
Oleh: dr. Ester Junita Djari
Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental berat yang paling sering menimbulkan stigma di masyarakat. Penyakit ini memengaruhi cara berpikir, merasakan, dan berperilaku seseorang, sehingga dapat mengganggu berbagai aspek kehidupan, mulai dari hubungan sosial, pekerjaan, hingga kemampuan untuk merawat diri. Sayangnya, pemahaman masyarakat umum tentang skizofrenia masih minim, bahkan sering kali keliru.
Kata “skizofrenia” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “schizo” yang berarti terbelah, dan “phren” yang berarti jiwa atau pikiran. Namun, istilah ini tidak berarti bahwa penderita memiliki kepribadian ganda, sebagaimana sering diasumsikan keliru. Skizofrenia adalah gangguan psikotik kronis yang ditandai dengan distorsi realitas—penderitanya mengalami kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak.
Gambaran Umum Skizofrenia
Skizofrenia biasanya mulai muncul pada akhir masa remaja atau awal usia dewasa (sekitar usia 15-30 tahun), dan lebih awal terjadi pada pria dibandingkan wanita. Meskipun dapat muncul secara tiba-tiba, dalam banyak kasus, gejala berkembang perlahan dan menjadi lebih jelas seiring waktu.
Gangguan ini tidak mengenal status sosial, ekonomi, atau tingkat pendidikan. Siapa saja dapat mengalami skizofrenia. Data dari World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa sekitar 24 juta orang di dunia hidup dengan skizofrenia. Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sekitar 7 dari 1.000 rumah tangga memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa berat, termasuk skizofrenia.
Gejala Skizofrenia
Gejala skizofrenia dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok utama: gejala positif, gejala negatif, dan gejala kognitif.
1. Gejala Positif
Disebut “positif” karena menunjukkan penambahan terhadap pengalaman normal. Gejala ini termasuk:
Halusinasi: terutama halusinasi pendengaran (mendengar suara-suara yang tidak ada).
Waham: keyakinan yang salah dan tidak logis, misalnya merasa diikuti atau dikendalikan oleh pihak luar.
Gangguan bicara: sulit mengorganisir pikiran, pembicaraan menjadi kacau dan tidak nyambung.
Perilaku tak terorganisir: melakukan aktivitas aneh, tidak sesuai konteks, atau tidak dapat diprediksi.
2. Gejala Negatif
Ini berkaitan dengan penurunan atau kehilangan fungsi normal, seperti:
Kehilangan motivasi (avolisi).
Kurangnya ekspresi emosi (afek datar).
Penarikan diri dari lingkungan sosial.
Penurunan kemampuan berbicara dan beraktivitas sehari-hari.
3. Gejala Kognitif
Meskipun sering kurang dikenali, gejala ini berperan besar dalam disabilitas fungsional penderita:
Kesulitan berkonsentrasi.
Gangguan dalam menyusun rencana dan membuat keputusan.
Masalah memori kerja (kemampuan menyimpan dan menggunakan informasi secara sementara).
Penyebab Skizofrenia
Penyebab pasti skizofrenia belum diketahui secara definitif, namun penelitian menunjukkan bahwa skizofrenia merupakan hasil interaksi kompleks antara faktor genetik dan lingkungan.
Faktor Genetik: Risiko skizofrenia meningkat jika ada riwayat keluarga dengan gangguan serupa. Namun, memiliki anggota keluarga dengan skizofrenia tidak berarti seseorang pasti akan mengalami penyakit ini.
Ketidakseimbangan Kimia Otak: Gangguan dalam neurotransmiter, terutama dopamin dan glutamat, diduga berperan dalam munculnya gejala skizofrenia.
Perubahan Struktur dan Fungsi Otak: Beberapa studi pencitraan otak menemukan perubahan pada ukuran struktur tertentu pada penderita skizofrenia.
Faktor Lingkungan: Termasuk komplikasi kehamilan dan persalinan, infeksi virus, kekurangan gizi prenatal, hingga stres berat dan penggunaan zat adiktif (seperti ganja) pada masa remaja.
Diagnosis Skizofrenia
Diagnosis skizofrenia ditegakkan oleh psikiater melalui evaluasi menyeluruh, termasuk wawancara psikiatrik, observasi perilaku, serta riwayat medis dan sosial. Kriteria diagnosis mengacu pada pedoman seperti DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition) atau PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) yang digunakan di Indonesia.
Seseorang dapat didiagnosis skizofrenia jika mengalami dua atau lebih gejala utama (halusinasi, waham, bicara tidak teratur, perilaku kacau, atau gejala negatif) selama minimal satu bulan, dan gangguan tersebut berdampak signifikan pada fungsi sosial atau pekerjaan.
Pengobatan dan Penanganan
Skizofrenia adalah gangguan kronis yang memerlukan penanganan jangka panjang. Penanganan tidak hanya berfokus pada gejala psikotik, tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup dan fungsi sosial penderita.
1. Farmakoterapi
Penggunaan obat antipsikotik merupakan pilar utama terapi. Obat ini membantu mengendalikan gejala psikotik seperti halusinasi dan waham.
2. Psikoterapi dan Rehabilitasi Psikososial
Terapi kognitif-perilaku (CBT) membantu pasien mengelola pikiran irasional dan belajar keterampilan sosial.
Terapi keluarga sangat penting untuk memberikan edukasi dan mendukung sistem perawatan.
Rehabilitasi psikososial, termasuk pelatihan kerja dan aktivitas komunitas, membantu pasien kembali berfungsi dalam kehidupan sehari-hari.
3. Dukungan Sosial
Keterlibatan keluarga dan komunitas sangat vital. Dukungan yang positif dapat mempercepat pemulihan dan mencegah kekambuhan.
Tantangan dalam Penanganan Skizofrenia: Stigma dan Kurangnya Akses
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan skizofrenia adalah stigma. Banyak masyarakat yang masih menganggap penderita skizofrenia sebagai “orang gila”, “berbahaya”, atau “kerasukan”. Akibatnya, penderita dan keluarganya sering merasa malu, dikucilkan, dan enggan mencari bantuan profesional.
Selain itu, akses terhadap layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih terbatas, terutama di daerah terpencil. Banyak pasien yang tidak mendapat pengobatan memadai, atau hanya mengandalkan pengobatan alternatif yang belum terbukti efektif.
Pemerintah dan tenaga kesehatan terus berupaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa, termasuk memperluas fasilitas rehabilitasi, penyuluhan, dan integrasi layanan kesehatan jiwa ke dalam layanan primer.
Harapan dan Kesimpulan
Meskipun skizofrenia merupakan penyakit kronis, banyak penderita yang dapat menjalani hidup produktif dengan pengobatan dan dukungan yang tepat. Dengan diagnosis dini, terapi berkelanjutan, dan lingkungan yang mendukung, penderita skizofrenia memiliki peluang besar untuk pulih dan berkontribusi di masyarakat.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan bebas stigma. Edukasi, empati, dan keterbukaan untuk memahami gangguan mental adalah langkah awal menuju perubahan positif.
Mari bersama-sama hilangkan stigma terhadap skizofrenia. Mereka bukan “orang gila”. Mereka adalah individu yang berjuang dengan penyakit medis yang bisa diobati—dan mereka berhak mendapatkan dukungan, bukan penolakan.