
Oleh : Gusti G Thuru
Suamiku, aku terpaksa menulis curahan hati ini di halaman media sosial. Bukan bermaksud untuk merendahkan derajatmu sebagai suami. Sama sekali aku tidak berpikir demikian.
Bukan juga karena cinta ku pada mu telah berakhir. Sama sekali tidak. Aku menulis curahan hati ini karena merasa beban hidup yang ku pikul terlampau berat. Sangat berat setelah engkau jatuh terhempas dari ketinggian.
Jatuh yang membuat hidup kita terpisah. Bukan terpisah oleh kematian secara fisik tetapi kematian secara moral. Saat engkau jatuh dan kehilangan kebebasan, aku terpaksa sendirian memikul beban teramat berat. Kita terpaksa hidup dipisahkan oleh waktu, oleh ruang, oleh jarak dan oleh tempat.
Aku di sini merawat anak-anak, meneruskan kehidupan ku dan terutama anak-anak harus ku ajarkan agar tetap menghargaimu sebagai ayah mereka. Sebab sehitam apapun engkau, sungguh nyata engkau adalah ayah dari anak-anak.
Engkau ayah yang harus tetap dihormati. Sudah sejak sekian lama kebersamaan kita, aku belajar untuk mengerti mu, memahami mu, belajar mencintai mu dengan sepenuh hati. Engkau pasti sangat mengerti dan tahu siapa aku. Sebab sepanjang pengalaman hidup kita, ada warna kelabu, bahkan warna hitam pekat yang engkau ciptakan, yang mengotori kesucian perkawinan kita.
Engkau pasti sangat mengenal aku. Mengenal aku bukan sebagai perempuan yang dengan mudah jatuh cinta kepada lelaki lain di saat iman ku masih teguh dan tetap memandang mu suami ku.
Aku heran bercampur sedih yang mendalam bahkan terluka jiwa dan raga ketika dari tempat pengasingan mu, engkau menghembuskan tuduhan yang menyakitkan bahwa aku jatuh dalam arena perselingkuhan. Aku heran bercampur sedih ketika di tengah hidup mu dan hidup ku membutuhkan doa penguatan dari sesama, engkau malah menggoreskan sembilu tajam. Bukan saja di hati ku tetapi juga di hati anak-anak yang pernah sangat terpukul oleh peristiwa jatuhnya engkau dari ketinggian.
Engkau pasti masih ingat bagaimana aku belajar sekuat tenaga untuk mengampuni mu ketika engkau jatuh. Engkau pasti merasakan betapa aku belajar memaafkan mu ketika apa yang engkau tuduhkan pada ku saat ini, itu yang pernah engkau lakukan beberapa tahun silam.
Aku berharap engkau masih waras dan mengingat semua itu. Tapi yah sudahlah. Aku tidak boleh cengeng. Aku harus tetap menjadi Ibu anak-anak sekalipun aku tidak dibutuhkan lagi sebagai Istri. Terserahlah apa mau mu terhadap hidup perkawinan kita.
Tapi satu hal yang aku minta dari mu jangan ciptakan gosip tentang perselingkuhan. Aku masih sadar sebagai ibu anak-anak dan sebagai ibu, aku akan selalu menjaga martabat keibuan ku di hadapan anak-anak kita. Semoga kau mengerti.
* Untuk seorang Sahabat
Ende, 11.02.2022