
Sejarah Singkat Raja Gontar
Bermula dari kerajaan Aru yang ada di Sumatera Utara sekitar tahun 1200-1612, raja terakhir adalah Sultan Husin yang menikah dengan Tok Puteh putri dari Raja Malaka Sultan Mahmud Syah memiliki 3 orang anak. Anak pertama bernama Tuan Alasa (Tualang), anak ke duanya adalah Gontar dan anak ke tiga seorang perempuan yang tidak diketahui namanya, berdasarkan cerita dia menjadi permaisuri di kerajaan Tamiang.
Tuan Alasa berganti nama menjadi Tualang, nama Tualang sebagai putera mahkota. Sultan Husin meninggal saat di serang oleh Panglima Perang Aceh yang bernama Gocah Pahlawan. Tuan Alasa (Tualang) sebagai putera mahkota memiliki 13 generasi, di generasi ke 13 Tualang berubah nama menjadi Gontar, berlanjut sampai saat ini yaitu Gontar IV. Anak ke dua dari Sultan Husin Raja Aru yang bernama Gontar melarikan diri sampai ke NTB Sumbawa karena Sultan Husin wafat di serang oleh Gocah Pahlawan. Sedangkan anak yang ke tiga yang tidak diketahui namanya adalah seorang perempuan yang kabarnya menjadi permaisuri di Tamiang.
Sultan Husin adalah Sultan yang besar di takuti dan di segani oleh raja-raja di sebagian kawasan Sumatera, karena beliau menguasai lautan dan menjalin hubungan dengan Cina, Turki dan beberapa negara-negara lainnya. Sebagai seorang pewaris beliau (Raja Gontar) sudah menjalin hubungan kembali kepada negara-negara tersebut terutama Cina, beliau sudah beberapa kali berkunjung ke sana, dan sekarang sedang menjajaki hubungan dengan Thailand untuk mengikat kembali hubungan pada masa lalu. Sedangkan negara Malaysia, Singapore, Brunei, dan negara Asean lainnya yang pada dulunya menjalin hubungan dengan Sultan Husin beliau melanjutkan kembali dan saling berkomunikasi dan berkunjung ke negara mereka, dan mereka-mereka pun berkunjung ke Indonesia terutama ke tempat kediaman Raja Gontar IV.
Sultan Husin itu meninggal 1612 Masehi setelah itu di teruskan secara turun temurun hingga ke Raja Gontar. Budaya yang di pake Raja Gontar adalah budaya adat Melayu Tua, di dalam semboyannya tertulis adat beragam kaum dan Tan Hana Dharma Mangrwa artinya tiada pengabdian yang mendua. Beliau melanjutkan ini semata untuk melestarikan adat budaya Nusantara.
Menurut beliau adat dan budaya sebagai perekat anak bangsa Indonesia saat ini, karena hanya adat dan budaya lah satu-satunya yang bisa mengikatkan dari Sabang sampai Merauke, demikian pelestarian adat dan budaya yang di laksanakan oleh Raja Gontar IV dan keluarga.
(Tim Peliput Ketua Rossa, Ndra, Cokro dan Herdi)