
Oleh : Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus, SH
Gagasan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL), berupa pelarangan bagi Wisatawan miskin berkunjung ke destinasi wisata Labuan Bajo, NTT, pada 1/11/2019 yang lalu, mulai memakan korban, seiring berlakunya tarif baru harga tiket masuk Taman Nasional Komodo (TNK) pertanggal 1/8/2022, secara efektif menjadi Rp.3.750.000,- (tiga juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) per-pengunjung.
Kenaikan tarif tiket masuk TNK ini, jelas sebagai suatu pemaksaan kehendak VBL dan bukan sebagai kebijakan Pemerintah Pusat, karena sebagai Taman Nasional, kebijakannya itu ditentukan oleh pemerintah pusat berupa PP dan PP yang dimaksud adalah PP No.12 Tahun 2014, yang mengatur pemberlakuan tarif masuk termasuk tarif TNK.
Karena itu, pemberlakuan tarif masuk TNK dengan harga tiket sebesar Rp. 3.750.000,- jelas tidak memiliki dasar hukum dan bersifat sangat diskriminatif karena bertujuan untuk menangkal orang-orang berpenghasilan menengah ke bawah tidak bisa atau tidak boleh masuk di TNK.
Ini namanya diskriminasi dalam pelayanan kepariwistaan. Yang menarik adalah, justru wisatawan manca negara yang kaya-raya-pun ikut melakukan protes, antara lain dengan membatalkan rencana kunjungannya ke TNK, Labuan Bajo, lantaran kenaikan tarif tiket masuk sebesar Rp.3.750.000,- dianggap terlalu mahal dan ada unsur diskriminasi dalam pemberlakuan tarif baru per 1/8/ 2022, yang hanya berlaku bagi orang kaya.
Di sini sebenarnya yang melakukan Perbuatan Melawan Hukum, adalah Gubernur NTT VBL, bukan Pelaku Usaha yang hari-hari ini melakukan mogok berusaha, akibat mereka merasakan tarif baru tiket TN Komodo sudah mematikan Pelaku Usaha Menengah ke bawah, dengan modus menuju praktek monopoli.
Berdasarkan keluhan sejumlah Pelaku Usaha, bahwa praktek bisnis di TN Komodo yang dikelola oleh Perumda Provinsi NTT yaitu PT. Flobamora sebagai kuasa tunggal mengelola penjualan tiket masuk TNK, ini jelas melanggar UU No.5 Tahun 1999, Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dengan demikian, yang harus diproses dan dimintai pertanggungjawaban secara pidana oleh Polda NTT, terkait aksi mogok tanggal 1/8/2022 dstnya. seharusnya Gubernur NTT VBL, bukan Para Pelaku Usaha di Labuan Bajo, karena hak mogok Pelaku Usaha dijamin UU, mengapa merekalah yang ditangkap, dianiaya dan diproses hukum.
Oleh karena itu, Kapolda NTT, harus membatalkan status tersangka Pelaku Usaha yang ditangkap kemarin, karena yang menghambat Wisatawan Domestik dan Wisatawan Asing berkunjung ke TNK Labuan Bajo, kemarin 1/8/2022 adalah karena kebijakan Gubernur NTT VBL menaikan tarif tiket masuk menjadi Rp.3.750. 000,- per pengunjung, bukan akibat aksi mogok Pelaku Usaha.
Penulis : Petrus Selestinus, Koordinator TPDI & Advokat PERADI
(Isi Artikel, Opini sebagai Karya Orisinili Penulis, bukan tanggungjawab redaksi)
Sikap DPRD PROV NTT Bagaimana? Kan sudah ada keterwakilan rakyatnya sehingga pemerintah menerbitkan ketentuan itu pasti sudah melalui mekanisme bersama dewan. Kalaupun tidak maka setelah timbul konflik akibat sebuah kebijakan maka dewan harusnya cepat’tanggap. Kalau tidak ya Masy akan bertindak sendiri. Lalu untuk apa ada Dewan?