Tanah Adat SDI Wogo Ngada, Kisah Penghilangan Peran Ahli Waris Sah
Ahli Waris Adat, Klara Baba (79 Th)

WBN│ Sengketa tanah adat yang pada tahun 1977 ditunjuk atas permintaan BP3 Sekolah untuk membangun Sekolah Dasar Wogo, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Pulau Flores, NTT belum mencapai titik akhir penyelesaian.

Sebelumnya diberitakan media ini, Ahli Waris Adat Longangeo Suku Kelu, Ibu Klara Baba (79 th) melalui catatan Kuasa Hukum, Mbulang Lukas, SH menyebut jangan adu domba antara Warga Adat dalam hal ini Ahli Waris dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Ngada melalui upaya hibah tanah untuk Pemda mengambil sikap penerbitan sertifikat aset tanah daerah, tanpa pelurusan sejarah masa lalu yang dalam temuan advokasi hukum mencatat adanya praktek-praktek tidak sehat dan diduga sarat rekayasa formal.

Berikut petikan wawancara khusus (12/04/2022) dengan Ahli Waris Tanah Adat lokasi SDI Wogo, Nenek Ibu Klara Baba (79 th) yang pada tahun 1977 merupakan pelaku adat yang bertindak menunjuk lokasi pembangunan Sekolah Dasar Wogo, pada saat itu belum beralih menjadi Sekolah Dasar Inpres.

Ini Kisah Penghilangan Peran Ahli Waris Sah

Pada saat itu (1977) mereka dari pihak Panitia Persiapan Pembangunan Sekolah, yang oleh kami masyarakat mengenal dengan nama BP3 Sekolah, datang menemui meminta bantuan kepada kami untuk bersedia menunjuk tanah kami guna bisa dibangun sebuah Sekolah Dasar di dekat perkampungan kami Ulubelu dan Wogo.

Orang tua saya sudah tua dan sesuai adat yang sah, maka saya sebagai Putri pertama dalam Sao Longangeo Suku Kelu yang selanjutnya sebagai Ketua Soma sampai saat ini, menerima amanat dari orangtua kandung saya untuk menunjuk lokasi, dengan harapan dapat dibangun sebuah sekolah. Saya lalu menunjuk lokasi untuk dibangun sekolah seluas sekitar 1 hektar.

Penunjukan saat itu dengan maksud agar sekolah bisa dibangun, hak pakai di atas tanah dan bisa menjadi kebanggaan bersama, lalu dibangunlah di atas tanah adat kami. Itu yang saya selalu sebut sebagai hak pakai di atas tanah. Belum menjadi hak milik dan segala urusan adat termasuk urusan Batu Adat atau Watu Gose Ngusu belum kami keluarkan dari rumah adat sebagai tanda penyerahan adat secara resmi kepada BP3 Sekolah.

Kepemilikan tanah adat di lokasi itu adalah kepemilikan tunggal, karena tanah adat di tempat itu adalah tanah adat milik kami dari Sao Longangeo Suku Kelu. Hal ini terbukti dengan segala peristiwa adat yang sampai saat ini tidak ada terdengar bahwa di lokasi itu ada pemilik lain dari Sao Adat yang lain.

Pada saat saya menunjukan lokasi untuk dipakai bangun sekolah pun tidak ada pihak lain yang datang melarang dan menegur saya melakukan penunjukan lokasi untuk bangun sekolah, karena memang disitu adalah tanah kami. Maka aneh jika setelah kami menunjuk lokasi itu lalu muncul pembicaraan yang tidak bertanggungjawab bahwa di lokasi itu bukan milik Sao Longangeo Suku Kelu dan muncul juga pihak lain yang mau mencoba-coba mengatasnamai diri sebagai pihak yang berkuasa secara adat atas tanah di lokasi itu.

Supaya diketahui, sejak saya menunjuk lokasi pada saat itu, selanjutnya muncul orang-orang politik mulai sibuk kesana kemari dengan katanya mengatasnama sebagai orang yang kami serahkan hak untuk mengurus tanah dan segala urusan penyerahannya dengan tanpa menghiraukan lagi kami sebagai pemilik sah dan yang menunjuk awal.

Bahkan sejak dahulu kami mendengar bahwa atas penunjukan lokasi sekolah, katanya ada semacam siri pinang yang diberikan. Maka saya mau tanya, itu diberikan kepada siapa. Coba telusur baik-baik, itu diberikan ke Sao Longangeo Suku Kelu kah. Atau kalian beri diam-diam kepada pihak-pihak yang bukan sebenarnya sebagai pemilik tanah. Chek itu baik-baik ya.

Saya masih hidup dan saya adalah orang yang menunjuk lokasi itu untuk bangun sekolah. Saya mau semua orang tahu bahwa sejak saya menunjuk lokasi untuk dibangun sekolah, setelah itu saya dan orangtua saya selalu tidak dilibatkan dalam urusan pembicaraan tanah sekolah bahkan nama-nama yang muncul justeru pihak-pihak yang waktu itu pandai berpolitik, padahal kami adalah pemilik sah tanah adat di lokasi itu.

Tidak hanya menghilangkan peran kami sebagai pemilik sah, bahkan mereka menyebut sudah ada penyerahan, maka saya minta buka itu data semua, siapa yang menyerahkan, diserahkan kepada siapa, oleh siapa.

Lalu tiba-tiba terdengar lagi bahwa sudah diserahkan kepada Pemerintah Daerah secara diam-diam, lalu mereka datang mengukur lokasi, padahal kami selalu melarang kalau mereka datang mengukur. Mereka tetap beralasan bahwa ukur hanya mengetahui luas, maka saya bilang ukur boleh diukur, tetapi harus sesuai dengan yang saya tunjuk awal pada tahun 1977, jangan lebih-lebih.

Tetapi apa jadinya, mereka ukur semua sampai ke kebun saya yang di depan lapangan itu mereka ukur semua dan patok pakai dengan pilar.

Sejarah lapangan bola di depan sekolah itu kalian mengerti atau tidak. Itu kebun saya. Dulu setelah sekolah jadi, dari pihak sekolah datang minta di saya, omong mulut (lisan), Mama e Anak-anak sekolah mau olahraga dimana, kami pinjam pakai sedikit tanah yang di depan sekolah untuk anak-anak olahraga. Maka saya kasihan dengan anak-anak lalu saya izinkan pakai untuk anak-anak sekolah olahraga, tetapi lama kelamaan itu mereka bilang lagi bahwa itu milik sekolah. Itu saya kasi untuk pinjam pakai dari kebun saya, tetapi setelah lama pakai malah klaim lagi itu tanah sekolah. Seenaknya saja karena pikir kami ini masyarakat bodoh yang tidak pintar seperti mereka.

Supaya semua mengerti, saya bilang ini. Jangan tanya di saya ‘mana data-data yang kalian miliki. Saya yang harus tanya kalian siapa sehingga datang tanya lagi saya. Padahal saya lah yang menunjuk itu tanah kami buat dipakai bangun sekolah.

Kalau tanya data-data, tanya dulu kami ini dilibatkan seperti apa setelah kami menunjuk itu lokasi untuk bangun sekolah. Kami disepelehkan, kami tidak dianggap, mereka urus administrasi ikut mau mereka, mereka tidak datang beri kami administrasi yang mereka buat di belakang-belakang, lalu sekarang mau tanya mana administrasi yang kami miliki.

Hebat benar, sudah dapat tanah, ambil lagi kebun saya, hitung luas ikut administrasi yang kalian buat tanpa kami dilibatkan, lalu tanya mana administrasi data yang ada di kami.

Bukti kami adalah kami ini, Sa’o (rumah adat) kami, suku kami, anak-anak kami, dan semua bukti adat yang berdiri tegak sampai saat ini. Saya yang menunjuk itu lokasi untuk bangun sekolah, tetapi saya mau dibodohi puluhan tahun. Saya protes sejak dulu tetapi tidak didengar dan dianggap angin lalu. Habis manis, sepah kalian buang. Tidak tau adat.

“Dari Bupati ke Bupati saya selalu protes tentang tanah adat di SD Wogo, saya minta luruskan sejarah dan luruskan banyak permainan yang dibuat dengan menghiangkan peran kami sebagai pemilik sah tanah adat di tempat itu. Juga luas lahan, jangan ditambah ikut mau kalian, saya bersumpah demi Sao, Suku, Adat atas tanah kami, jangan main-main dengan tanah adat di tempat itu. Tolong selesaikan dengan martabat yang baik. Saya sudah tua, saya buka ini semua agar tanah di SD Wogo jangan seperti habis manis, ampasnya kalian buang. Itu banyak yang bengkok dalam urusannya. Peran kami sebagai pemilik sah, dari dulu mau dihilangkan sampai sekarang”, tutup Klara Baba, (79th).

WBN│Tim│Editor-Aurel

Share It.....