WarisanbudayaNusantara,-Setiap manusia secara fitrah pasti menginginkan memiliki harta, dan salah satu bentuk harta yang berharga dalam kehidupan di dunia ini berupa tanah dan rumah sebagai tempat untuk tinggalnya. Permasalahannya adalah bahwa untuk bisa memiliki sebuah tanah itu bukanlah hal yang mudah, baik karena harganya yang terus naik, ataupun timbulnya sengketa – sengketa pertanahan di banyak tempat, bahkan mungkin terjadi secara merata di seluruh tanah air. Sementara untuk menyelesaikan sengketa pertanahan juga tidak mudah, terutama untuk masyarakat yang seringkali tidak memiliki cukup bekti kepemilikan atas tanahnya berupa sertifikat.

Untuk mengetahui lebih lanjut peta persoalan terkait masalah pertanahan ini, media mewawancarai Pemerhati Pertanahan Dede Farhan Aulawi di Jakarta, Senin (7/9). Menurut Dede, tanah di Indonesia diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang di dalamnya menyerap hukum adat, yaitu diakuinya hak ulayat sebagaimana tertuang dalam pasal 5 UUPA yang menyatakan “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur – unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Kemudian Dede juga menambahkan bahwa hal yang berkaitan dengan tanah ulayat, UUPA mengatur di dalam pasal 3 mengatakan, “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Dalam Kepmen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pasal 2 ayat 2 menyatakan “ Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila, pertama terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari, kedua terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan ketiga, terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Dengan demikian, maka tanah ulayat yang melekat pada mayarakat hukum adat, dikelolah dengan berbagai macam cara tergantung dari musyawarah masyarakat adat setempat. Karena tak jarang keberadaan dan pengolahan tanah ulayat menjadi konflik dalam masyarakat. Ketentuan hukum adat menyatakan bahwa hak ulayat tidak dapat dilepaskan, dipindah tangankan atau diasingkan secara tetap (selamanya). Secara khusus, obyek hak menguasai Negara yang dalam kenyataannya sering mengalami permasalahan adalah pelaksanaan hak menguasai Negara pada tanah-tanah hak ulayat, ketidakjelasan kedudukan dan eksistensi masyarakat hukum adat menjadi titik pangkal permasalahan, sehingga keberadaan tanah ulayat tak jarang memicu terjadinya konflik dalam masyarakat.

Selanjutnya Dede juga menjelaskan bahwa dalam perspektif pendekatan teori, hukum adat merupakan hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum islam. Hukum adat itupun mencakup hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.

Adapun terkait sumber hukum adat sebagai tempat mencari hukum adat adalah pepatah-pepatah adat baik tersurat maupun tersirat merupakan prinsip-prinsip hukum adat yang menjadi pegangan kehidupan masyarakat Indonesia, Yurisprudensi adat, yaitu keputusan-keputusan hakim yang berkaitan dengan masalah atau sengketa adat, dokumen-dokumen yang memuat ketentuan yang hidup pada suatu masa tertentu ketika hukum adat menjadi hukum positif secara nyata (pada zaman keemasan kerajaan), baik yang berwujud piagam-piagam, peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan, Buku Undang-Undang yang dikeluarkan oleh raja-raja, Laporan-laporan hasil penelitian tentang hukum adat, dan Buku karangan ilmiah para pakar hukum adat yang menghasilkan doktrin atau tesis tentang hukum adat. Dalam praktek, penerapan hukum adat ini tentu tidak sesederhana dalam teori. Hal ini terbukti dari bayaknya konflik dengan masalah ini.

Sementara berkaitan dengan sumber, secara umum karena faktor (1) Kebutuhan (Needs),yaitu edisi terhadap kesejahteraan dan keberadaan manusia, (2) Presepsi (Preseption) yaitu cara pandang terhadap suatu hal atau masalah tertentu, (3) Kekuasaan (Power), yaitu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar sesuai dengan hendaknya, (4) Nilai (value), yaitu kepercayaan atau prinsip dasar yang dipertimbangkan sebagai sesuatu hal yang penting, dan (5) Perasaan atau emosi (Feeling and Emotion), yaitu respon yang timbul dari individu atau kelompok dalam menghadapi konflik.

“ Lalu untuk meyelesaikan sengketa, pada umumnya terdapat beberapa cara yang dapat dipilih. Tergantung dari kesepakatan para pihak yang bersengketa. Cara-cara yang dimaksud adalah (1) Negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh pihak tersebut, (2) Mediasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang diterima oleh kedua belah pihak, (3) Pengadilan, yaitu lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk mengadili, menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan (4) Arbitrase, yaitu cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan “, pungkas Dede menutup pertemuan.

Share It.....