
WBN │Dua Lembaga Bantuan Hukum, masing-masing LBH Nurani Nagekeo dan Tim Pembela Demokrasi Indonesia, kembali menegaskan temuan mereka melalui pernyataan terbuka kepada media (01/10/2022), menyebut masalah sesungguhnya yang mengakibatkan aktifitas Proyek Strategis Nasional Waduk Lambo terganggu, yakni carut marutnya administrasi pengadaan tanah milik masyarakat, hingga memicu kelompok masyarakat adat pendukung waduk, merasa kecewa dan mengambil sikap atas tanah adat mereka.
“Tidak ada Masyarakat Adat di Kabupaten Nagekeo yang menolak Waduk Mbay Lambo. Jadi, fakta yang benar harus dikatakan dengan cara kebenaran. Dukungan penuh dari masyarakat sangatlah terang benderang, mereka mendukung sepenuhnya Waduk Mbay Lambo. Jangan pelintir fakta real. Yang terjadi adalah akibat dari masalah atau akibat dar penyebab yang dilakukan. Permasalahan yang terjadi adalah administrasi tanah yang menimbulkan sejumlah kelompok masyarakat adat atau pemilik tanah di lokasi waduk marah besar atas pengadministrasian tanah mereka yang tidak mencantumkan nama-nama mereka sebagai pemilik tanah. Mereka menemukan nama-nama mereka selaku pemilik lahan di lokasi waduk itu tidak ada dalam daftar pemiliK tanah, padahal disitu adalah tanah adat suku mereka. Nama mereka tidak terdaftar sebagai orang yang berhak untuk menerima ganti rugi lahan. Nah, siapa kah yang akan menikmati hak ganti rugi atas tanah mereka, jika mereka selaku pemiliknya tidak ada nama dalam daftar kepemilikan tanas tersebut?. Mari kita letakan cara pikir dengan jujur, adil, benar dan akurat dalam merumuskan peristiwa”, ujar Lukas Mbulang, LBH Nurani Nagekeo, (01/10/2022).
Coba anda pikirkan, lanjut dia, Suku Palsu masuk dalam daftar pemilik tanah, yang artinya berhak menerima ganti rugi atas tanah waduk. Lalu, suku ulayat dan manusia-manusia real yang memiliki tanah di lokasi waduk itu, mereka tidak terdaftar. Yang bermasalah disini adalah pengadministrasian tanah yang dilakukan oleh para administrator. Itulah pemicu yang membuat masyarakat menangis, tertekan dan mengadu kemana-mana”, kata :Lukas.
“Masyarakat tidak berdosa, tidak bersalah, mereka tidak menolak waduk. Sebaliknya mereka sangat mendukung waduk. Yang jadi persoalan serius adalah masyarakat yang mendukung itu mempunyai tanah di lokasi waduk, tetapi nama-nama mereka tidak muncul dalam daftar pemilikan lahan atas tanah mereka. Itulah yang aneh di Nagekeo dalam urusan pengadaan tanah Waduk Lambo. Jika dimunculkan wacana yang menyebut masyarakat menolak, itu kan artinya sagat meleset, tidak tepat. Harus lihat mana sebab dan mana akibat. Jangan putar akibat jadi sebab”, tambah Lukas.
Dikutip terpisah, Tim Pembela Demokrasi Indonesia melalui Koordinator Petrus Selestinus, SH, (01/10/2022) memberikan catatan serius atas perkara tanah Waduk Lambo.
“Kami katakan lagi bahwa ada nama-nama fiktif dan nama suku palsu, bahkan nama orang yang sudah meninggal dunia bertahun-tahun lamanya, juga masih masuk dalam daftar nama penerima ganti rugi tanah Waduk Lambo. Kacau balau administrasi tanah oleh administrator nya atau si pembuatnya. Itulah masalah sesungguhnya, yang menyebabkan adanya rentetan peristiwa lain. Maka, patut menjadi obyek pemeriksaan Polda NTT. Ada dugaan Korupsi disitu, atas uang negara, bukan uang pribadi Panitia Pengadaan Tanah Waduk”, tegas Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus, SH dalam rilisnya, (01/10/2022).
Petrus Selestinus juga menyinggung sikap dan langkah penanganan oleh Pemda Nagekeo atas peristiwa yang terjadi di daerah.
“Pemerintah Daerah seharusnya tampil sebagai mediator yang tuntas dan adil untuk memediasi warga Kawa dan warga mana pun yang diperlakukan tidak adil dalam masalah pengadaan tanah waduk. Dermikian pula Pemerintah Pusat Cq. Panitia Pengadaan Tanah. Salah besar kalau Pemda terkesan bersikap diam bahkan jadi penonton yang membiarkan warganya meratapi haknya untuk mendapatkan ganti rugi atas tanah yang dirampas pihak lain sehingga berdampak pada keputusan masyarakat menutup akses pembanguan Waduk Mbay Lambo. Dengan demikian tidak keliru jika Masyarakat Nagekeo memberi cap bahwa Pemerintah Daerah tidur nyenyak membiarkan warganya meratapi haknya di kesunyian, itu sangat beralasan”, ungkap Petrus Selestinus, SH.
Rangkuman Tim WBN, atas protes masyarakat terhadap adanya kejanggalan administrasi maupun temuan Suku Palsu bernama Suku Wawo Lobotoro, sebelumnya menurut Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Nagekeo, Dominikus B Insantuan, pihaknya terus melakukan pembenahan administrasi maupun data-data kepemilikan tanah atas PSN Waduk Mbay Lambo, Nagekeo, NTT.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Badan Pertanahan Kabupaten Nagekeo maupun Pemerintah Daerah setempat dan pihak terkait lainnya di Kabupaten Nagekeo, belum memberikan jawaban siapa pelaku sesungguhnya yang memasukan nama suku palsu maupun nama orang yang disebut telah mennggal dunia, tetapi ada dalam daftar penerima yang berhak terima ganti rugi tanah Waduk Lambo.
Peta Akurat Rangkuman Tim Pers WBN
Kegaduhan atas Waduk Lambo ternyata tidak semua bidang tanah menuai protes yang diakibatkan oleh adanya perselisihan hak ataupun saling klaim antara suku dengan suku yang lainnya, ataupun klaim antar oknum orang per orangan, atau juga antar kelompok dalam masyarakat.
Rangkuman peristiwa dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama keributan pada Titik Nol Waduk Lambo yang berujung sejumlah bidang tanah di pagari pintu masuknya ke proyek waduk, selanjutnya dikabari akan segera dikerjakan oleh Warga Kawa menjadi kebun mereka.
Pada lokasi bidang-bidang tanah tersebut ternyata belum dilakukan pembebasan tanah masyarakat dan belum dibayar oleh Negara. Pelaksanaan proyek di lapangan adalah atas pemakluman masyarakat adat setempat, atau masih merupakan milik sah tanah Masyarakat Adat Kawa, yakni pada nomor bidang tanah 196, 197, 198 dan 199 sebagai sebuah kawasan besar, hamparan puluhan hektar atau yang disebut sebagai Titik Nol Proyek Waduk.
Pada nomor bidang tanah 196, 197, 198 dan 199 tidak terdapat pertentangan antar suku adat apapun, ataupun antar golongan, antar kelompok maupun antar individu dalam masyarakat, sebab merupakan milik Persekutuan Masyarakat Adat Kawa. Dengan prinsip mereka satu suara, satu ulayat.
Namun untuk nomor bidang tanah 196, 197, 198 dan 199, muncul akibat dari masalah administrasi tanah dimana nama-nama kepemilikan lahan dari Persekutuan Masyarakat Adat Kawa tidak muncul dalam daftar penerima ganti rugi lahan.
Fakta berikutnya , masih tentang Masyarakat Adat Kawa. Lagi-lagi pada Titik Nol dengan Nomor Bidang Tanah 493 dan 496 milik Masyarakat Adat Kawa.
Persekutuan Masyarakat Adat Kawa adalah Persekutuan Masyarakat Adat yang sejak awal mula bergulirnya wacana pembangunan Waduk Mbay Lambo di Nagekeo, diketahui merupakan kelompok suku yang memasang badan melawan kelompok penolak waduk. Masyarakat Kawa menyatakan sangat mendukung waduk bahkan menyurati Presiden RI.
Terhadap dua nomor bidang tanah lainnya di Titik Nol milik Warga Kawa yakni nomor bidang tanah 493 dan 496, disepakati atas adanya hubungan kawin mawin sejak zaman leluhur mereka dengan Suku Rendu, Isa dan Gaza sebagai hubugan sangat mendalam atas tali temali peradaban yang disebut dengan “Tu’a – Eja”, dalam bahasa tradisi setempat, maka pada dua bidang tanah yakni nomor 493 dan nomor 496, pihak Persekutuan Masyarakat Adat Kawa bersama Perwakilan Tokoh Masyarakat Adat Suku Rendu, Isa dan Gaza sebagai tetangga kampung “Tu’a – Eja, mereka menyepakati pembagian untung 40% ; 60% untuk Masyarakat Adat Kawa., dengan bukti legal kesepakatan berupa Berita Acara Bermeterai, yang dibuat di Ruang Bupati Nagekeo, juga dikantongi oleh BPN dan semua pihak terkait di daerah.
Atas kesepakatan tersebut, belum ada penuntasan administrasi akibat Kepala Desa tidak menanda tangani Berita Acara tersebut. Namun hingga berita ini diturunkan tidak ada keterangan penjelasan apapun mengapa tidak di paraf oleh Kepala Desa.
Peta peristiwa selanjutnya adalah 100 Tergugat termasuk Kepala BPN Nagekeo. Peristiwa ini berbeda lokus kejadian meskipun berada dalam kategori Tanah Waduk Mbay Lambo. Selainitu berbeda sukunya, atau bukan Masyarakat Adat Kawa.
Rangkuman peristiwa musyawarah ganti rugi lahan tahap I, bertempat di Hotel Pepita, Kota Mbay Kabupaten Nagekeo, dihiasi suasana alot dan protes keras kepada pihak BPN Nagekeo oleh sejumlah suku dari Persekutuan Masyarakat Adat Labo, Lele dan Kawa. Mereka menemukan data suku palsu serta ditemukan juga oleh Suku Ana Lara dan Ebudai bahwa data yang dipakai dalam daftar penerima ganti rugi, menurut mereka, adalah kelompok yang seharusnya hanya dihitung menerima hak di atas tanah, tidak boleh secara serta merta di data sebagai pemilik tanah.
Atas peristiwa tersebut, pantauan media ini, kini berujung ke peristiwa hukum dimana ratusan pihak resmi dinyatakan sebagai Tergugat dalam Sidang I di Meja PN Bajawa, dimana Penggugat diwakilkan melalui Tim Kuasa Hukum Tim Pembela Demokrasi Indonesia, TPDI, Koordinator Petrus Selestinus, SH.
Catatan media ini, terdapat tiga kategori peristiwa terkini yakni pertama, protes keras dari Persekutuan Masyarakat Adat Kawa karena pada nomor bidang tanah 196, 197, 198 dan 199 Titik Nol Waduk Lambo, tanah mereka dipakai untuk pembangunan waduk, namun nama-nama mereka tidak terdaftar atau hilang.
Kedua, Nomor Bidang Tanah 493 dan 496 milik Masyarakat Adat Kawa pada Titik Nol Waduk, Kepala Desa belum menanda tangani Berita Acara Bagi Hasil 40% ; 60%.
Ketiga, 100 Tergugat. Perkara Gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang dilayangkan oleh Markus Wolo dkk. Penggugat dalam Perkara No. 21/Pdt.G /2022/PN.Bjw, Aloysius Aku dkk. Para Penggugat dalam Perkara No. 22/ Pdt.G/2022/PN.Bjw dan Wihelmus Napa, Para Penggugat dalam perkara No. 23/Pdt.G/2022/PN.Bjw, dimana Kepala BPN Nagekeo sebagai Tergugat I.
Tim Pers Warisan Budaya Nusantara