Perjuangan di Gang Dharma Wanita: pak Min dan proteksi komunitas nasi goreng asep di tengah badai harga dan Persaingan

Penulis: Gilang Ramadhan Tri Wahyudi

WBN|Jakarta— Di tengah hiruk pikuk Jalan Dharma Wanita 4, Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, gerobak nasi goreng milik Pak Min Muntoha (58) menjadi salah satu saksi bisu sengitnya persaingan kuliner kaki lima. Menjajakan Nasi Goreng, Kwetiau, dan Mie dengan harga standar Rp15.000 per porsi, Pak Min harus berjuang keras menjaga dapur tetap mengepul di tengah lonjakan harga bahan pokok dan menjamurnya pedagang serupa. 26 Oktober 2025

Pak Min Muntoha, yang memulai karir kelilingnya enam tahun lalu dan kini menetap selama empat tahun di lokasi tersebut, mengungkapkan bahwa tekanan terbesar datang dari dua sisi: inflasi bahan baku dan kompetisi yang tidak terhindarkan.

“Sekarang hampir setiap sudut ada minimal satu tukang nasi goreng. Dulu pesaing tidak seperti sekarang,” ujar Pak Min. Tekanan persaingan ini terkonfirmasi dari penurunan penjualan hariannya. Jika dahulu ia bisa menghabiskan lebih dari 60 butir telur dan laku hingga 50 porsi lebih, kini rata-rata penjualannya berkisar di angka 45 porsi dan sering kali menyisakan stok telur yang ia bawa.

Telur dan Cabai Jadi Pemicu Pusing Harian

 

Menyoal inflasi, Pak Min Muntoha menunjuk dua komoditas yang paling sering membuat pusing kepala: telur dan cabai. “Telur dan cabai harganya suka naik turun, tapi sebetulnya semua bahan pokok yang dibutuhkan nasi goreng itu suka naik,” keluhnya. Meskipun demikian, menaikkan harga jual di tengah persaingan ketat bukanlah pilihan mudah, menuntutnya untuk pintar-pintar mengelola modal demi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak. “Buat kebutuhan sehari-hari, keluarga, dan demi anak, sekolah anak,” katanya, menegaskan motivasi utamanya bertahan.

 

Solusi Komunitas: Gerobak Sewa dan Ketersediaan Bahan

Di balik gerobak yang menjadi ‘rumah’ sementaranya, Pak Min ternyata tidak berjuang sendirian. Ia merupakan bagian dari organisasi payung, yaitu Komunitas Nasi Goreng Asep. Keanggotaan ini memberikannya support system yang signifikan, menolongnya mengatasi masalah logistik dan ketersediaan modal kerja.

“Untungnya komunitas Asep diberikan sewa gerobak Rp15.000 per hari,” ungkapnya.

Yang paling meringankan adalah kemudahan logistik bahan baku. Meskipun harga dari boss di komunitas memiliki sedikit selisih dibanding harga di pasar, Pak Min menilai itu sebanding dengan efisiensi waktu dan tenaga. “Selisih itu masih ketutup ketimbang harus jalan ke pasar meski lebih murah. Bahannya bisa didapat tersedia kapan saja,” jelas Pak Min. Komunitas juga meringankan beban pedagang dengan tidak membebankan biaya sewa gerobak jika Pak Min sedang tidak berjualan.

Strategi Rasa dan Customer Preference

 

Untuk memenangkan hati pelanggan di tengah lautan pesaing, Pak Min mengandalkan resep pribadinya. Ia menggunakan bawang bombai dalam racikannya demi mengharumkan nasi goreng. Selain itu, ia melakukan adaptasi signifikan berdasarkan masukan pelanggan.

“Saya tidak menggunakan batang daun bawang di setiap masakan,” katanya. Ia menjelaskan bahwa banyak pelanggan, terutama anak-anak dan wanita, meminta agar batang daun bawang tidak digunakan. Demi menjaga loyalitas, ia kini hanya menggunakan daun bawang untuk menu pendamping seperti dadar telur, sebuah langkah adaptasi yang menjaga pelanggan tetap kembali.

Perjuangan Pak Min Muntoha di Jalan Dharma Wanita 4 adalah cerminan kerasnya hidup PKL ibukota yang dituntut tidak hanya piawai meracik bumbu, tetapi juga cerdas mengatur strategi ekonomi dan logistik untuk tetap bertahan.

Note: Ini adalah artikel Kiriman Pembaca Sahabat WBN, Redaksi memberi ruang bagi pembaca untuk menyampaikan gagasan dan pengalamannya, baik Artikel Berita atau Opini.

Share It.....