Oleh : GF Didinong Say

Natalius Pigai ibarat mendapat angin justru ketika dirinya kena bullying rasis oleh Ambroncius. Beberapa hari belakangan ini ia viral dengan isu tersebut. Sementara itu, pihak kepolisian relatif telah dengan cepat menanggapi kasus tersebut demi menghindari dampak kaotik sosial politik di Papua.

Ambroncius telah diciduk untuk bertanggungjawab dan selanjutnya mengikuti due process of law. Rasisme tentu ditentang secara universal karena terbukti dalam sejarah bisa menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Bangsa manapun bisa mengalami ataupun sebaliknya melakukan sikap dan tindakan rasis tersebut termasuk di Papua.

Terbukti pula bahwa politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Maka patut dipertanyakan kepada Natalius Pigai apa motif eksploitasi kasus bullying rasis terhadap dirinya tersebut.

Dalam beberapa pemberitaan, serangan rasis Ambroncius kepada pribadi Natalius Pigai ternyata mendapat reaksi keras dari masyarakat Papua. Hinaan dehumanisasi tersebut memang bisa sangat traumatik bagi korbannya.

Namun bagi masyarakat Papua sikap dan tindak rasis yang dialami Natalius Pigai sebaiknya tak perlu digeneralisir dalam bias solidaritas sosial politik emosional.

Kasus ini bersifat pribadi dan sesungguhnya berkonteks pada sikap serta manuver politik Natalius Pigai sendiri selama ini. Terlalu melebar untuk membangun wacana separatisme di atas kasus tersebut. Semua pihak perlu membatasi diri dan introspeksi, termasuk Natalius Pigai.

Jejak digital berbagai statemen kontroversial Natalius Pigai selepas kedudukannya sebagai komisioner di Komnas HAM sangat mudah ditracing untuk dinilai secara objektif. Paling akhir, resistensi Natalius terhadap vaksinasi menimbulkan kegeraman banyak pihak.

Sikap Natalius tersebut, walau diangkat dalam wacana hukum dan HAM namun dianggap oleh sebagian pihak sebagai bentuk provokasi terbuka menentang upaya Pemerintah mengatasi pandemi Covids 19.

Ale Rasa Beta Rasa Sejak Papua kembali ke pangkuan NKRI, upaya integrasi nasionalisme di kalangan rakyat Papua tak kunjung usai dilakukan. Selalu lahir kelompok klandestin yang menentang upaya tersebut.

Kemunculan kelompok perlawanan bersenjata di Papua otomatis pula menimbulkan pendekatan keamanan.

Faktor intervensi asing yang mengincar SDA Papua juga sering menghambat upaya menyatukan Papua secara utuh dalam bingkai NKRI. Gus Dur sampai pernah berujar kepada masyarakat Papua bahwa mereka boleh minta apa saja asal jangan minta M besar.

Dana Otsus dan berbagai privilese digelontorkan bagi Papua. Jokowi berkali kali mengunjungi Papua dan membangun Papua secara konkret. Hendro Priyono misalnya mengusulkan agar masalah Papua bisa cepat diselesaikan dengan pemekaran provinsi baru.

Namun semua pendekatan Jakarta seperti membuang garam ke laut. Api selalu bisa muncul sewaktu waktu di Papua. Efeknya mendunia.

Tidak lucu juga membaca bahwa Pigai mau mengadukan kasusnya ke petinggi Amerika. Belakangan dikhabarkan bahwa pihak gereja di Papua juga mulai mengambil sikap frontal terhadap sikap dan praktik diskrimintatif. Nasionalisme adalah juga soal rasa.

Membangkitkan nasionalisme di kalangan masyarakat Papua tidak bisa dilepaskan dari pendekatan emosional. Ale rasa beta rasa.

Pendekatan rasa muncul dalam wujud pengakuan eksistensial bahwa orang Papua adalah sesama semartabat anak bangsa dalam segala bidang. Maka sambil tak lelah dengan pendekatan kesejahteraan oleh negara, upaya pelibatan dan ekspos interaksi orang Papua dengan masyarakat Indonesia lainnya di segala bidang perlu dilakukan by design.

Karena rasa hanya bisa dibangun dalam kebersamaan inkkusif. Untuk melawan rasisme sekaligus menggerakan nasionalisme di kalangan warga Afro Amerika, negara Amerika pernah mewajibkan bahwa setiap produksi film Hollywood harus memiliki kuota aktor berkulit hitam. Efek Simbolisasi Ide atau gagasan merupakan sebuah kekuatan khas manusia.

Plato bahkan menyebut bahwa ide adalah kenyataan dan mimpi adalah realitas yang sesungguhnya.

Manusia lebih dahulu bermimpi datang ke bulan sebelum benar benar menginjakkan kaki di bulan. Kekuatan kata kata Musa dengan dasar iman membuat tongkat di tangannya menjadi ular yang menelan ular dukun Firaun.

Oedipus complex muncul sebagai fakta dari sekedar sebuah ramalan. Peristiwa rasis yang dialami Natalius Pigai dan beberapa peristiwa sejenis lainnya cukup dilihat secara kasuistik saja.

Tidak perlu digeneralisir apalagi disimbolisasi. Self fullfiling prophecy menjelaskan tentang kekuatan ide, gagasan, pikiran, kata dan sumpah.

Semakin kita fokus memikirkan, menolak ataupun membayangkan tentang rupa dan perilaku gorila ataupun monyet maka efek umpan balik bisa saja menyebabkan stereotipe hewan tersebut mempengaruhi sikap dan perilaku kita.

Penulis : GF Didinong Say, tinggal di Jakarta, asal NTT.

Ket Foto : GF Didinong Say

Share It.....