksi NTT.
WBN│Nober Niga │Editor-Aurel