Menolak Mangan Di Sabu Raijua, Membiarkan yang Lain

Oleh : John Mozes Hendrik Wadu Neru (Pendeta GMIT)

Dalam dua hari terakhir, Sabu Raijua mendadak jadi panggung moralitas yang hangat. Isu tambang mangan membangkitkan semangat penolakan yang luar biasa. Spanduk dikibarkan,

suara lantang dikumandangkan, media sosial dipenuhi narasi perjuangan menyelamatkan lingkungan. Kami menyampaikan terima kasih—karena akhirnya ada juga yang bersuara.

Namun, setelah ucapan terima kasih itu, kami juga harus jujur bertanya: ini keprihatinan atau pertunjukan? Ini suara hati atau sekadar pengemasan citra agar terlihat peduli? Karena jujur saja, terlalu mudah mencurigai motif di tengah selektivitas kepedulian.

Mengapa hanya tambang mangan yang membuat kita gelisah? Bagaimana dengan penambangan pasir yang berlangsung diam-diam, tanah putih yang dikeruk perlahan, batu karang yang dibongkar untuk keperluan sesaat? Apakah bentuk-bentuk eksploitasi ini tidak cukup “viral” untuk memantik kegelisahan yang sama?

Atau mungkin karena lubang-lubang pasir dan tanah putih tidak sepopuler lubang-lubang mangan? Atau mungkin karena tambang mangan lebih mudah dijadikan musuh bersama daripada berhadapan dengan praktik eksploitatif yang sudah kadang dianggap “biasa”?

Kalau benar kita sedang bicara soal kerusakan lingkungan, maka kita butuh keberpihakan yang menyeluruh. Kita tidak bisa bermain-main dengan ekologi sambil menyodorkan “diskon moral” untuk praktik lain yang sama merusaknya.

Penebangan liar, pembakaran lahan, dan penertiban hewan yang sembrono pun adalah wajah lain dari krisis ekologis yang nyata. Tapi anehnya, terhadap itu semua—kita lebih sering diam. Dan saat kita sedang sibuk berteriak soal tambang, kita juga tengah mempersiapkan diri memasuki musim perjudian yang dibungkus rapi dalam kemasan adat dan budaya.

Gong akan berbunyi, kuda akan berlomba, uang akan berpindah tangan di atas meja terbuka—dan entah bagaimana semua ini lolos dari sensor moral kita.

Lalu muncul pertanyaan: Apakah para tokoh yang kini lantang menolak tambang akan sama lantangnya menolak perjudian yang terang-terangan dipertontonkan? Ataukah mereka akan berubah menjadi pelobi budaya, yang datang dengan nada lembut: “Boleh tidak kalau acaranya diperpanjang satu hari lagi, demi warisan leluhur?” Warisan macam apa yang menggadaikan etika demi euforia sesaat?

Kita hidup di tengah ironi: ingin dipuji sebagai penjaga alam, tapi diam saat alam dirusak oleh tangan kita sendiri. Ingin disebut penjaga moral, tapi absen ketika moral dilucuti di depan mata.

Kita tidak sedang menjaga budaya, kita sedang menyembunyikan pelanggaran di balik nama budaya.

Dan sementara banyak lidah memilih diam, Gereja sedang memandang dari kejauhan—diam bukan berarti absen, tenang bukan berarti tunduk.

Gereja sedang menyiapkan suaranya: suara kenabian yang tak gentar menyebut dosa sebagai dosa, yang tak silau oleh spanduk budaya, yang tak tunduk pada opini populer. Suara yang akan muncul, bukan untuk

menyenangkan, tapi untuk menyadarkan. Bukan untuk menjaga kenyamanan, tapi untuk mengguncang kebiasaan yang penuh kepura-puraan. Suara itu akan datang—dan ketika datang, ia tidak akan bisa diabaikan.

Share It.....