Penulis: Andito Suryo
Suara gamelan mulai berdentum, mengisi setiap sudut aula. Lampu panggung menyorot sekelompok penari yang muncul serempak, membawa topeng barong dengan gerak tegas dan berirama cepat. Suasana langsung berubah—penuh energi, penuh emosi. Penonton terpaku, kayak lagi nyaksiin pertempuran simbolik antara manusia dan batin mereka sendiri.
Pertunjukan berdurasi sekitar 15 menit ini bukan cuma soal tarian. Ada cerita di balik setiap hentakan kaki dan gerakan kepala barong. Gerak rampak yang kompak menggambarkan konflik sosial dan perjuangan masyarakat menghadapi tekanan hidup. Dari luar kelihatannya cuma “ramai”, tapi di balik itu ada makna tentang keseimbangan antara kekuatan dan ketenangan.
Salah satu koreografer sekaligus penata tari, Haduji, menjelaskan bahwa kericuhan dalam pertunjukan ini bukan semata-mata adegan dramatis, tapi simbol dari dinamika sosial.
“Kami pengin nyampaikan keresahan manusia lewat gerak. Rampak Barong ini bukan cuma pertunjukan mistis, tapi refleksi tentang kehidupan,” katanya seusai tampil.
Penonton yang hadir terlihat kagum dan antusias. Banyak yang ngerekam lewat ponsel, ada juga yang bersorak tiap kali musik mencapai puncaknya.
“Barong-nya keren banget, gerakannya kompak, energinya terasa sampai ke bangku penonton,” ujar salah satu penonton.
Lewat Tari Rampak Barong versi modern ini, mahasiswa UTCC nunjukin bahwa tradisi bisa terus hidup kalau dikasih ruang untuk berkembang. Di tengah riuh gerak dan tabuhan gamelan, mereka berhasil nyampein pesan sederhana tapi kuat: budaya itu bukan masa lalu — dia adalah napas masa kini yang tetap berdetak lewat generasi muda.
Note: Ini adalah artikel Kiriman Pembaca Sahabat WBN, Redaksi memberi ruang bagi pembaca untuk menyampaikan gagasan dan pengalamannya, baik Artikel Berita atau Opini.
