
Oleh : Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru
I.Tafsir Awal: Yohanes 20:19-29
Teks Yohanes 20:19-29 mengisahkan penampakan Yesus yang bangkit kepada para muridNya.
Pada petang hari pertama minggu itu, para murid berkumpul di balik pintu terkunci karena takut terhadap orang-orang Yahudi. Tiba-tiba Yesus berdiri di tengah-tengah mereka dan menyapa, “Damai sejahtera bagi kamu!” Ucapan yang biasa namun menjadi
luar biasa ketika disampaikan oleh seseorang yang baru saja mereka lihat mati disalibkan.
Yesus kemudian menunjukkan tangan dan lambung-Nya, bukti fisik dari penderitaan-Nya, membuat para murid bersukacita. Namun, ada satu murid yang tidak hadir saat itu, Tomas. Ketika diberitahu tentang penampakan Yesus, ia menunjukkan keraguan mendalam: “Sebelum aku melihat bekas
paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya”. Pernyataan ini mencerminkan keraguan dan ketidakpercayaan yang mendalam.
Delapan hari kemudian, Yesus muncul kembali dan secara khusus menghadapi keraguan Tomas dengan menawarkan sentuhan fisik: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku,
ulurkanlah tanganmu dan cucukkanlah ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.”
Yesus berkata: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya.
Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.
Sentuhan fisik dalam narasi ini bukan hanya bukti faktual tetapi juga momen
transformatif bagi iman. Keraguan Tomas tidak ditolak, melainkan ditanggapi dengan kesediaan Yesus untuk hadir secara fisik dan mengundangnya untuk menyentuh. Inilah titik kritis dalam narasi ini – bagaimana sentuhan memiliki kekuatan untuk mengubah keraguan menjadi pengakuan iman yang mendalam: “Ya Tuhanku dan Allahku!”
Pengakuan iman Tomas ini menjadi salah satu pengakuan kristologis terkuat dalam seluruh Perjanjian Baru.
Teks ini tidak hanya berbicara tentang pembuktian kebangkitan secara empiris, tetapi juga tentang pemulihan relasi yang terputus, mengatasi ketakutan, dan transformasi dari keraguan menjadi iman.
Dalam konteks Bulan Budaya GMIT dengan nuansa Sabu Raijua ,
narasi ini memberikan dasar teologis untuk merefleksikan makna sentuhan pemulihan dalam budaya dan praktik komunal masyarakat Sabu Raijua.
II. Sosio-Antropologi Sabu Raijua: Rasa Takut dan Keraguan Pascakematian
Masyarakat Sabu Raijua, seperti banyak masyarakat tradisional lainnya di Nusa Tenggara Timur, memiliki pandangan dan praktik budaya yang khas terkait kematian. Kematian dalam pandangan Sabu Raijua tidak hanya dipahami sebagai peristiwa biologis, tetapi merupakan peristiwa sosial, kultural, dan spiritual yang mempengaruhi seluruh komunitas.
Ketika seseorang meninggal, ketakutan dan keraguan kolektif seringkali muncul, terutama berkaitan dengan keseimbangan kosmis dan relasi dengan para leluhur.
Dalam tradisi Sabu Raijua, kematian menimbulkan perihal huba do’u (ketakutan jiwa) dan anga ngallu (kecemasan roh). Ketakutan ini bukanlah semata-mata ketakutan personal, melainkan ketakutan komunal yang meresapi seluruh struktur sosial.
Kematian dipandang dapat membawa ketidakseimbangan dalam komunitas dan potensial mendatangkan malapetaka jika ritual-ritual yang tepat tidak dilaksanakan. Konsep heggu (ketidakseimbangan spiritual) menjadi ancaman nyata yang harus diatasi melalui serangkaian ritual pascakematian.
1. Ketakutan Komunal;
Kematian dipercaya membawa ketidakseimbangan dalam tatanan kosmis masyarakat, menimbulkan huba do’u (ketakutan jiwa) yang meresapi seluruh komunitas
2. Isolasi Sosial;
Keluarga yang berduka seringkali mengalami periode isolasi (pe’i keliru)
untuk menjaga komunitas dari pengaruh kematian yang dianggap dapat
‘menular’
3. Ritual Pemulihan
Serangkaian ritual seperti pedo’a dan nga’a hebu dilakukan untuk memulihkan keseimbangan dan mengintegrasi kembali keluarga yang berduka.
Ritual pascakematian dalam tradisi Sabu Raijua seperti pedo’a (doa-doa ritual) dan nga’a hebu (makan bersama arwah) berfungsi sebagai mekanisme kolektif untuk mengatasi ketakutan dan menegaskan kembali identitas komunal.
Selama periode berkabung, keluarga yang berduka seringkali mengalami isolasi sosial sementara (pe’i keliru), menciptakan jarak antara mereka dengan komunitas yang lebih luas – suatu paralel yang menarik dengan murid-murid Yesus yang mengurung diri di balik pintu terkunci.
Dalam konteks pascakematian, kontak fisik dan sentuhan memiliki makna penting dalam budaya Sabu Raijua. Ritual pejadi (saling merangkul) dan pehape (saling menyentuh) dilakukan sebagai bentuk solidaritas, berbagi beban kesedihan, dan pemulihan ikatan
komunal. Sentuhan fisik tidak hanya dipahami sebagai tindakan biologis, tetapi sebagai tindakan spiritual yang dapat memulihkan keseimbangan yang terganggu oleh kematian.
Paralel yang kuat dapat ditarik antara kondisi murid-murid Yesus pascakematian-Nya dengan masyarakat Sabu Raijua yang mengalami duka. Keduanya ditandai oleh ketakutan, isolasi, keraguan, dan kebutuhan akan pemulihan melalui kontak dan sentuhan fisik yang bermakna. Inilah konteks sosio-antropologis yang memperkaya pemahaman kita tentangbnarasi Yohanes 20:19-29 dalam perspektif budaya Sabu Raijua.
III. Sentuhan Fisik Yesus: Makna Teologis dan Transformasi Iman
Sentuhan fisik yang ditawarkan Yesus kepada Tomas dalam narasi Yohanes 20:19-29 memiliki makna teologis yang mendalam. Tindakan Yesus mengundang Tomas untukbmenyentuh bekas lukanya bukanlah sekadar pembuktian kebangkitan secara fisik, tetapi merupakan gestur pastoral yang mendalam untuk memulihkan hubungan yang retak oleh kematian, ketakutan, dan keraguan. Sentuhan ini menjadi jembatan antara dunia lama
yang ditandai kematian dengan dunia baru yang diwarnai kebangkitan.
Dalam tradisi Yahudi pada masa itu, menyentuh tubuh orang mati dianggap mencemarkan dan membuat seseorang menjadi najis secara ritual. Namun, Yesus yangnbangkit justru menawarkan tubuh-Nya untuk disentuh sebagai bukti kebangkitan yang nyata, bukan ilusi atau penampakan spiritual semata. Melalui sentuhan, Yesus membangun kembali hubungan yang terputus akibat kematian dan penolakan,
menciptakan ulang ikatan komunitas yang rusak. Ini merupakan transformasi radikal dari
pandangan tentang kematian, tubuh, dan kemurnian ritual. Sentuhan Yesus menjadi
katalis transformasi iman Tomas, dari keraguan mendalam menjadi pengakuan iman yang
paling kuat: “Ya Tuhanku dan Allahku!”.
Sentuhan pada tubuh Yesus yang bangkit tidak lagi mencemarkan, tetapi justru memurnikan dan memulihkan. Inilah revolusi teologis yang dibawa oleh kebangkitan –sentuhan fisik menjadi saluran rahmat dan pemulihan, bukan sumber kecemaran.
Sentuhan Yesus tidak hanya memulihkan iman individu tetapi juga memulihkan komunitas murid yang terpecah-belah oleh ketakutan dan trauma.
Menurut teolog Edward Schillebeeckx, kebangkitan Kristus adalah “pengalaman
penyelamatan” (salvation experience) yang memungkinkan transformasi eksistensial dari keputusasaan menjadi harapan, dari ketakutan menjadi keberanian. Dalam narasi
Yohanes, transformasi ini dimediasi melalui sentuhan fisik. Tawaran Yesus “Taruhlah jarimu di sini” adalah undangan untuk mengalami perjumpaan langsung dengan rahmat penyelamatan yang hadir dalam tubuh-Nya yang bangkit. Pengalaman sentuhan ini menghasilkan transformasi iman yang memuncak dalam pengakuan kristologis Tomas.
Narasi ini juga menekankan materialitas kebangkitan. Yesus bangkit bukan sebagai roh atau bayangan, tetapi dalam kebangkitan badaniah yang nyata. Luka-luka penyaliban tetap ada pada tubuh-Nya yang dimuliakan, menunjukkan kontinuitas antara Yesus yang menderita dan Yesus yang bangkit. Luka-luka ini bukan tanda kekalahan, tetapi telah
ditransformasi menjadi tanda kemenangan dan saluran pemulihan. Teolog Jürgen
Moltmann menyebut ini sebagai “transformasi luka menjadi bintang”, di mana bekas –
bekas penderitaan tidak dihapus tetapi diubah menjadi sumber kemuliaan dan
penyembuhan.
Bagi komunitas beriman, sentuhan fisik Yesus menawarkan paradigma pastoral untuk pelayanan gereja. Gereja dipanggil untuk menjadi perpanjangan sentuhan Kristus yang memulihkan di tengah dunia yang terluka. Dalam konteks budaya Sabu Raijua, sentuhan fisik Yesus ini memberikan fondasi teologis untuk mereinterpretasi dan mentransformasi praktik-praktik sentuhan dalam tradisi budaya lokal sebagai ekspresi iman kebangkitan.
IV. Keterhubungan Sentuhan dalam Tradisi Sabu Raijua dan Injil
Tradisi Sabu Raijua memiliki kekayaan praktik sentuhan fisik yang membentuk ikatan sosial dan spiritual dalam komunitas. Praktik-praktik ini memiliki resonansi mendalam dengan narasi sentuhan dalam Injil Yohanes, membuka ruang dialog yang produktif antara kekristenan dan budaya lokal. Melalui pemahaman kritis terhadap praktik sentuhan dalam kedua tradisi ini, kita dapat menemukan jembatan yang menghubungkan iman kebangkitan Kristus dengan ekspresi budaya Sabu Raijua.
a. Sentuhan dalam Tradisi Sabu Raijua
Masyarakat Sabu Raijua memiliki beragam praktik sentuhan ritual yang kaya makna. Pejadi ai (pelukan persaudaraan) dilakukan untuk menyatakan solidaritas dan meneguhkan ikatan kekerabatan, terutama dalam konteks duka. Pehape ru (sentuhan tangan) merupakan ritual penyembuhan tradisional yang dipercaya dapat mentransfer kekuatan vital dari penyembuh ke orang sakit. Pedai hela (sentuhan salam) menjadi penanda penerimaan dan pengakuan sebagai bagian dari komunitas.
Dalam konteks pasca-kematian, terdapat ritual perabha rudu (menyentuh jenazah) yang dilakukan oleh kerabat dekat sebagai bentuk perpisahan dan pelepasan. Ritual ini dipercaya dapat membantu roh orang yang meninggal untuk melakukan perjalanan dengan tenang ke alam leluhur (rai deo). Sentuhan dalam konteks ini bukan sekadar tindakan fisik, tetapi tindakan spiritual yang memediasi transisi antara dunia yang terlihat dan tidak terlihat.
b. Sentuhan dalam Narasi Injil
Sentuhan Yesus dalam Injil memiliki dimensi penyembuhan, pemulihan, dan transformasi. Dalam narasi Yohanes 20:19-29, sentuhan yang ditawarkan Yesus kepada Tomas menjadi momen transformatif yang mengubah keraguan menjadi iman.
Sentuhan ini tidak hanya memulihkan Tomas secara individual, tetapi juga memulihkan keutuhan komunitas murid yang terpecah-belah oleh kematian Yesus.
Tradisi Injil secara konsisten menampilkan Yesus yang menyentuh untuk menyembuhkan: menyentuh mata orang buta, menyentuh telinga orang tuli, dan bahkan menyentuh orang kusta yang dianggap najis. Sentuhan Yesus selalu bersifat inklusif, melampaui batasan sosial dan ritual, untuk menciptakan komunitas baru yang ditandai oleh pemulihan dan rekonsiliasi. Kekuatan transformatif dari sentuhan ini berakar dalam inkarnasi – Allah yang menjadi manusia untuk menyentuh kemanusiaan kita.
Titik temu antara praktik sentuhan dalam tradisi Sabu Raijua dan narasi Injil terletak pada pemahaman sentuhan sebagai tindakan yang memiliki kekuatan untuk memulihkan, menghubungkan, dan mentransformasi. Keduanya mengakui dimensi spiritual dari kontak fisik – sentuhan tidak hanya melibatkan tubuh tetapi juga jiwa. Dalam keduanya, sentuhan menjadi jembatan yang menghubungkan dunia yang terpisah: antara yang hidup dan mati, antara individu dan komunitas, antara manusia dan ilahi.
Pemahaman ini membuka jalan bagi reinterpretasi praktik sentuhan dalam tradisi Sabu Raijua dalam terang iman kebangkitan Kristus. Praktik-praktik sentuhan tradisional tidak perlu ditolak atau digantikan, tetapi dapat ditransformasi dan diperkaya dengan makna baru yang berakar dalam kebangkitan. Pelukan persaudaraan (pejadi ai) dapat menjadi ekspresi kasih Kristus yang bangkit. Sentuhan penyembuhan tradisional (pehape ru) dapat dipahami sebagai perpanjangan dari sentuhan Kristus yang menyembuhkan. Salam tradisional (pedai hela) dapat menjadi sarana untuk menyalurkan damai sejahtera Kristus.
Dalam dialog kritis antara iman kebangkitan dan tradisi Sabu Raijua, sentuhan fisik menjadi ruang perjumpaan yang produktif – tempat di mana budaya lokal dan Injil saling memperkaya, menciptakan ekspresi iman yang autentik dan kontekstual. Inilah jembatan yang menghubungkan kehidupan budaya Sabu Raijua dengan terang iman kebangkitan Kristus..
V. Transformasi Budaya Sabu Raijua dalam Terang Kebangkitan Kristus
Kebangkitan Kristus membawa transformasi radikal dalam pemahaman tentang eksistensi manusia, relasi sosial, dan praktik budaya. Bagi masyarakat Sabu Raijua yang telah menerima iman Kristen, kebangkitan menjadi lensa baru untuk menafsirkan ulang dan mentransformasi praktik-praktik budaya mereka. Transformasi ini tidak berarti penolakan total terhadap budaya lokal, tetapi penafsiran kembali elemen -elemen budaya dalam terang iman kebangkitan, menciptakan sintesis yang dinamis antara warisan budaya dan identitas Kristen.
Kebangkitan Kristus secara fundamental mengubah cara kita memahami kematian dan ketakutan yang menyertainya. Pesan utama kebangkitan adalah bahwa kematian tidak lagi memiliki kuasa terakhir atas kehidupan manusia. Bagi masyarakat Sabu Raijua yang tradisinya sarat dengan praktik-praktik menghadapi ketakutan akan kematian (huba do’u), kebangkitan menawarkan paradigma baru – ketakutan dapat ditransformasi menjadi keberanian, isolasi dapat diubah menjadi komunitas, dan keraguan dapat diubah menjadi iman.
Dalam konteks transformasi budaya, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) memiliki peran krusial sebagai fasilitator dialog antara iman dan budaya. Gereja dipanggil untuk menjadi komunitas hermeneutis yang membantu jemaat mencerna makna iman kebangkitan dalam konteks budaya lokal. Bulan Budaya GMIT 2025 menjadi momentum strategis untuk merefleksikan secara kritis tentang bagaimana iman kebangkitan dapat memperkaya dan mentransformasi budaya Sabu Raijua.
Transformasi budaya dalam terang kebangkitan juga berarti melampaui ketakutan kolektif yang seringkali menjadi penghambat perkembangan komunitas. Ketakutan akan perubahan, ketakutan akan konflik, dan ketakutan akan kehilangan identitas dapat ditransformasi menjadi keberanian untuk melangkah ke masa depan dengan keyakinan bahwa Kristus yang bangkit menyertai perjalanan budaya masyarakat Sabu Raijua. Seperti Tomas yang bergerak dari keraguan ke pengakuan iman, masyarakat Sabu Raijua diundang untuk melakukan lompatan iman, menemukan cara-cara baru untuk mengekspresikan identitas budaya mereka dalam terang kebangkitan.
Gereja hadir bukan untuk menghancurkan budaya, tetapi untuk memulihkan dan mentransformasinya. Sebagai ruang pemulihan sosial-budaya, gereja menawarkan komunitas alternatif di mana ketakutan di-reframing menjadi keberanian, keraguan menjadi iman, dan isolasi menjadi persekutuan. Melalui ritual-ritual gerejawi seperti baptisan, perjamuan kudus, dan liturgi, gereja menawarkan sentuhan-sentuhan sakramental yang dapat mentransformasi kesadaran komunal masyarakat Sabu Raijua, memulihkan mereka dari luka-luka masa lalu dan memberdayakan mereka untuk masa depan.
Transformasi budaya ini adalah proses dialogis yang berkelanjutan, bukan peristiwa satu kali. Ini membutuhkan keterbukaan dari kedua sisi – keterbukaan tradisi budaya untuk direinterpretasi dan keterbukaan gereja untuk mengenali nilai-nilai positif dalam budaya lokal. Melalui dialog kritis yang berkelanjutan, budaya Sabu Raijua dapat mengalami pembaruan dari dalam, mempertahankan jati dirinya sambil merangkul visi baru yang ditawarkan oleh iman kebangkitan.
VI. Penutup: Panggilan Menjadi Gereja yang Memulihkan Melalui Budaya
Panggilan utama yang muncul dari perjumpaan dengan Kristus yang bangkit adalah menjadi komunitas yang memulihkan melalui sentuhan kebangkitan – sentuhan yang
mengubah ketakutan menjadi keberanian, keraguan menjadi iman, dan isolasi menjadi persekutuan.
Gereja sebagai tubuh Kristus di dunia dipanggil untuk menjadi perpanjangan sentuhan Kristus yang memulihkan. Dalam konteks budaya Sabu Raijua, ini berarti gereja mengambil peran sebagai agen rekonsiliasi budaya – menjembatani kesenjangan antara tradisi dan pembaruan, antara warisan leluhur dan visi masa depan, antara identitas lokal dan iman universal. Gereja tidak hadir untuk menghapus budaya Sabu Raijua, tetapi untuk memulihkan, memperkaya, dan mentransformasinya dalam terang kebangkitan Kristus.
Paling kurang ada 4 poin yang menjadi berharga bagi kehadiran Gereja di tengah budaya:
merangkumkan kehadiran Gereja yang
1. Gereja dipanggil untuk mengakui dan merangkul ekspresi budaya Sabu Raijua yang beragam sebagai kekayaan, bukan ancaman. Seperti Yesus yang merangkul keraguan Tomas, gereja perlu memberi ruang bagi pergumulan identitas budaya dalam perjalanan iman.
2. Gereja berperan sebagai agen pemulihan dari luka-luka sejarah akibat benturan budaya dan agama di masa lalu. Sentuhan pastoral gereja perlu menyentuh luka-luka kolektif masyarakat Sabu Raijua untuk membawa penyembuhan dan rekonsiliasi.
3. Gereja dipanggil untuk menjadi katalis transformasi budaya yang memberdayakan – mendorong masyarakat Sabu Raijua untuk menginterpretasi ulang tradisi mereka dalam terang kebangkitan, menciptakan ekspresi budaya yang hidup dan bermakna.
4. Gereja berperan sebagai laboratorium integrasi di mana iman dan budaya dapat bertemu dalam dialog kreatif, menciptakan sintesis yang otentik antara identitas Kristen dan identitas budaya Sabu Raijua.
Bulan Budaya GMIT 2025 menjadi momentum strategis untuk mewujudkan panggilan ini.
Ini adalah kesempatan untuk merefleksikan secara mendalam tentang apa artinya menjadi gereja yang kontekstual dalam budaya Sabu Raijua – gereja yang setia pada Injil sekaligus setia pada konteks budayanya. Program-program Bulan Budaya perlu dirancang tidak hanya untuk memamerkan artefak budaya, tetapi lebih untuk memfasilitasi perjumpaan transformatif antara iman kebangkitan dan ekspresi budaya Sabu Raijua.
Seperti halnya Tomas yang mengalami transformasi iman melalui sentuhan Kristus yang bangkit, masyarakat Sabu Raijua diundang untuk mengalami sentuhan transformatif yang sama dalam konteks budaya mereka. Melalui liturgi yang kontekstual, musik yang menginkorporasi elemen-elemen tradisional, dan ritual-ritual kristiani yang diresapi dengan sensibilitas budaya lokal, gereja dapat menciptakan ruang di mana sentuhan Kristus yang memulihkan dialami dalam bahasa budaya yang dipahami masyarakat Sabu Raijua.
Mari kita menjadi gereja yang berani merangkul dan memulihkan, bukan gereja yang takut dan menghakimi. Mari kita menjadi perpanjangan sentuhan Kristus yang transformatif bagi budaya Sabu Raijua, memulihkan ketakutan menjadi keberanian, keraguan menjadi iman, dan isolasi menjadi persekutuan. Inilah panggilan kita sebagai komunitas kebangkitan dalam konteks budaya Sabu Raijua.
Mari kita menutupnya dalam doa:
Allah Tritunggal yang Mahakudus, Engkau telah menyentuh kami melalui kebangkitan Kristus, mentransformasi kami dari ketakutan menjadi keberanian, dari keraguan menjadi iman. Kami bersyukur untuk kekayaan budaya Sabu Raijua yang telah Engkau anugerahkan sebagai wadah untuk mengekspresikan iman kami. Berikan kami kebijaksanaan untuk mengenali kehadiran-Mu dalam tradisi budaya kami, keberanian untuk mentransformasi elemen-elemen yang membelenggu, dan kreativitas untuk
menciptakan ekspresi-ekspresi budaya baru yang memuliakan nama-Mu. Jadikan kami perpanjangan sentuhan-Mu yang memulihkan di tengah masyarakat kami, agar melalui kesaksian kami, semakin banyak orang mengalami pemulihan dan transformasi dalam nama Yesus Kristus, Tuhan dan Allah kami. Amin.