Sebuah Catatan Ringan, Pena Jurnalis
Oktober 2025 Publik Nagekeo Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur , ramai memperbincangkan sebuah Nomor Laporan Polisi yang masuk di meja hukum Polres Nagekeo, seorang klerus atau imam Gereja Katolik, juga penulis dan jurnalis, Pastor Steph Tupeng Witin, SVD, dipolisikan atas karya artikel, opininya, yang dimuat pada kolom sebuah media lokal, tanggal 20 Oktober 2025, berjudul “Ketika Keadilan Dirampas Kekuatan Mafia Nagekeo”.
Mengutip kabar media lokal, Pastor Steph Tupeng Witin. SVD resmi menjadi terlapor di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Nagekeo, dengan nomor LP/B/92/X/2025/SPKT/POLRES NAGEKEO/POLDA NTT.
Pastor Steph Tupeng, SVD diadukan dengan dugaan pencemaran nama baik, terhadap seorang perwira polisi di Nagekeo, AKP. Servolus Tegu.
Dikabarkan, Kuasa Hukum Pelapor, Cosmas Jo Oko, SH, memastikan laporan itu dibuat atas nama pribadi kliennya, Servolus Tegu, bukan atas nama institusi kepolisian.
Telaah Tulisan
Berikut kutipan tulisan Steph Tupeng :
“Oknum polisi yang diduga kuat sangat terlibat dalam membuat kekacauan di waduk Lambo adalah mantan Kapolres Yudha Pranata dan Polisi Servulus Tegu yang kini menjabat sebagai Kabag Ops Polres Nagekeo. Dulu Tegu menjabat Kasat Intel yang menjadi penggerak mafia di lapangan dengan menciptakan konflik untuk mengadudomba warga”.
Mencermati tulisan Pastor Steph Tupeng Witin, SVD, di atas, sebenarnya tampak penulis memberikan batasan, membuat garis batas pada tulisannya, atau menunjuk konteks.
Penulis menyertakan penegasan pokok, yang seringkali dilewatkan oleh pembaca ketika membaca sebuah karya tulis produk jurnalistik. Penulis tampak telah mengumumkan terlebih dahulu, bahwa konstruksi tulisannya adalah “dugaan, menduga,mengira. Atau kata lainnya, tidak menuduh, tidak menyimpulkan.
“Oknum polisi yang diduga kuat…..”, demikian konstruksi utama yang dipakai penulis.
Penegasan demikian sebenarnya sepadan dengan azas hukum yang berlaku, tidak melawan hukum, bersifat praduga tak bersalah, tidak pula menabrak kaidah-kaidah menulis.
Penulis secara tegas menunjuk posisinya, yakni berdiri dalam ruang dugaan, menduga. Penulis tidak menuduh bahwa oknum Polisi adalah Mafia.
Dalam tata kehidupan, ataupun kerangka pengetahuan, praduga bisa menyasar kepada siapa saja, bisa kepada pemimpin daerah, bisa kepada wakil rakyat, bisa kepada pejabat tinggi negara, bisa kepada masyarakat kecil, sebab kedudukan dugaan adalah spekulatif, tidak mengikat, tergantung variabel-variabel pendukung sebuah praduga dialamatkan.
Negeri ini mungkin masih ingat dengan perseteruan mantan Ketua Mahkama Konstitusi, Mahfud MD yang tidak mau berpolemik panjang lebar, menyebut jangan dipaksa ke ranah hukum, atas pernyataannya yang menyebut bahwa mafioso narkoba diduga ikut main dalam pemberian grasi dari Presiden SBY kepada dua terpidana narkoba, kala itu.
Pernyataan Mahfud kala itu menyinggung kalangan Istana. Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, kemudian mengatakan, bila Mahfud tidak bisa menjelaskan dan membuktikan tuduhan itu, maka ia harus menerima sanksi hukum secara ksatria pula.
Dengan ringan Mahfud menjawab serangan balik Sudi Silalahi. Dalam salah satu pesan yang dikirimkannya kepada seorang sahabatnnya, Mahfud mengatakan persoalan itu tak perlu diseriusi.
“Pak Sudi tak paham bedanya menduga dan menuduh. Tak ada di dunia ini orang menduga sesuatu lalu punya konsekuensi hukum,” kata Mahfud.
“Jadi saya tak perlu melakukan apa pun karena hanya akan buang-buang waktu. Sejak kapan orang menduga sesuatu dianggap melanggar hukum?” sambung Mahfud.
Beda Menduga dan Menuduh
Meski terasa beda-beda tipis, namun literasi hukum memberikan perbedaan yang cukup jelas antara menduga dan menuduh.
Menduga adalah menyatakan sesuatu yang belum terbukti kebenarannya, berdasarkan asumsi atau indikasi awal. Dari aspek bukti, belum ada bukti yang cukup dan mengikat. Tidak ada konsekuensi hukum jika didasarkan pada praduga yang wajar, karena menghormati asas praduga tak bersalah.
Sedangkan menuduh, adalah menyatakan dengan tegas bahwa seseorang telah melakukan perbuatan pidana. Dari konteks bukti, menyodorkan bukti-bukti pendukung. Secara konsekuensi hukum, berisiko dikenakan sanksi pidana (pencemaran nama baik/fitnah).
Was-Was Dugaan Bukan Tuduhan
Jika tulisan Pastor Steph Tupeng Witin, SVD adalah bahasa dugaan, maka terbuka memunculkan satu pertanyaan baru, yakni adakah gerangan yang mengubah “dugaan” menjadi “tuduhan”, sehingga Pastor Steph disebut membuat tuduhan yang telah merugikan nama baik, mencemarkan nama baik.
Pertanyaan lanjutannya adalah, apakah ada konsekuensi hukum jika melakukan perbuatan mengubah-ubah konstruksi berpikir dan tulisan seseorang ?. Jika dugaan disebut sebagai tuduhan, misalnya.
Pada titik ini segenap pembaca artikel mungkin perlu mawas diri, menahan diri, was-was tidak terjebak menyebut Pastor Stef menuding, sebab sebuah dugaan bukanlah tuduhan.
Tak Perlu Diseriusi
Terkait dugaan, Mahfud MD pernah menyebut bahwa urusan duga menduga adalah hal yang wajar dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum.
“Tak perlu diseriusi. Sejak kapan orang menduga sesuatu dianggap melanggar hukum?”, kata mantan Ketua Mahkama Konstitusi, Mahfud MD dalam suara edukasi hukum kepada masyarakat, kala itu.
Lantas, bagaimana dengan nomor Laporan Polisi terhadap Penulis Artikel Pastor Steph Tupeng Witin, SVD di meja hukum Polres Nagekeo NTT?.
Pertama, karena tengah berproses, maka segenap pihak taat azas.
Kedua, budayakan melawan artikel dengan artikel, karya opini dengan karya opini. Jangan tanggapi artikel produk jurnalistik dengan pasal hukum, waspada kriminalisasi.
Masyarakat Flores Lembata Nusa Tenggara Timur dan berbagai elemen demokrasi lokal, mencermati rangkaiannya, menakar semua episodenya, mengamati segala langkah dan upaya, serta menyimak apa hasil akhirnya.
Wassalam
PENA Jurnalis WBN
