Terik Matahari dan Teduh Tenda :  Refleksi Hardiknas di Negeri Paradoks
Oplus_131072

Oleh: Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru (Pendeta GMIT)

Refleksi ini menawarkan pandangan kritis dan satiris tentang realitas kontras dalam dunia pendidikan Indonesia, khususnya melalui lensa perayaan Hari Pendidikan Nasional.

Dengan membandingkan kemewahan tenda teduh untuk pejabat dan teriknya matahari yang menimpa siswa dan guru, kita diajak merefleksikan kesenjangan pendidikan yang tajam antara pusat dan daerah terpencil seperti Sabu Raijua, NTT.

Melalui analisis data, testimoni, dan kebijakan,dokumen ini membuka mata kita pada ironi system pendidikan nasional dan menawarkan visi untuk perubahan yang lebih adil dan inklusif.

 

I.Selamat Hari Pendidikan Nasional:Perayaan di Bawah Dua Langit Berbeda

Selamat Hari Pendidikan Nasional! Hari di mana kita merayakan tonggak penting pendidikan bangsa, mengenang jasa Ki Hajar Dewantara, dan menggemakan semangatb”Tut Wuri Handayani”. Namun, mari kita jujur sejenak dan melihat bagaimana perayaan ini sesungguhnya menjadi cermin sempurna ketimpangan pendidikan kita.

Di lapangan upacara seluruh Indonesia, terjadi pemandangan serupa: para tamu terhormat dan pejabat duduk nyaman di bawah tenda berpendingin udara, sementara ribuan murid dan guru berjemur di bawah terik matahari, menyimak pidato panjang tentang prestasi gemilang pendidikan Indonesia.

Pemisahan fisik ini bukanlah sekadar masalah protokoler semata, tetapi merupakan simbolisme sempurna dari dualisme pendidikan kita. Seperti tenda yang memisahkan pejabat dan rakyat biasa, sistem pendidikan kita juga memiliki sekat tebal antara yang diistimewakan dan yang terpinggirkan.

Data Kementerian Pendidikan menunjukkan kesenjangan fasilitas pendidikan antara Jawa dan NTT sangat mencolok – 80% sekolah di Jawa memiliki fasilitas yang memadai, sementara hanya 32% sekolah di NTT yang mencapai standar minimal.

Saat pidato kemajuan pendidikan dibacakan dengan penuh semangat dibawah tenda yang teduh, di luar sana siswa-siswa NTT berjuang mendengarkan di bawah terik matahari – persis seperti mereka berjuang mendapatkan pendidikan layak setiap harinya.

Ironi semakin terasa ketika pidato-pidato Hardiknas selalu dipenuhi klaim kemajuan pendidikan nasional, angka partisipasi sekolah yang meningkat, dan keberhasilan program-program pemerintah. Namun pidato-pidato tersebut jarang menyinggung realitas pahit di daerah terpencil seperti Sabu Raijua. Seolah ada dua Indonesia berbeda:

Indonesia dalam pidato dan Indonesia dalam kenyataan. Seperti kesenjangan antara teduhnya tenda dan panasnya terik matahari, kesenjangan antara retorika dan realitaspendidikan kita terlalu lebar untuk diabaikan.

Hardiknas seharusnya menjadi momen refleksi mendalam tentang kondisi pendidikan kita yang sebenarnya, bukan sekadar perayaan seremonial yang justru menegaskan ketimpangan. Ketika anak-anak berjemur di terik matahari mendengarkan pidato tentang kemajuan pendidikan, mereka sesungguhnya juga sedang diajarkan pelajaran tidak tertulis tentang hierarki sosial dan prioritas bangsa ini.

II. Potret Buram Pendidikan Sabu Raijua: Ketika Angka Merah Bukan Hanya di Rapor

Jika kita mengalihkan perhatian dari kemegahan upacara Hardiknas ke realitas pendidikan di Sabu Raijua, NTT, kita akan menemukan potret kontras yang menyakitkan.

Kabupaten kepulauan yang terletak di ujung barat daya Pulau Timor ini menyimpan angka-angka yang jarang sekali muncul dalam pidato resmi para pejabat. Berdasarkan data Dinas

Pendidikan NTT, hampir 47% sekolah di Sabu Raijua berada dalam kondisi rusak sedang hingga berat. Bangunan yang bocor, dinding yang retak, dan lantai yang berlubang bukan pemandangan langka, melainkan realitas sehari-hari bagi ribuan pelajar di sana.

Permasalahan tidak berhenti pada infrastruktur saja. Rasio guru-murid di Sabu Raijua mencapai 1:60, jauh melampaui standar nasional 1:20. Bayangkan seorang guru harus membagi perhatian dan energinya untuk 60 siswa sekaligus. Kualitas pembelajaran menjadi pertanyaan besar dalam kondisi seperti ini. Tidak mengherankan jika angka putus sekolah di Sabu Raijua mencapai 22%, salah satu yang tertinggi di Indonesia Timur.

Di era digitalisasi pendidikan, hanya 12% sekolah di Sabu Raijua yang memiliki akses internet. Ketika di kota- kota besar siswa sudah akrab dengan pembelajaran berbasis teknologi, anak-anak Sabu Raijua masih bergulat dengan keterbatasan akses informasi dasar.

Ironis bahwa di tengah gembar-gembor revolusi pendidikan digital, masih ada wilayah yang tertinggal jauh di belakang. Yang paling memprihatinkan, anggaran pendidikan Kabupaten Sabu Raijua hanya mencapai 8,2% dari total APBD, jauh di bawah mandat konstitusional 20%. Bagaimana mungkin kita berharap pendidikan berkualitas ketika investasi untuk pendidikan saja tidak memadai?

Angka-angka ini bukanlah sekadar statistik, tetapi representasi dari mimpi-mimpi yang tertunda dan potensi yang terbuang dari generasi muda Sabu Raijua.

Di Sabu Raijua, angka merah tidak hanya muncul di rapor siswa, tetapi juga di setiap aspek pendidikan – dari infrastruktur hingga anggaran, dari rasio guru-murid hingga angka putus sekolah.

III. Di Bawah Tenda yang Sama: Ironi Kebijakan Pendidikan Nasional.

Kebijakan pendidikan nasional kita seringkali bagaikan tenda megah yang hanya menaungi sebagian kecil dari populasi. Pendekatan “satu ukuran untuk semua” (one-sizefits-all) yang diterapkan pemerintah pusat mengabaikan keragaman konteks geografis, sosial, dan budaya Indonesia yang luar biasa.

Kurikulum nasional yang seragam, misalnya tidak memberikan ruang yang cukup untuk kearifan lokal dan kebutuhan spesifik daerah seperti Sabu Raijua. Kementerian Pendidikan sering membanggakan program digitalisasi sekolah dan pelatihan guru berbasis teknologi. Namun, ketika hanya 12% sekolah di Sabu Raijua memiliki akses internet, kebijakan ini menjadi tidak lebih dari sekadar retorika kosong. Ini seperti mengajarkan teknik berenang canggih kepada orang yang bahkan belum memiliki akses ke air.

Ketimpangan struktural ini berdampak langsung pada kualitas pendidikan. Ketika guru – guru di Sabu Raijua harus mengajar dalam kondisi kelas yang penuh sesak, tanpa bahan ajar yang memadai, dan dengan pelatihan minimal, bagaimana mungkin kita mengharapkan kualitas lulusan yang setara dengan daerah daerah yang lebih beruntung?

Sistem pendidikan yang adil tidak berarti memberikan hal yang sama kepada semua orang, tetapi memberikan apa yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah untuk mencapai standar minimal yang layak.

Kebijakan pendidikan nasional kita telah menciptakan ilusi kemajuan melalui laporan – laporan statistik yang mengagumkan, tetapi gagal menyentuh akar permasalahan di daerah-daerah terpinggirkan. Seperti tenda yang hanya melindungi sebagian orang dari terik matahari, kebijakan ini hanya menguntungkan mereka yang sudah berada dalam posisi istimewa, sementara yang lain tetap berjemur dalam keterbatasan.

IV. Berjemur dalam Janji-janji: Retorika Vs Realitas Pendidikan Indonesia.

Jika kita memutar kembali pidato-pidato Hardiknas lima tahun terakhir, kita akan menemukan pola yang konsisten: janji-janji besar untuk perbaikan infrastruktur, peningkatan kualitas guru, pemerataan akses pendidikan, dan digitalisasi sekolah. Namun, bagi masyarakat Sabu Raijua, janji-janji ini seperti fatamorgana di padang gurun — terlihat menjanjikan dari kejauhan namun tak pernah bisa digapai. Sementara pidato-pidato heroik disampaikan di bawah teduhnya tenda,di bawah panas terik lapangan upacara guru guru bercerita tentang keterbatasan mereka memenuhi kebutuhan hidup oleh upang minim dan sering terlambat, kondisi keterbatasan infrastruktur sekolah pasca seroja, tunjangan sertifikasi yang tidak terbayarkan: “tunggu anggaran tahun depan”.

Pidato Hardiknas seringkali seperti syair merdu yang dinyanyikan dari kejauhan, sementara di ruang ruang kelas guru berjuang agar air hujan tidak membasahi buku-buku anak-anak dan debu tidak menerobos jendela tanpa kaca. Namun, di tengah keterbatasan ini, kita juga masih menjumpai cerita-cerita inspiratif yang justru menyoroti kegagalan sistem, bukan keberhasilannya seperti siswa siswa yang sekalipun harus berjalan jauh namun mereka berhasil meraih prestasi akademik gemilang bukan karena sistem yang mendukung, melainkan karena perjuangan pribadi yang luar biasa.

Keberhasilan mereka seharusnya tidak dijadikan bukti keberhasilan sistem, tetapi justru bukti betapa sistemnya telah gagal menyediakan landasan dasar yang layak. Paradoks pendidikan Indonesia terletak pada kesenjangan antara apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan. Kita mahir menciptakan slogan-slogan menawan dan program- program dengan nama menarik, tetapi gagal dalam implementasi dan pemantauan yang konsisten.

Seperti siswa dan guru yang berjemur di bawah terik matahari saat upacara, masyarakat Sabu Raijua terus berjemur dalam janji-janji manis yang tak kunjung terwujud.

V. Reformasi Pendidikan: Dari Teduh untuk Semua, Bukan Hanya Segelintir.

Jika kita ingin benar-benar menghormati semangat Hari Pendidikan Nasional, maka kita harus berani membayangkan sistem pendidikan yang menyediakan “keteduhan” bagi semua, bukan hanya bagi segelintir orang. Reformasi pendidikan yang dibutuhkan Indonesia, khususnya untuk daerah seperti Sabu Raijua, paling kurang perlu memperhatikan 4 hal dalam prosesnya:

1. Redistribusi Sumber Daya : Alokasi anggaran pendidikan harus menggunakan pendekatan afirmatif yang mengutamakan daerah tertinggal.

Daerah seperti Sabu Raijua membutuhkan lebih dari sekadar persentase standar untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur dan sumber daya manusia. Formula penghitungan dana BOS perlu mempertimbangkan indeks kesulitan geografis dan ketersediaan infrastruktur dasar;

2. Pendekatan Berbasis Kebutuhan Lokal : Standardisasi nasional perlu diseimbangkan dengan fleksibilitas lokal ;

Kurikulum nasional seharusnya menyediakan ruang bagi konten lokal yang substansial, memungkinkan sekolah di Sabu Raijua untuk mengintegrasikan kearifan lokal dan keterampilan yang relevan dengan kehidupan di wilayah kepulauan. Standar kompetensi tetap nasional, tetapi jalur mencapainya bisa beragam.

3. Pemberdayaan Komunitas Lokal : Desentralisasi pendidikan seharusnya tidak berhenti di tingkat kabupaten, tetapi sampai ke level sekolah dan komunitas;

Komite sekolah perlu diberdayakan dengan kewenangan substantif dalam pengambilan keputusan, termasuk pengelolaan Sebagian anggaran dan penyusunan program. Model “sekolah milik masyarakat” akan meningkatkan rasa kepemilikan dan partisipasi aktif komunitas.

4. Model Pendidikan Kontekstual : Sabu Raijua membutuhkan model pendidikan yang sesuai dengan realitas geografis dan sosial-ekonominya.

Program seperti sekolah satu atap, kelas jauh, atau guru kunjung bisa menjadi solusi untuk menjangkau desa-desa terpencil. Model pembelajaran multi-grade perlu dikembangkan untuk sekolah dengan jumlah siswa sedikit tetapi tersebar di banyak jenjang kelas.

Pemerintah pusat perlu mengadopsi prinsip “keadilan distributif” dalam kebijakan pendidikan nasional. Ini berarti memberikan lebih banyak kepada mereka yang membutuhkan lebih banyak.

Jika Jakarta sudah memiliki fasilitas pendidikan memadai, maka investasi untuk infrastruktur pendidikan seharusnya dialihkan ke daerah seperti Sabu Raijua yang masih jauh tertinggal.

Program percontohan di beberapa daerah terpencil telah menunjukkan bahwa pendekatan berbasis komunitas dapat memberikan hasil signifikan bahkan dengan sumber daya terbatas.

Di Sumba Timur, misalnya, program “Rumah Belajar Komunitas” berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah hingga 40% dalam tiga tahun. Model- model inovatif semacam ini perlu dipelajari dan direplikasi di daerah dengan karakteristik serupa seperti Sabu Raijua. Pada akhirnya, reformasi pendidikan sejati harus menjadikan “keteduhan” sebagai hak semua warga, bukan privilese bagi segelintir orang.

Seperti tenda upacara yang seharusnya melindungi semua peserta dari terik matahari, sistem pendidikan nasional harus mampu memberikan perlindungan dan dukungan yang sama bagi seluruh anak Indonesia, di manapun mereka berada.

VI. Bayangan Podium dan Harapan Terang: Menuju Pendidikan yang Benar-benar Nasional.

Setiap upacara Hardiknas selalu menampilkan podium yang menjulang, tempat para pejabat berdiri dan menyampaikan pidato penuh harapan. Bayangan yang dihasilkan podium itu simbolis — menghalangi cahaya bagi sebagian, sementara memberikan sorotan bagi yang lain.

Visi pendidikan Indonesia yang benar-benar inklusif dan berkeadilan harus mampu menghilangkan bayangan-bayangan ini, memastikan bahwa terang pembelajaran menjangkau setiap sudut negeri, termasuk pulau-pulau terpencil seperti Sabu Raijua.

Paling kurang ada 4 hal yang bisa ditawarkan untuk dikerjakan oleh pemerintah Kabupaten dalam kolaborasinya bersama pemerintah provinsi dan pusat agar terang pembelajaran itu menjangkau wilayah terpencil seperti Sabu Raijua.

1. Pemetaan Kebutuhan Riil. 

Langkah pertama adalah pemetaan komprehensif tentang kondisi actual pendidikan di Sabu Raijua dan daerah serupa, tidak hanya dari sisi

infrastruktur fisik tetapi juga ketersediaan guru berkualitas, akses terhadap materi pembelajaran, dan hambatan-hambatan kultural dalam pendidikan. Data ini harus

menjadi dasar pengambilan kebijakan, bukan laporan-laporan administratif yang seringkali tidak mencerminkan realitas lapangan.

2. Memberi Prioritas Pada Alokasi Sumber Daya Afirmatif. 

Berdasarkan pemetaan tersebut, alokasi sumber daya harus bersifat afirmatif – memberikan lebih banyak kepada yang membutuhkan lebih banyak. Ini mencakup anggaran untuk infrastruktur fisik, pengembangan sumber daya manusia, dan program-program pendukung seperti beasiswa dan bantuan operasional yang disesuaikan dengan kondisi geografis dan sosial-ekonomi.

3. Implementasi Berbasis Konteks

Program dan kebijakan pendidikan yang diterapkan di Sabu Raijua harus mempertimbangkan konteks lokal, termasuk kondisi geografis sebagai daerah kepulauan, karakteristik sosial budaya masyarakat, dan tantangan ekonomi spesifik yang dihadapi. Model “copy-paste” dari program yang berhasil di Jawa tidak akan efektif tanpa adaptasi yang substansial.

4. Evaluasi Partisipatif. 

Sistem evaluasi kebijakan pendidikan harus melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk siswa, guru, orang tua, dan komunitas. Suara mereka yang selama ini “berjemur di bawah terik matahari” harus menjadi pertimbangan utama dalam menilai keberhasilan program dan intervensi pendidikan di daerah mereka.

Kita bisa belajar dari beberapa daerah yang telah menunjukkan bahwa kesenjangan pendidikan bukan takdir yang tak terelakkan. Kabupaten Raja Ampat di Papua Barat, misalnya, berhasil meningkatkan kualitas pendidikanya secara signifikan melalui program “Guru Pulau” yang memberikan insentif khusus bagi guru berkualitas untuk mengajar di pulau-pulau terpencil. Kabupaten Belu di NTT juga menunjukkan kemajuan berarti melalui program “Rumah Belajar Lintas Batas” yang mengintegrasikan pendidikan formal dengan kearifan lokal.

Tantangan terbesar dalam mengubah simbolisme Hardiknas menjadi aksi nyata adalah kemauan politik. Selama pendidikan hanya menjadi prioritas dalam retorika tetapi bukan dalam alokasi anggaran dan implementasi kebijakan, kesenjangan akan terus melebar.

Diperlukan tekanan publik yang kuat dan advokasi berkelanjutan untuk memastikan bahwa janji-janji pendidikan merata tidak hanya menggema di bawah tenda-tenda upacara, tetapi benar-benar sampai ke ruang-ruang kelas di Sabu Raijua.Kualitas sebuah bangsa tidak diukur dari gemerlap gedung-gedung pencakar langit di ibukotanya, tetapi dari kondisi sekolah-sekolah di daerah terjauhnya.

Sebagai penutup, mari kita refleksikan kembali makna Hardiknas yang sesungguhnya. Hari ini seharusnya bukan sekadar perayaan formal dengan pidato dan upacara, tetapi momentum untuk introspeksi kolektif tentang komitmen kita terhadap pendidikan yang benar-benar untuk semua. Ketika semua anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Jakarta hingga Sabu Raijua, mendapatkan kesempatan pendidikan yang setara, saat itulah kita benar-benar menghormati warisan Ki Hajar Dewantara dan mewujudkan semangat Hardiknas yang sejati.

Pendidikan adalah terang yang harus menerangi seluruh negeri, bukan hanya titik-titik terang yang terlihat dari kejauhan.

Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional 02 Mei 2024

Share It.....