Indonesia Di Persimpangan Jalan, Pemilu Proporsional Terbuka Vs Proporsional Tertutup
WBN, Aurelius Do'o

Update Catatan WBN Pers, Oleh : Aurelius Do’o

Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 merupakan salah satu penyelenggaraan pemilihan umum di Indonesia dengan tingkat pertarungan gagasan maupun keputusan yang dapat dikata cukup alot.

Kepastian mekanisme pemilu yang akan digunakan nanti, apakah memakai mekanisme Proporsional Terbuka atau Proporsiona Tertutup, keduanya belum bisa dipastikan, sebab masih berlangsung uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Ya, seperti di persimpangan jalan. Indonesia menunggu palu Mahkamah Konstitusi, apakah menuju mekanisme Pemilu Proporsional Terbuka atau Proporsional Tertutup.

Menanti itu, Indonesia disuguhi pergolakan gagasan disertai dasar kajian masing-masing terhadap proses uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Indonesia Corruption Watch dalam sebuah siaran pers menyebut, Ketua Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Hasyim Asyari, mengeluarkan pernyataan kontroversial dalam sebuah acara yang diadakan pada akhir Desember lalu. Hasyim mengomentari proses uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan mengatakan bahwa kemungkinan pemilu mendatang akan digelar menggunakan mekanisme Proporsional Tertutup.



Indonesia Corruption Watch menilai pernyataan tersebut adalah janggal dan bukan kali pertama disampaikan oleh Hasyim. Beberapa bulan sebelum itu, tepatnya pertengahan Oktober, pernah menyatakan dukungan terhadap sistem proporsional tertutup dengan alasan desain surat suara.

Menurut Indonesia Corruption Watch, KPU RI adalah lembaga yang memiliki mandat menjalankan perintah undang-undang, bukan justru melontarkan pendapat yang melenceng dari mandat UU Pemilu. Maka menjadi wajar dan dapat dipahami jika sebagian besar masyarakat dan partai politik melayangkan kritik tajam kepada Hasyim.

Indonesia Corruption Watch merilis empat poin yang penting diuraikan mengenai sistem proporsional tertutup. Pertama, sistem proporsional tertutup menjauhkan partisipasi masyarakat dalam menentukan calon wakilnya di lembaga legislatif. Penentuan calon anggota legislatif yang akan terpilih bukan berada pada masyarakat, melainkan di internal partai politik.

Kedua, proporsional tertutup sama sekali tidak menghapus tren politik uang, melainkan hanya memindahkan, dari calon ke masyarakat menjadi calon ke partai politik. Sebab, kandidat terpilih bergantung pada nomor urut calon anggota legislatif yang ditentukan sepenuhnya oleh partai politik.

Ketiga, proporsional tertutup membuka ruang terjadinya nepotisme di internal partai politik. Bukan tidak mungkin, calon-calon yang memiliki relasi dengan struktural partai dapat dimudahkan untuk mendapatkan nomor urut tertentu.

Keempat, sistem proporsional tertutup berpotensi menghilangkan relasi dan tanggung jawab anggota legislatif kepada rakyat. Bagaimana tidak, penentuan akhir keterpilihan calon berada di bawah kekuasaan partai dan oleh karenanya anggota legislatif terpilih hanya akan bertanggung jawab kepada partai politik.

Indonesia Corruption Watch juga merilis pada tahun 2019 partai politik mengusung 72 calon anggota legislatif yang sebelumnya pernah menyandang status sebagai narapidana korupsi. Maka, dengan logika yang sama, Indonesia Corruption Watch menilai sulit menaruh kepercayaan kepada partai politik untuk menentukan sendiri calon terpilih melalui skema proporsional tertutup.

Indonesia Corruption Watch juga menilai pernyataan Hasyim patut diduga telah melanggar kode etik yang diatur dalam Pasal 8 huruf c Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Aturan itu menyebutkan bahwa dalam melaksanakan prinsip mandiri, penyelenggara pemilu dilarang mengeluarkan pendapat atau pernyataan yang bersifat partisan atas masalah atau isu yang sedang terjadi dalam proses pemilu. Karena itu, penjatuhan sanksi merupakan pilihan yang tepat dan rasional diberikan kepada pemimpin KPU RI.

Sementara itu laman Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, melansir Pimpinan DPR RI soroti usulan perubahan sistem pemilu yang akan digunakan dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.

Diketahui, usulan tersebut merupakan bagian dari judicial review atau uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait Sistem Proporsional Terbuka.

Uji materi diajukan oleh sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sedikitnya delapan partai politik di parlemen menolak tegas pemberlakuan kembali Sistem Proporsional Tertutup.

Wakil Ketua DPR RI Muhaimin Iskandar menilai usulan perubahan kembali menjadi Sistem Proporsional tertutup dalam Pemilu 2024 adalah tidak logis dan dapat membahayakan demokrasi’ kata Politisi PKB itu kepada media dalam konferensi pers usai Rapat Paripurna DPR RI ke-14 Masa Persidangan III Tahun Sidang 2022-2023, di Nusantara II, DPR RI, Senayan, Selasa (10/1/2023).

Selain itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad pun meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mempertimbangkan suara mayoritas, baik dari fraksi di DPR RI maupun masyarakat yang menolak Sistem Proporsional Tertutup. Menurutnya, MK tidak boleh memutuskan judicial review terhadap Sistem Pemilu secara serampangan.

Berbeda pendapat dan kajian, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto melontarkan kajian bahwa sistem pemilu proporsional terbuka sebagai pengganti sistem proporsional tertutup, berpotensi melanggengkan politik anggaran.

Menurut Hasto, banyak anggota legislatif yang justeru memakai politik anggaran untuk kepentingan elektoral. Itulah sebabnya, mengapa PDI-P bersikeras mendorong sistem pemilu legislatif dikembalikan ke sistem proporsional tertutup.



Riwayat Pemilu

Pemilu di Indonesia pernah menggunakan Sistem Proporsional Tertutup pada Pemilu tahun 1955, Pemilu Orde Baru dan Pemilu tahun 1999.

Berikutnya sejak Pemilu tahun 2004, 2009, 2014, dan 2019, Sistem Pemilu di Indonesia menggunakan Sistem Proporsional Terbuka.

Update catatan

Mahkamah Konstitusi menggelar sidang uji materiil aturan mengenai sistem proporsional terbuka sebagaimana diatur dalam Pasal 168 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu, yang digelar pada Kamis (9/2/2023) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK).

Sidang Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 digelar secara luring dengan agenda mendengarkan keterangan Pihak Terkait, yakni M. Fathurrahman, Sharlota, Asnawi dengan dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman didampingi tujuh Hakim Konstitusi lainnya.

Ade Septiawan Putra selaku Kuasa Hukum M. Fathurrahman dalam keterangannya menyebut, pengaturan sistem proporsional terbuka dalam UU Pemilu merupakan pelaksanaan Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 3 Desember 2008 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Dengan demikian, adanya keinginan rakyat memilih wakilnya yang diajukan oleh partai politik dalam pemilu sesuai dengan kehendak dan keinginannya dapat terwujud. Harapan agar wakil yang terpilih tersebut tidak hanya mementingkan kepentingan partai politik tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih.

Sistem proporsional terbuka dianggap sebagai sistem terbaik dalam penyelenggaraan pemilu dengan one man, one vote, one value.

Terhadap argumentasi dan pandangan para Pemohon yang menyatakan bahwa praktik penyelenggaraan pemilu dengan sistem proporsional terbuka dianggap telah mengerdilkan organisasi partai politik dalam menentukan seleksi calon legislatif, membuat daftar nomor calon legislatif dan menentukan siapa saja yang layak terpilih dalam pemilu, hal demikian dinilai anggapan pemohon kurang tepat karena dalam sistem proporsional tertutup maupun terbuka tetap partai politik yang menentukan seluruh daftar calon legislatif di seluruh daerah pemilihan. Bedanya, dalam sistem proporsional tertutup calon legislatif tidak dicantumkan dalam surat suara sedangkan sistem proporsional terbuka memuat tanda gambar partai politik dan nama calon legislatif pada surat suara.

Sistem proporsional terbuka tidak mengurangi hak partai politik dalam menentukan seleksi calon legislatif dan membuat daftar nomor urut calon legislatif. Meskipun calon legislatif merupakan perseorangan, tetapi tetap bernaung dalam partai politik sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 241 ayat (1) dan (2) UU Pemilu yang menyatakan bahwa partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon legislatif anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota serta seleksi bakal calon dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan atau peraturan internal partai politik peserta pemilu. Sehingga partai politik memiliki kewenangan penuh dalam menentukan seleksi calon legislatif dan membuat daftar nomor urut calon legislatif termasuk menentukan siapa calon legislatif yang layak dipilih yang juga merupakan kader terbaik partai yang telah diseleksi partai.

Berlakunya pasal a quo tidak serta-merta menghalangi hak dan atau kewenangan konstitusional para Pemohon karena para Pemohon tetap mendapatkan pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan tetap dapat melakukan aktivitas sebagai warga negara untuk memilih maupun dipilih dalam pemilu.

Indonesia Di Persimpangan Jalan, Pemilu Proporsional Terbuka Atau Tertutup

Update Catatan, WBN Pers

Aurelius Do’o

 

Share It.....