by: andi firdaus daeng sirua
Dalam sejarah kebudayaan Melayu, Kerajaan Lingga Riau berperan penting dalam perkembangan bahasa MLAYU hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa INDONESIA. Di balik sejarah dan tokoh besar yang sering disebut adalah RAJA ALI HAJI, seorang budayawan dan pahlawan nasional keturunan Bugis yang melahirkan karya-karya besar seperti Gurindam Dua Belas.
Selain itu terdapat juga naskah yang berjudul “Sejarah Raja-Raja Melayu dan Bugis” koleksi Pusat Dokumentasi Melay Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur dengan nomor inventaris MS 87 yang merupakan salinan naskah Tuhfat al-Nafis, sebagai naskah yang paling sering dirujuk sebagai sumber sejarah DIASPORA Bugis Makassar terkait kiprah LIMA OPU DAENG bersaudara di Semenanjung Melayu yang berasal dari Kerajaan LUWU, tetapi pada sumber lain menyajikan kombinasi BONE-LUWU.
Dalam naskah Tuhfat al-Nafis Salasilah Melayu dan Bugis, terdapat seorang tokoh yang bernama Lamadusalat [baca: La Maddusila], Raja Luwu yang pertama memeluk Islam dan memiliki TIGA orang putra, yaitu OPU TENRI BORONG DAENG RI LEKKE yang membawa merantau KELIMA putranya yang bernama Upu Daing Perani, Upu Daeng Menambon, Upu Daeng Marewah, Upu Daeng Chelak dan Upu Daeng Kumasi [baca, Opu Daeng Kamase].
Kelima bersaudara itulah yang terkenal hingga sekarang sebagai OPU LIMA. Menurut Prof. Zainal Abidin Farid [1999] dalam bukunya Capita Selecta: Sejarah Sulawesi Selatan, silsilah yang terdapat di dalam Tuhfat al-Nafis dan Salasilah Melayu dan Bugis sama sekali TIDAK SESUAI dengan isi Lontarag NB No. 208 yang terdapat di Leidse Rijksuniversiteits Bibliotheek di Nederland, dan semua Lontaraq di daerah Bugis.
Dalam daftar RAJA LUWU nama La Maddusila tidak ditemukan, tapi terdapat nama yang sama, yaitu anak Raja Luwu We Tenri Leleang bersuami La Mallarangeng yang diperkirakan hidup sekitar tahun 1778 sampai awal abad ke-19. Dalam buku yang sama edisi terakhir 2017, Prof. Zainal menduga sebagai kesimpulan bahwa apabila Opu Tenriborong Daeng Rilekke’ memang bersaudara We Ummung Datu Larompong [Luwu], permaisuri Raja Bone XVI [La Patau Matanna Tikka Sultan Alimuddin Idris, 1696-1714], maka Opu Tenri Borong adalah anak La Settiaraja Sultan Ahmad Muhyiddin, Datu Luwu XVIII dan XX matinroe ri Tompotika, tetapi hal ini masih memerlukan penelitian silsilah lebih lanjut.
Malah menurut Prof. Zainal, uraian Tuhfat al-Nafis dan Salasilah Melayu dan Bugis atas kunjungan Opu Tenriborong Daeng Rilekke’ di Bone untuk menemui saudara atau sanak keluarganya [Salasilah Melayu dan Bugis] dapat membuka tabir tentang asal usul para Lima Opu, karena Raja Bone XVI, La Patau Matanna Tikka [1696-1714] sezaman dengan Opu‘Tenriborong Daeng Rilekke’ pada akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18.
Sahdan, Opu Tenriborong dan kelima putranya ke Bone untuk minta doa-restu Raja Bone, karena mereka akan “berangkat” mengembara mengadu tuah ke sebelah Barat, mudah-mudahan dengan pertolongan Rabbulalamin supaya dapat menjadi masyhur nama raja-raja Bugis di tempat itu, lalu kemudian Raja Bone [La Patau] membekalinya keris pusaka yang bernama Tanjung Lada, [Salasilah Melayu dan Bugis, op.cit:18].
Jejak Raja Bone juga ditemukan dalam Disertasi Andaya [1971] dan Koh [2007] yang menceritakan bantuan pasukan oleh Raja Bone XIX La Pareppa Tosappewali [1718-1721] dan Ratu Bone XXI We Bataritoja [1724-1749] kepada Daeng Marewa dalam berbagai perang.
Misteri LIMA OPU DAENG, berasal kombinasi Luwu-Bone mulai tersingkap, selama sebelumnya sering simpang-siur…
Meski jejak Raja Bone tampak jelas dalam berbagai data, namun tetap tersisa MISTERI berikutnya, yaitu SIAPA Raja Bone, berikut anak-anaknya yang dicatat TANPA NAMA dalam stambuk Belanda ?
Jika mengikuti petunjuk waktu Prof. Zainal Abidin Farid, kemungkinan Raja Bone yang dimaksud berada di pusaran periode dari zaman We Tenri Tuppu Raja Bone X [1602-1611] sampai La Patau Matanna Tikka Raja Bone XXVI [1696-1714] dengan melihat masa wafat dari ketiga raja pertama dari Yang Dipertuan Muda yang wafat pada tahun 1722, 1723 dan 1743. Nama-nama yang pasti dan tokoh-tokoh Bugis lainnya kemungkinan akan terungkap dalam buku yang dalam proses penerbitan oleh Ambo Upe, dkk. [Lihat Blog pribadi Muhammad Sapri Andi Pamulu, Ph.D.]
Dalam Naskah Belanda lainnya tentang sejarah Lingga Riau terdapat silsilah [stamboom], ditulis pada bulan januari 1855 oleh T.J. Willer, Residen Belanda, dimuat dalam buku Bleeker et.al [1855] dalam Tidschrift voor Indische Tall Land en Volkenkunde pada halaman 411 dengan sub-judul “Stamboom der onderkoningen van Riouw”.
Susunan silsilah dimulai dari paling atas adalah Raja Bone [Koning van Boni] lalu tingkatan berikutnya turun ke anak-anaknya, yaitu Raja Bone [Koning van Bone] dan Upu Prins van Bone [Pangeran Bone], kemudian turun ke level berikutnya adalah Daeng Marewa sebagai Yang Dipertuan Muda Riau I [paling kiri], lalu Daeng Parani [di tengah] dan Daeng Pali sebagai Yang Dipertuan Muda II [paling kanan].
Generasi berikutnya adalah anak daeri Daeng Parani yaitu Daeng Kamboja sebagai Yang Dipertuan Muda Riau III, kemudian anak dari Daeng Pali yaitu Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda Riau IV, lalu kembali ke anak Daeng Kamboja yakni RAJA ALI sebagai Yang Dipertuan Muda Riau V. Setelah itu, keturunan Daeng Pali yang meneruskan trah Bugis Bone di Kerajaan Lingga Riau.
Dalam buku Belanda lainnya tahun 1870 disebut nama Daeng Cella’ [Chelak] sebagai nama lain dari Daeng Pali. Susunan yang sama tentang silsilah dapat ditemukan dalam Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu [2019] dalam tulisan Syahrul Rahmat dengan judul Bugis di Kerajaan Melayu dan Sejarah Kabupaten Lingga yang ditulis oleh Bupati Lingga 2016-2021, Ilyas Wello, dalam buku Tamadun Melayu Lingga yang merupakan kumpulan makalah “Seminar Memuliakan Tamadun Melayu” yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga (2018).
Susunannya adalah sebagai berikut:
1. Daeng Marewah/Yang Dipertuan Muda Riau I [1722-1728]
2. Daeng Chelak/Yang Dipertuan Muda Riau II [1728-1745]
3. Daeng Kamboja/Yang DipertuanMuda Riau III [1748-1777]
4. Raja Haji/Yang Dipertuan Muda Riau IV [1777-1784]
5. Raja Ali/Yang Dipertuan Muda Riau V [1784-1806]
6. Raja Jaafar/Yang Dipertuan Muda Riau VI [1806-1831]
7. Raja Abdul Rahman/Yang dipertuan Raja Muda Riau VII [1833-1843]
8. Raja Ali/Yang Dipertuan Muda Riau VIII [1845-1857]
9. Raja Abdullah/Yang Dipertuan Muda Riau IX [1857-1858]
10. Raja M. Yusuf/Yang Dipertuan Muda Riau X [1858-1899]
Raja M. Yusuf/Yang Dipertuan Muda Riau X adalah anak Raja Ali dan cucu dari Raja Jaafar. Raja M Yusuf kemudian memperistri Tengku Embung Fatimah. Dari pernikahannya lahir Raja Abdurrahaman kemudian menjabat sebagai Sultan Kerajaan Riau Lingga dengan gelar Sultan Abdurrahman Muazamsyah II merupakan Sultan terakhir sebelum dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1913.
Kerajaan Lingga merupakan kerajaan Melayu, berpusat di Kota Daik sebagai Negara Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga, berdiri sejak 1150 yang pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Melaka, mulai dari Kerajaan Bintan [1150-1158], Kerajaan Bintan-Temasik 1159-1384 [berpusat di Singapura], Kerajaan Melaka [1384-1511], berlanjut lagi ke Bintan, kemudian ke Kampar dan di Johor [1511—1678], hingga Sultan Mahmud Riayat Syah sebagai Sultan Melaka terakhir yang membangun Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang sejak 1761 hingga 1812, bermula di Hulu Riau, Sungai Carang, Pulau Bintan [1761—1787] dan selama 25 tahun berlanjut di Lingga dan Pulau Penyengat [1787-1812].
Kerajaan Lingga kemudian terbagi dua bagian berdasarkan Traktat London [1824] pada masa Sultan Abdurrahman [1812-1832], yaitu Bagian utara menjadi Kesultanan Melayu Johor-Singapura, Bagian Selatan menjadi wilayah Kesultanan Melayu Lingga-Riau.
Pada masa Sultan Abdurrahman Muazam Syah [1883-1913], Kesultanan Lingga telah dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda dengan MEMAKZULKAN Sultan secara in absentia 3 Februari 1911. [Lihat Blog pribadi Muhammad Sapri Andi Pamulu, Ph.D.]
Sebagaimana ditemukan di berbgai catatan sejarah, bahwa DIASPORA Bugis-Makassar ke seantero Nusantara, berawal dari kisah runtuhnya Kerajaan Gowa-Tallo. Ketika itu, Makassar tak lagi menjadi KIBLAT perdagangan anak-anak negeri di wilayah TIMUR Nusantara. Bukan saja harus mengakui kekuasaan Belanda, Sultan Hasanuddin dan pengikutnya pun dipaksa mematuhi Perjanjian Bongaya [1667], termasuk perjanjian-perjanjian sebelumnya [1660, antara lain Kerajaan Gowa harus melepas kontrol sejumlah daerah sumber ekonomi dan penopang kekuasaannya. Belum lagi berupa ancaman hukuman bagi mereka yang dituding telah membunuh orang-orang Belanda semasa perang.
Butir-butir Perjanjian Bongaya yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Makassar tahun 1667, dua tahun sebelum Hasanuddin sebagai penguasa Somba Opu benar-benar bertekuk lutut setelah dibombardir pasukan Cornelis Speelman dan sekutunya, sangat merugikan posisi tawar bangsawan dan kerabat kesultanan Gowa.
Pengalihan kontrol kekuasaan Gowa kepada Kompeni telah membuat jatuhnya perekonomian kesultanan, terlebih terhadap larangan bagi rakyat Gowa agar tidak lagi terlibat dalam perdagangan dan pelayaran.
Menurut sejarawan-antropolog sosial Universitas Hasanuddin, Mukhlis PaEni [Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia] bahwa, pembatasan-pembatasan itu bukan saja menjatuhkan peran ekonomi kerajaan, tetapi sekaligus memudarkan wibawa bangsawan Bugis-Makassar yang terikat dalam Perjanjian Bongaya.
Singkatnya, akhir perang dahsyat dalam sejarah VOC di Nusantara dengan Kerajaan Gowa adalah awal periode sejarah yang sangat penting bagi dinamika perantauan orang Bugis-Makassar di Tanah Air. Sebelumnya perantauan dilakukan masyarakat umumnya, bermigrasi ke seantero Nusantara, namun sejak Perjanjian Bongaya, pola dan pelaku migrasi banyak dimotori bangsawan.
Sejak itu tonggak sejarah sosial dan budaya orang-orang Bugis-Makassar mengalami pergeseran. Bernard HM Vlekke [Nusantara: Sejarah Indonesia, 2006] menjelaskan bahwa, Perjanjian Bongaya menimbulkan perubahan revolusioner dalam organisasi politik di bagian Timur kepulauan Indonesia, selain monopoli dagang di pelabuhan Makassar, Belanda menerapkan berbagai PEMBATASAN. Raja Gowa bahkan diminta agar menganjurkan rakyatnya menanggalkan aktivitas kemaritiman mereka, mengubah profesi dari pelaut ke petani.
Terjadilah pergeseran BUDAYA MARITIM ke BUDAYA DARAT, bangsa yang dahulu dikenal sebagai pelaut ulung dan berjiwa interprenur kini tinggal kenangan, namun pada masa kepemimpinan Jokowi semangat BUDAYA BAHARI kembali didengungkan, setidaknya mengingatkan ulang gagasan Bung Karno tentang CAKRAWATI SAMUDERA.
Kini, bangsa Indonesia dihadapkan suatu tantangan jilid II untuk menjadi POROS MARITIM DUNIA sbagaimana disampaikan Presiden Jokowi pada KTT Asia-Timur 2014, tidak lain, adalah diilhami visioner kemaritiman Bung Karno yg disebut “Cakrawati Samudera”. Tentunya, semangat dimaksud untuk menyadarkan kembali karakter dan jiwa [baca budaya] bangsa Indonesia sebagai bangsa pelaut yang berani mengarungi gelombang samudera.
Demikian jejak Bangsawan BUGIS di SEMENANJUNG MELAYU, dan warisan sejarah kemaritiman Nusantara, sebagaimana di beberapa artikel saya sering menggugah agar kita KEMBALI membangun BUDAYA BAHARI dan KEMARITIMAN, diantaranya artikel yang berjudul SAVE OUR SEAS.
MERDEKA, dirgahayu HUT 75 Thn Kemerdekaan RI… Back to SEA…
NN
Thanks for referring my personal blog.
Thank you for your article. A refreshing history to learn more about the descendants.