WBN, INDRAMAYU – Selamat jalan ki Tarka Sutaraharja, Tampil sederhana bahkan mengaku hanya seorang petani kecil di Cikedung, Kabupaten Indramayu. Padahal kontribusinya luar biasa besar. Sosok yang begitu peduli terhadap sejarah dan budaya masa lalu. Dia menekuni naskah yang bertulisan Jawa Kuno yang telah berusia ratusan tahun. Rasa ingin tahu dan semangat yang tinggi untuk bisa memahami aksara Jawa Kuno, Ki Tarka memilih hijrah ke Pamanukan, Subang. Di situ, ia belajar membaca aksara Jawa Kuno dari kakeknya, Sutaraharja yang merupakan seorang veteran. Dalam sehari ia belajar dua jam lamanya. Pagi dan sore hari (manassa.id/2018/04).
Tarka Sutarahardja yang biasa di panggil Ki Tarka merupakan pengoleksi naskah sekaligus pakar dalam membaca dan menulis beberapa naskah khususnya yang beraksara dan berbahasa Jawa. Ki Tarka tinggal di wilayah Indramayu tepatnya di Desa Cikedung Lor Blok I, RT 05/RW 02, Gang Guru H Suryana, Kecamatan Cikedung, Indramayu Jawa Barat. Kemampuan membaca naskah dipelajari dari kakek beliau selama bertahun-tahun sehingga atas kemampuannya beliau diangkat sebagai Modin Aksara Jawa melalui Pusat Konservasi dan Pemanfaatan Naskah Klasik Cirebon dengan Surat Keputusan Nomor: 08/SK/2013 tentang Pengangkatan Tim Ahli Aksara Jawa dengan Gelar Modin Aksara Jawa (RZ dalam lektur.kemenag.go.id diakses 20/7/2021).
Dalam kajian-kajian tentang naskah klasik, Ki Tarka tergabung dalam sebuah organisasi yaitu Forum Jati Budaya Indramayu yang berdiri pada tahun 2005. Organisasi ini begerak dalam beberapa kegiatan, antara lain: 1) Forum pengkajian lontar/naskah kuno aksara Jawa dan Arab, 2) Pengobatan alternatif pijat; saraf/refleksi dan klasik, 3) Wadah kreatifitas anak muda, dan 4) Majelis taklim/pengajian. Khusus bidang pengkajian lontar/naskah kuno aksara Jawa dan Arab organisasi ini berupaya mengumpulkan informasi tentang keberadaan lontar/serat sastra kuno yang ditulis pada kertas kuno, kulit, dan sebagainya baik dengan tulisan aksara Jawa, Arab Pegon, Arab Gundul, dan lain-lain. Selain itu dilakukan juga penerjemahan naskah-naskah tersebut ke dalam bahasa latin serta kajian-kajian dalam naskah itu sendiri. Kajian tersebut tentunya melibatkan masyarakat sekitar, sehingga masyarakat sekitar dapat mengenal dan ikut mempelajari warisan budaya lokal yang bersumber naskah-naskah yang dikaji. (RZ dalam lektur.kemenag.go.id diakses 20/7/2021).
Ki Tarka Sutarahardja (21 April 1970), atau Kang Tarka begitulah panggilan akrabnya. Kang adalah kependekan dari kata kakang, sebuah panggilan kehormatan di Indramayu, bagi mereka yang dianggap tokoh dan dituakan oleh masyarakat. Dikarenakan umur yang lebih tua atau memang memiliki keilmuan yang lebih tinggi. Jika bicara naskah kuno tentu tak bisa dilewatkan begitu saja kiprah seorang Ki Tarka Sutarahardja dalam dunia filologi. Meskipun seorang otodidak, sudah ratusan naskah kuno ia terjemahkan. Produktivitasnya bisa jadi malah mengalahkan filolog dari kalangan akademis (Meener Pangky dalam meenerpangky.com, 22/2/2016).
Baginya naskah kuno itu mempesona dan menggairahkan, jiwanya tertantang dan tergugah untuk mempelajarinya. Bagi seorang Kang Tarka, naskah kuno itu adalah ladang kehidupan dan ladang ilmu. Sungguh ia telah tertambat hatinya dengan apa yang tersaji di dalam naskah kuno, yang kaya akan tabir budaya masa lalu itu. Rasa penasarannya itu dimulai pada tahun 1995, saat Kang Tarka dipasrahi naskah kuno Cerita Panji Inu Kertapati dari kerabat dekatnya. Naskah itu berasal dari Wa’ Masjaya, salah satu keturunan Ki Buyut Marsidem, salah satu pendiri Desa Cikedung (Meener Pangky dalam meenerpangky.com, 22/2/2016).
Melihat naskah tersebut menggunakan aksara Jawa, Kang Tarka terkejut. Terusik rasa penasarannya. Sejak itulah ia tergugah untuk mempelajari naskah yang bertuliskan akasara Jawa tersebut. Dikarenakan ada kesulitan dalam upaya menerjemahkan naskahnya, Kang Tarka pun dipandu bermodalkan sebuah buku panduan “Pakem Cacarakan”, terbitan tahun 1991 Yogyakarta. Setelah dianggap mampu menulis dan membaca aksara Jawa hasil belajar dengan buku Pakem Cacarakan itu. Iapun langsung mencobanya, sedikit demi sedikit naskah kuno tersebut mulai diejanya. Namun, apa yang diharapkannya tak sesuai dengan kenyataan. Tak satupun isi naskah tersebut yang bisa dibaca (Meener Pangky dalam meenerpangky.com, 22/2/2016).
Dalam pikiran gamang dan putus semangat, pada suatu waktu ia jadi teringat pada kakeknya. Kakeknya adalah pensiunan Kepala SR—sekolah rakyat—salah satunya adalah SR di Paoman pada tahun 1960’an. Rumah dinasnya adalah di Gang Telepon Indramayu. Selain pensiunan guru, kakeknya juga seorang veteran. Ia pernah meninggalkan tugas guru SR demi aktif ikut perang gerilya dengan M.A. Sentot. Nama kakeknya itu Sutarahardja. Suatu waktu dibawalah naskah tersebut dihadapan kakeknya. Ia yakin kakeknya bisa mengajarinya, membaca naskah tersebut (Meener Pangky dalam meenerpangky.com, 22/2/2016).
Tentu, melihat cucunya punya kepedulian pada naskah akasara Jawa. Ki Sutarahardja merasa senang sekali. Detik itu juga Ki Sutarahardja langsung memulai pelajarannya. Dengan sabar kakeknya memberikan pelajaran-pelajarannya. Ternyata, bagi Kang Tarka susah juga ya, tak mudah seperti membalikkan telapak tangan. Naskah kuno itu tetap saja susah untuk bisa dibaca. Meski sudah dikursus selama dua jam. Dalam kesulitan tersebut, Kang Tarka tak kehilangan akal, ia pun memohon kepada kakeknya untuk menuliskan terjemahannya. Untuk sementara ini, ia pun angkat tangan. Lalu, daripada pusing ia pun memohon manja untuk diceritakan kisah perjuangannya dulu sewaktu jadi pasukan setan M.A. Sentot (Meener Pangky dalam meenerpangky.com, 22/2/2016).
Sepulangnya, dari rumah kakeknya di Pamanukan, Subang. Setiap hari Kang Tarka selalu membolak-balik hasil alih aksara kakeknya. Karena sebelumnya sudah memahami karakter cacarakan Pakem Anyar, maka setengah bulan kemudian naskah kuno itu mulai sedikit terbaca. Persoalannya adalah karena minimnya kosakata perbendaharaan yang dikuasai dan dipahami. Bahasanya masih asing bagi Kang Tarka. Perjuangan menerjemahkan naskah pertama itu begitu lambat hingga enam bulan lamanya, faktor utama adalah kesibukannya sebagai karyawan dan tidak ada guru yang memandunya. Pada akhirnya, naskah tersebut ditaklukkan. Inilah tonggak keilmuan filologisnya dimulai, yakni pada tahun 1995 setelah ia bisa menaklukkan naskah Cerita Panji Inu Kertapati (Meener Pangky dalam meenerpangky.com, 22/2/2016).
Sejak itu, semangatnya menjadi menggebu-gebu. Tak peduli siang malam-jauh dekat, saat ada kabar naskah kuno ia langsung memburunya. Awalnya memang ketertarikan Kang Tarka terhadap naskah kuno, lebih pada tentang mantra-mantra Jawa atau semacam tutur piwulang (ilmu kaweruh). Kang Tarka menemukan, naskah kuno ternyata berisi lebih banyak bahasa-bahasa filsafat yang ia cari selama ini. Dari hal itulah, Kang Tarka menganggap pasti pada setiap naskah-naskah kuno itu tercantum tutur tembung kebaikan (Meener Pangky dalam meenerpangky.com, 22/2/2016).
Sejak itu ia menjadi kesengsem dan selalu ingin membaca naskah-naskah Jawa. Tak hanya naskah soal sejarah, kesenian, dan religi yang ditelusurinya. Aneka primbon-primbon dan petungan pun ia jejaki, bahkan jika perlu ia membeli naskah tersebut untuk dikoleksi. Jika pulang kampung Kang Tarka selalu menyempatkan diri untuk mencari naskah-naskah kuno yang disimpan oleh para sesepuh. Berkat sesepuh-sesepuh inilah, akhirnya penguasaan aksara Jawa Kang Tarka meningkat tajam (Meener Pangky dalam meenerpangky.com, 22/2/2016).
Ada yang menyumbangkan naskahnya, ada yang meminta untuk diterjemahkan dan ada juga yang hanya mengizinkan untuk disalin saja. Lucunya, masih banyak masyarakat yang mengkeramatkan naskahnya. Inilah penyebab mengapa keberadaan naskah kuno yang dimiliki oleh masyarakat akhirnya susah sekali ditembus. Saat itu Kang Tarka masih bekerja di Bogor. Sejak tahun 1991–2004, ia bekerja di PMS –Project Managament Services—IPB, Kampus Darmaga Bogor. Pada Proyek Pengembangan Pembangunan Gedung-gedung IPB Tahap I dan II (Meener Pangky dalam meenerpangky.com, 22/2/2016).
Dalam proses revitalisasi Ki Tarka melakukan berbagai upaya di antaranya berbagi informasi dengan dinas terkait, menjadi Anggota RBN Pesambangan Jati Cirebon, MBC, LBSD, LKI, Tapak Karuhun Nusantara, Manassa. Kemudian juga mereka melakukan kunjungan ke Kangjeng Sultan Kacirebonan untuk memohon restu, mencari persahabatan dengan tokoh muda dan tua, melalui Medsos dengan sharing baca naskah Jawa, Pegon, mengenali karakter pemilik naskah, memahami ringkasan isi Babad dan mengumpulkan Jawokan atau Mantra dan meyakinkan pemilik dengan fakta yang nyata. Sejak 2009, setelah mengalih aksarakan Manuskrip Kulit Menjangan, Lontar dan Selongsong Tombak milik Museum Pemda, selanjutnya Ki Tarka sering mendapat informasi kegiatan seni budaya di kota dan saling berbagi informasi temuan-temuan naskah dan seni tradisi yang hampir musnah seperti di Jaran, Lumping, Pujanggaan serta naskah naskah kuno lainnya.
( Cp.Enjoy )
Sumber : Tatang Hidayat (Pegiat Student Rihlah Indonesia)