Legenda Saidah Dan Saenih, Menjadi Mitos Melempar Uang Di Jembatan Kali Sewo

WBN, INDRAMAYU – Jika kita melintasi jalur pantai utara dari Jakarta menuju ke Cirebon atau arah sebaliknya, Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan sebuah jembatan yang terletak antara kab, Indramayu dan Kab, Subang yang di bawahnya mengalir sebuah sungai yang tak terlalu besar namun cukup terkenal. Itulah jembatan sungai Sewo atau Kali Sewo Indramayu yang sangat legendaris dan begitu dikenal oleh sebagian besar masyarakat Jawa Barat di pesisir utara.

Saat melintas, tentunya kita juga sudah sangat mafhum dengan kehadiran warga yang duduk dan kadang berdiri berjejer disepanjang jalan di sekitar jembatan. Sambil membawa ranting kering, mereka berharap agar para pengendara yang melintasi jembatan ini melakukan ritual tabur uang koin yang kemudian mereka ambil dengan bantuan ranting kering yang sudah disiapkan.

Apa sebenarnya yang mereka lakukan, dan mengapa pula masih ada saja para pengendara yang melintas kemudian melakukan ritual tabur atau buang uang? Tentunya hal tersebut tak lepas dari keyakinan masyarakat dan sebagian para pengendara yang masih meyakini bahwa ritual tabur koin akan memberi keselamatan pada mereka.

Ritual buang uang ini diyakini seiring adanya sebuah kisah tragis yang melatar belakangi keangkeran dan aura mistis yang menyelimuti jembatan tersebut. Dahulu kala di sebuah desa yang diyakini berada di Indramayu, hiduplah sebuah keluarga dari seorang pria bernama Sarkawi beserta istri dan kedua orang anak Saidah dan Saeni.

Suatu ketika, Sarkawi berniat pergi untuk menunaikan ibadah haji. Namun saat diperjalanan, Sarkawi malah tergoda oleh penari ronggeng yang bernama Maimunah. Sarkawi dan Maimunah akhirnya menikah.. Sejak pergi meninggalkan rumah, sudah tujuh bulan lamanya Sarkawi tidak pernah kembali hingga membuat istrinya sakit dan meninggal dunia.

Selang beberapa hari sejak istri pertamanya meninggal, Sarkawi mendadak ingin pulang dengan membawa serta Maimunah, istri mudanya. Meski terkejut saat mengetahui istrinya meninggal, namun Sarkawi kemudian tetap memperkenalkan Maimunah istri mudanya pada kedua anaknya, Saidah dan Saeni.

Beberapa hari di rumah, Sarkawi pergi untuk mencari nafkah, sementara Maimunah juga pergi ke pasar. Sebelum pergi, Maimunah berpesan agar beras dan uang jangan dipakai. Namun karena Saeni lapar, akhirnya beras dimasak oleh Saidah kakaknya. Mendapati beras dan uang sudah tiada, sekembali dari pasar Maimunah pun gusar, Saidah dan Saeni kemudian dimarahi dengan kasar.

Tak terima dimarahi Saidah dan Saeni memutuskan untuk pergi, namun Maimunah berpura-pura sadar dan meminta maaf pada Saedah dan Saeni. Bermaksud ingin membuang Saidah dan Saeni, Maimunah kemudian mengajak keduanya jalan-jalan ke kota. Saat malam tiba, Maimunah lalu meninggalkan Saidah dan Saeni di tengah hutan.

Gambar hanya ilustrasi
Gambar hanya ilustrasi

Secara misterius, Saeni kemudian didatang seorang kakek yang memberinya petunjuk bahwa Saeni akan dijadikan penari ronggeng terkenal dan Saidah jadi tukang kendangnya. Namun sebelumnya, Saeni harus mengadakan ritual perjanjian buaya putih. Setelah Saeni menjadi penari ronggeng dan Saedah jadi tukang kendang, hidup mereka pun sangat berkecukupan sampai batas waktu yang ditentukan.

Seiring berjalannya waktu, kakek misterius kemudian datang untuk menagih janji, Saeni lalu berubah menjadi buaya putih dan terjun ke kali Sewo. Melihat Saeni berubah wujud, Saidah lalu mengabari orang tuanya di rumah. Tanpa menunggu waktu, Sarkawi dan istrinyanya langsung menuju kali Sewo.

Sarkawi kemudian terjun ke sungai dan berubah wujud menjadi bale kambang atau balai (sejenis ranjang terbuat dari kayu) yang mengambang di kali Sewo. Maimunah yang juga ikut terjun lantas berubah menjadi pring ori (bambu). Tinggalah Saidah sendirian yang karena merasa lemas dan putus asa ini lantas tertidur dan berubah wujud menjadi bunga cempaka putih.

Secara umum, riwayat Saidah dan Saeni versi tersebut adalah yang paling dikenal oleh masyarakat di pesisir utara Jawa Barat dari Cirebon hingga sebagian wilayah Karawang. Karena kisah inilah kemudian ada ritual ‘buang uang’ atau disebut juga tambangan dalam istilah setempat.

Meski demikian, ada juga yang menyebut bahwa ritual tebar koin atau buang ini adalah untuk memberi saweran pada Saidah dan Saeni. Dimasa lalu, diyakini Saidah dan Saeni ini selalu mementaskan seni Ronggeng dengan Saidah sebagai penabuh kendang. Mereka selalu menampilkan kesenian tradisional ini di pinggir jalan di sekitar jembatan kali Sewo.

Selain siluman buaya putih atau kisah Saidah dan Saeni, ritual buang uang juga dikait-kaitkan dengan sosok Kuntilanak yang menunggui jembatan ini. Konon, semua mahluk halus yang ada tidak akan mengganggu jika para pelintas melempar uang. Masyarakat juga sangat meyakini bahwa yang meminta atau menyapu uang di sekitar jembatan ini salah satunya adalah jelmaan mahluk halus penghuni kali Sewo.

Tidak jelas kapan ritual buang ini mulai berlangsung namun sebagian besar warga meyakini buang uang sudah ada sejak jaman Belanda. Cukup banyak warga yang berusia 70 tahun lebih namun mengaku sering melihat kakeknya membuang uang saat melintasi jembatan Sewo. Saat ia bertanya, kakeknya juga menjawab bahwa hal itu sudah ada sejak lama. “Buang uang di Sewo sudah ada sejak kakek saya masih anak-anak,” ujar warga

Kisah mistis di jembatan Sewo juga makin mengental saat kesenian tradisional Tarling sering mementaskan kisah ini di awal tahun 1980-an. Terlebih, suasana saat itu masih terbilang sepi dan tak seramai seperti sekarang yang tentunya membuat cerita mistis di jembatan Sewo terdengar cukup menakutkan.

Kisah Saidah dan Saeni, adalah salah satu kisah yang begitu populer dan melatar belakangi cerita misteri di kali Sewo ini. Hal itulah yang membuat ritual buang uang tetap diyakini dan malah makin banyak warga yang kini ikut ‘menunggui’ jembatan untuk mengais rezeki.
( Cp.Enjoy )

Share It.....