Oleh : Jefrison Hariyanto Fernando, S.I.P (Penggiat Literasi Budaya)
Pehoru merupakan antraksi budaya memukul kaki antara masyarakat di arena ritual adat yang di iringi oleh bunyi gong dan tambur. Munculnya ritual atau antraksi budaya ini dikarenakan oleh terjadinya sarangan hama belalang putih atau Wokebara atau Lahoma ribuan tahun yang lalu yang menyerang tanaman dan memakan atap rumah milik masyarakat Sabu Raijua.
Pada saat itu,di wilayah adat Seba hidup seorang tokoh adat dari Udu atau suku Nataga kerogo Nadjohina yang bernama Manguru Rohi. Ia berinisiatif untuk mengumpulkan seluruh Mone Ama atau Tokoh Adat di Dara Rae Bodo untuk musyawara mufakat mencari solusi mengusir belalang Putih yang sedang meraja lela menyerang tanaman dan rumah masyarakat. Maka dihasilkanlah kesepakatan untuk melakukan ritual Kerei.
Ritual Kerei dalam budaya Sabu Raijua merupakan sala satu ritual adat dengan tujuan untuk meminta petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa dan para leluhur melalui doa yang dipimpin langsung oleh sala seorang yang disebut Mone Kerei.
Kerei pada saat itu di dara Rae Bodo dipimpin langsung oleh Manguru Rohi. Proses Kerei ini dilakukan di dalam rumah adat di Dara Rae Bodo ,tepatnya di tiang induk rumah adat atau tarru dengan memakai tombak yang ditancap ke tiang serta sepotong kelapa kering/kopra atau Nyiu Kaku sebagai salah satu bahan ritual.
Pada waktu ritual Kerei di Dara Rae Bodo yang dipimpin oleh Manguru Rohi, dengan tujuan meminta petunjuk tentang bagiman mengusir belalang Putih atau Wokebara atau Lahoma maka diberikanlah petunjuk bahwa untuk mengusir belalang Putih yang sedang menyerang masyarakat Sabu Raijua yaitu para Mone Ama atau Tokoh Adat harus melakukan dua macam Upacara Adat yaitu Pehoru dan Pehere Jara.
Penyelenggaraan upacara Pehoru dengan saling memukul kaki yang di iringi dengan tambur dan gong dipimpin langsung oleh Mone Ama yang memangku Jabatan Maukia Jara dari Udu Nataga, Kerogo Nadjohina yang mempunyai makna untuk mematahkan kaki dari belalang putih yang sedang merajalela menyerang tanaman dan memakan atap rumah warga yang terbuat dari daun tuak/lontar, sedangkan pehere jara mempunyai makna bahwa dengan bunyi giring-giring dan hentakan kaki kuda yang sedang pehere jara dan bunyian Gong dan tambur bisa menakuti belalakng sehingga kembali ke tempat asal.
Oleh karena itu, disepakatilah kegiatan Pehoru untuk dimasukan kedalam jadwal rutin berdasarkan perhitungan kelender adat yaitu Pehoru dilaksanakan selama 3 (tiga) malam yang jatuh pada Warru/bulan Dabba Ae ( perhitungan kelender adat Seba) pada malam An”na/emam sampai Aru/delapan Peluha atau hari ke 6 sampai hari ke 8 setelah bulan baru mulai muncul dan besoknya pada Heo Peluha atau hari ke 9 akan dilaksanakan Pehere Jara di kawasan upacara adat Kebala Pehere yang saat ini telah dipindahkan ke Dara Rae Bodo.
Penulis : Jefrison Hariyanto Fernando, S.I.P (Penggiat Literasi Budaya)