Musik Tradisi yang Kali Pertama Dicatat di Mandailing dan Angkola

warisan budaya nusantara

Sejarah musik Batak, sejarah yang belum pernah ditulis. Musik Batak modern haruslah dibedakan dengan musik tradisi Batak. Akar musik modern Batak adalah musik tradisi Batak. Oleh karena itu, memahami sejarah musik modern Batak haruslah memulai memahaminya dari musik tradisi Batak. Namun apa itu musik tradisi Batak terdapat kesalahan pemahaman. Kesalahan mendasar adalah melihat musik tradisi Batak dari sudut pandang masa kini. Akibatnya, musik modern Batak dianggap sebagai musik tradisi Batak. Untuk memahami secara tepat musik tradisi Batak haruslah dilihat dari sudut pandang masa lampau. Dengan cara begitu dimungkinkan untuk menjelaskan bagaimana proses evolusi musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik modern Batak. Proses kontiniu inilah sejarah musik Batak.

 

Untuk memahami sejarah musik Batak sejumlah pertanyaan akan membawa kita ke masa lampau. Kapan musik tradisi itu ada? Apa yang menyebabkan musik tradisi Batak terbentuk? Siapa yang memainkan atau menggunakan musik tradisi tersebut? Bagaimana asal-usul (instrumen) musik tradisi Batak itu? Dimana musik tradisi Batak itu bermula? Sejak kapan musik tradisi Batak mulai dicatat? Kapan musik tradisi Batak itu dikenal secara luas? Mengapa musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik modern Batak. Semua pertanyaan itu memerlukan jawaban dan penjelasan. Mari kita lacak!

 

 

Keutamaan musik tradisi Batak, karena memiliki sejarah yang panjang. Musik tradisi Batak mengikuti religi Batak kuno, suatu religi yang terkonstruksi karena adanya pengaruh B­­­­udha dan Hindu (yang dimulai di sekitar percandian Budha/Hindu di Angkola, Mandailing dan Padang Lawas). Gondang dan ogung adalah musik dalam berkomunikasi dengan sang Pencipta. Alat gondang yang dikreasi sendiri dikombinasikan dengan ogung (gong) yang diimpor kemudian dari Tiongkok. Cikal bakal musik tradisi Batak yang berakar pada pengaruh India dan Tiongkok ini berkembang sedemikian rupa dengan masuknya elemen alat musik lainnya dari luar.

 

Musik tradisi Batak bermula di Mandailing dan Angkola. Suatu situs kuno dimana terdapat pengaruh India dan Tiongkok. Musik tradisi Batak kali pertama dicatat di Mandailing dan Angkola. Dalam perkembangannya, musik tradisi Batak di Mandailing dan Angkola mengalami hambatan dengan masuknya pengaruh Islam, namun indiferensi pemerintah kolonial Belanda musik tradisi Batak terus eksis. Orang Belanda terheran-heran, ketika mereka datang tidak menyangka di Mandailing dan Angkola menemukan ensambel-ensambel musik (gondang dan ogung yang dikombinasikan dengan instrumen lain) yang mirip orchest atau band di Eropa–sesuatu yang tidak ditemukan di tempat lain di nusantara (lihat TJ Willer, 1845).. Sementara di tempat lain, di Silindoeng dan Toba para misionaris melarang musik tradisi Batak, tetapi pengikut Sisingamangaradja tetap melestarikannya. Oleh karenanya, musik tradisi Batak dalam kenyataannya tetap eksis di Tanah Batak. Para perantau Batak kemudian membawa musik tradisi Batak ke Batavia (kini Jakarta). Di perantauan, oleh orang-orang Sipirok musik tradisi Batak mengalami transformasi menjadi musik modern Batak. Pada tahun 1937, Karl Halusa, doktor (PhD) dalam bidang musik dari Universitas Wina mengunjungi Tanah Batak unruk mempelajari musik tradisi Batak. Dr. Halusa menemukan sedikitnya ada 40 jenis instrumen musik Batak, baik yang dimainkan laki-laki maupun perempuan (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 23-03-1938). Meski musik modern Batak semakin berkembang di perantauan (Batavia), musik tradisi Batak juga tetap dilestarikan. Grup musik modern Batak pertama di Batavia adalah Sinondang, suatu grup musik orang-orang Sipirok, dimana kemudian Gordon Tobing ikut bergabung.

 

Bagainmana proses evolusi musik tradisi Batak dan bagaimana musik tradisi Batak bertransformasi menjadi musik modern Batak adalah bagian tidak terpisahkan dari sejarah panjang musik Batak. Bagaiman proses-proses itu berlangsung akan dideskripsikan dalam artikel ini. Mari kita telusuri sumber-sumber pada masa lampau.

 

Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

 

Catatan terawal tentang musik tradisi Batak

 

Catatan terawal adanya musik tradisi Batak dilaporkan oleh TJ Willer, Asisten Residen pertama Mandheling en Ankola (1840-1845). TJ Willer dalam bukunya yang terbit tahun 1846 (kata Pengantar TJ Willer, Panjaboengan, Agustus 1845) menceritakan pertama kali melihat musik tradisi Batak dihadirkan ketika ada satu keluarga mengalami musibah yang mana sesepuh mereka meninggal dunia (tidak disebutnya dimana apakah di Mandheling, Angkola atau Pertibie). Kehadiran musik ini disebutnya untuk mengusir begu. Selanjutnya TJ Willer mendeskripsikan musik tradisi tersebut sebagai berikut:

Inskripsi candi Sitopayan di Padang Lawas: Tortor sudah dikenal?

‘Akhirnya muzijk bergabung di sini (dalam suatu kemalangan). Para pemain bermain satu melodi yang tidak menyenangkan yang diiringi oleh (alat perkusi) drum, banyak variasi dalam drum dari segi ukuran ditambah dengan kekuatan gong, untuk membuat suara mengusir roh jahat dan instrumen begitu melengking di udara. Ini kita bisa menyebut satu mandolin Batak yang juga berasal dari instrumen lainnya. (Lebih lanjut Willer menguraikan) perihal instrument musik tradisi Batak tersebut sebagai berikut: Musik instrumental berpusat pada pasangan drum dengan ukuran yang berbeda, yang biasa tergantung di di dalam rumah seorang pamoesoek (radja). Juga tampak gong dan simbal. Sebuah gong besar menjadi bagian dari kekayaan radja. Seroeneh of hobo; rabab of viool (biola), dari nama menunjukkan asal asing; asopi of mandoline, yang terbuat dari wadah kayu, dengan sisi lebar bawah dan sisi sempit ke  atas, leher seperti gitar, di sentuhan dibelah dua dan disediakan sekrup, string kawat, hanya dua jumlahnya, yang dimainkan dengan pena. Dibanding instrumen lain, asopi tampak banyak daya invention dengan kesempurnaan, bahwa alat ini bisa diragukan atau justru alat yang mungkin berasal (asli) Batak. Alat lainnya berupa fluite yang disebut sordam dan oejoep-oejoep; juga gendang boeloe (bamboo), dimana kulit seperti dipotong menjadi string yang dengan kedua ujung tetap melekat pada ujung bamboo yang disangga dengan kayu agar string tegang dan alat itu digunakan dengan tongkat kecil. Musik tersebut mengiringi tarian, dan harus diakui bahwa Batak dengan semangat sejati seni, dimana ras ini cukup piawai paduan suara baik laki-laki maupun perempuan. Mereka kerap terlihat menari oleh lima atau enam gadis-gadis muda yang diantaranya adalah seorang pemuda dengan gerakan pendek. Pertunjukkan mereka sangat jarang terlihat karena memang tidak pernah diadakan dalam upacara publik, sehingga orang Eropa jarang memiliki kesempatan untuk melihatnya. Manortor atau tarian yang bersemangat yang saya tahu paling penuh perhatian dari banyak orang. Gambaran ini seperti tarian yang lama dari Skotlandia, gerakan pendek, sangat cepat dan agak kaku tidak seperti dalam gerakan tarian Jawa maupun Bali. Di dala Batak permainan menghibur dengan pantomim. Saya beberapa kali hadiri ini sudah cukup efektif untuk kepentingan rakyat karena begitu sedikit hiburan yang dimiliki. Namun hal itu perlu dilakukan rehabilitasi agar hiburan di Batak ini cukup tersedia, tapi dengan dominasi penganut agama Mahomedaansche sudah sangat jauh berkurang kegiatan pertunjukannya (lihat’Verzameling der Battahsche Wetten en Instellingeb in Mandheling en Pertibie, Gevolgd van een Overzigt van Land en Volk in die Streken’ door TJ Willer, di dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1846).

 

Orang asing pertama yang sesungguhnya melihat pertunjukan dan mendengar sendiri musik tradisi Batak dipentaskan dan telah mencatatnya adalah Ida Pheiffer. Kesempatan ini tidak terduga, ketika dalam suatu perjalanan ekspedisi dari Padang ke Sibolga tahun 1852, Ida Pheiffer di Padang Sidempuan (tempat terakhir adanya orang Eropa) berubah pikiran dan ingin melihat danau Toba setelah menyimak orang-orang di sekitarnya memberitahu ada danau besar di pegunungan. Hammers yang kala itu menjabat sebagai Controleur Angkola, sempat mencegah karena perjalanan ke danau Toba sangat berbahaya dan kerap terjadi perang antar huta (Hammers sendiri belum pernah ke danau Toba). Namun nona Ida Pheiffer asal Austria yang masih lajang ini bersikeras ingin membuktikan adanya danau besar itu.

 

Pada tanggal 5 September 1852 Ida Pheiffer yang dipandu oleh Dja Pangkat asal Saroematinggi (mantan pemandu terbaik Jung Huhn) berangkat melalui Pargarutan menuju Sipirok. Di sekitar Sipirok, Ida Pheiffer dicegat satu pasukan bersenjata dan lalu membawa Ida Pheiffer kepada Radja. Setelah dilakukan interogasi oleh sang Radja (kebetulan Ida membawa surat dari Hammers untuk ditujukan kepada Radja), Ida Pheiffer dianggap orang baik, lalu radja langsung memerintahkan untuk menyembelih seekor kerbau dan dilakukan pesta penyambutan. Malamnya, Ida Pheiffer dihibur dengan musik tradisi yang diselingi dengan pertunjukan tari (tortor) dan (permainan) pantomin. Kisah Ida Pheiffer yang ditulisnya sendiri pada tanggal 12 Oktober 1852 dimuat pada koran Algemeen Handelsblad, 09-05-1853 di Bataviatelah menambah informasi bahwa musik tradisi Batak terdapat di banyak tempat. Meski Ida Pheiffer tidak mendeskripsikan bagaimana musik tradisi itu dimainkan, deskripsi dari TJ Willer telah dengan sendirinya menjelaskan bagaimana musik tradisi itu dipertujukkan di hadapan Ida Pheiffer.

 

Deskripsi tentang musik tradisi Batak (instrumen) juga dilaporkan oleh controleur Angkola, Mr. Hennij tahun 1866. Di dalam tulisannya yang dimuat di surat kabarSumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 14-03-1868, Mr. Hennij cukup jelas mendeskripsikan instrumen tradisi Batak, dia sendiri tampaknya pernah menyaksikannya dan deskripsinya bisa dibandingkan dengan sekarang. Deskripsi instrument musik tradisi Batak menurut Mr Hennij adalah sebagai berikut:

 

Musik disajikan dengan instrumen dalam bentuk orchest dimana penduduk duduk di tikar. Orkest ini terdiri dari instrumen berikut: taroeni, yang dalam bentuk dan nada yang sesuai banyak dengan hobo; tala ganing, lima drum atau silinder berongga, dari berbagai ukuran, yang terbuat dari kayu dengan membentang kulit kerbau, tetapi sebaiknya dari kulit rusa membentang. Kelima instrumen didirikan di sepanjang kayu, sebuah gendang besar, dua yang lebih kecil kaki panjang gordang dan odap. Selain itu, hasar-hasar, gong yang terletak horizontal di tanah digantung dengan rotan; yang disebut ogoeng oloan,  toko drum dan gong dengan tongkat, tapi yang logam, dipukuli oleh idjoek yang dibungkus menghasilkan berongga suara yang bergetar cukup panjang dan setiap 8 atau 10 detik terdengar; instrumen ini ditangguhkan oleh tali tipis, untuk getarannya sebanyak mungkin agak harus melakukannya tanpa lagi sendiri; yang gunanya ‘panongahi’, sedikit lebih kecil dari sebelumnya dengan banachtig sebuah; terdengar; yang doal dan yang pangora banyak ukuran, yang dikenakan di leher pemain mereka dan yang terdengar delusional bawah ini terjadi pada pelaksanaan oleh penumpangan tangan rusak. Juga. instrumen lain di Batak digunakan, yang bagaimanapun, tidak pernah dimasukkan dalam orchest sering digunakan bahkan untuk mengungkapkan perasaan kekasih, seperti: tordam, suling panjang bambu; toeliela suling bambu, ditiup seperti klarinet dan menghasilkan suara. Namun hasapie untuk serenades cocok, menjadi gitar dengan dua senar, memberikan lembut, suara manis dengan dipetik. Ada juga gong kecil manmongan (tjenangs), yang digunakan dalam perang atau untuk mengumpulkan orang-orang. Perempuan memainkan instrumen ini pernah; hanya diizinkan dirinya sendiri dengan saga saga (kecapi Yahudi) instrumen sesuai  gingong baja Melayu. Tapi kami belok berlangsung kembali kepada kami orchest yang reods, dan bergerak dalam kinerja sebuah overture. Melodi yang monoton ditunjukkan dengan saroene, sedangkan instrumen lain ikut menyertai. Jika pembukaan selalu memainkan somla melodi tomba pada kecepatan yang moderat. Setiap roh memiliki melodi tetap, yang ia disebut. Pada kesempatan ini kami selalu mendengar Gondang Batara, Gondang Soripada dan Gondang Jcngala Boelan. Selain itu, ada beberapa kasus melodi untuk ‘api’ bagi prajurit dalam perang.

 

Musik tradisi Batak digunakan untuk berbagai tujuan

 

Orang-orang asing (Eropa / Belanda) jarang mendapat kesempatan untuk melihat pertunjukkan musik tradisi Batak. Apakah karena pentas music tradisi jarang dilakukan (karena dilangsungkan untuk upacara khusus?) atau memang orang-orang Eropa / Belanda tidak terlalu memperhatikannya (karena musik tradisi Batak bukan untuk hiburan publik?). Namun diantara orang asing (Eropa/Belanda) masih terdapat beberapa yang cukup jeli untuk memperhatikannya. Meski hanya beberapa orang asing, tetapi kenyataannya mereka telah dengan sendiri telah mengabadikan dan memberi bukti otentik adanya musik tradisi di Tanah Batak sejak doeloe.

Alat musik tradisi Batak yang dicatat TJ Willer (1845) dan WA Hennij (1858)

TJ Willer telah mencatat bahwa musik tradisi Batak juga menjadi bagian dari prosesi pemakaman. Musik tradisi dihadirkan untuk mengusir begu selama prosesi menuju pemakaman. TJ Willer juga melaporkan musik tradisi juga dipentaskan untuk tujuan hiburan rakyat tetapi pada intinya dikaitkan dengan pesta (hordja). Dengan kata lain, musik tradisi hadir karena kebutuhan upacara. Dalam hal ini musik tradisi yang dimaksud adalah ansembel musik dengan intrumen utama perkusi (taganing/gordang) yang satu set dengan berbagai ukuran dan gong utama (ogung) yang menjadi milik radja.Untuk keperluan music untuk rakyat banyak dapat membuat sendiri yang jenisnya berbagai macam seperti ojoep-ojoep, asapi, toelila dan lain sebagainya.

 

Namun demikian, musik tradisi Batak juga dikompilasi menjadi satu ansembel music (band atau orchest) untuk tujuan hiburan pada waktu tertentu seperti mensukuri hasil panen dan kegiatan-kegiatan lainnya, seperti penyambutan tamu khusus (orang asing) yang pernah dialami oleh Ida Pheiffer. Instrument-instrument musik tradisi itu sendiri boleh jadi awalnya digunakan untuk berbagai tujuan spesifik, seperti ogung untuk memanggil atau mengumpulkan masyarakat atau gong kecil (tjenang) untuk menyemangati dalam perang (pada tahun 1970an ogung masih digunakan sebagai penanda waktu untuk sholat zhuhur dan asyar di mesjid raya lama Padang Sidempuan).

 

Kisah bagaimana beberapa instrument digunakan dilaporkan oleh Charles Miller tahun 1772 saat berkunjung ke Angkola. Orang Eropa pertama yang memasuki Tanah Batak ini di Hutarimbaru Miller saat memasuki perkampungan dia diarak oleh pasukan bersenjata menuju rumah (istana) Radja dengan tembakan ke udara dan dentuman ogung yang dipukul (untuk menunjukkan adanya suatu peristiwa penting). Ini mengindikasikan bahwa ogung (bagian instrument music tradisi) juga digunakan untuk situasi yang genting atau penting sebagai peringatan bagi semua penduduk (Catatan Charles Miller ini dikutip oleh William Marsden dalam bukunya The History of Sumatra, 1811).

 

Introduksi musik barat di Tanah Batak

 

Pada saat musik tradisi masih dipertunjukkan secara luas di Tanah Batak, musik yang berasal dari Eropa mulai diperkenalkan. Pada tahun 1890 di Sipirok terdapat satu grup musik yang instrumennya terdiri dari alat-alat musik tiup, seperti terompet, trombone horn, tuba horn, mellopone, dan sebagainya. Berbagai alat musik tiup ini dimainkan oleh anak-anak Sipirok. Tidak diketahui secara pasti siapa yang menjadi sponsor pembentukan grup musik ini. Tetapi diduga ada kaitannya dengan tujuan misi untuk mengeliminasi keberadaan musik tradisi Batak yang dari sudut pandang gereja, musik tradisi Batak dianggap berasosiasi dengan pemujaaan dalam kepercayaan lama.

 

Di Padang Sidempuan, sudah sejak lama pula terdapat grup musik yang kerap manggung di sebuah café milik orang Eropa. Café tersebut bernama cafe Biljart milik Marczak. Kehadiran grup musik ini lebih ditujukan untuk orang-orang Eropa dan orang-orang terpandang di dalam kota. Sejak ibukota afdeeling Mandheling en Ankola pindah ke Padang Sidempuan tahun 1870, kota ini berkembang pesat dan semakin hidup. Orang-orang Eropa yang bertugas di Sibolga, Sipirok, Mandailing dan Angkola pada waktu senggang datang berkunjung ke Padang Sidempuan utamanya untuk mendapatkan hiburan. Kota Padang Sidempuan menjadi satu-satunya kota buat orang-orang Eropa di Tapanoeli. Apalagi di kota ini sudah ada pesanggrahan, post en telegraf, kweekschool (sekolah guru pribumi) dan sekolah Eropa (sekolah untuk anak-anak orang Eropa).

Ketika Medan, masih kampung; Padang Sidempuan, sudah kota

Pada tahun-tahun kehidupan musik barat di Padang Sidempuan (sekitar 1900), di Medan juga terdapat satu grup musik pop barat namanya Manillaband (awalnya berkiprah di Penang). Grup musik ini kerap manggung di hotel-hotel yang terdapat di Medan utamanya Hotel de Boer dan Medan Hotel. Grup musik ini juga kerap diundang oleh club social untuk meramaikan pasar malam di Medan dan Bindjai terutama setelah usai perhelatan sepakbola (antara Medan Sportclub orang-orang Belanda dan Langkat sportclub orang-orang Inggris). Kota-kota di Nederlandsch Indie yang memiliki grup musik pop barat hanya beberapa: selain Padang Sidempuan dan Medan juga terdapat di Batavia, Semarang dan Soerabaija, satu kota di pedalaman Jawa, dan di kota Sawahloento yang terkenal dengan tambangnya di Ombilin (di kota Padang sendiri tampaknya tidak terdeteksi adanya grup musik pop barat).

Meski demikian adanya, musik tradisi Batak masih digemari oleh penduduk. Dengan kata lain musik tradisi Batak hidup berdampingan dengan musik pop barat.Sementara itu, cafe Biljart di Padang Sidempuan menjadi semacam pusat interaksi anak-anak Batak memahami dan belajar musik pop barat. Pengaruh musik barat ke dalam musik tradisi Batak boleh jadi dimulai dari kota Padang Sidempuan. Keberadaan café Biljart dan grup musiknya menjadi terkenal ketika Dja Endar Moeda setelah sukses di rantau, teringat kampung halaman di Padang Sidempuan.

Tortor muda-mudi Padang Sidempuan di Medan, 5 Juni 1970

Koran Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 01-05-1900: ‘pada bulan Maret aktor terkenal koran Pertja Barat di Padang bersama anak dan istri telah datang ke sini (Padang Sidempuan). Pada tanggal 24 Maret, Dja Endar Moeda telah mengundang teman-temannya untuk sebuah reuni di Cafe Biljart milik Marczak. Banyak yang hadir, selain rekan-rekannya juga para abtenaar dan pejabat pemerintah. Di pintu Cafe terpampang ucapan sukacita dalam dua bahasa: “Selamat Dja Endar Moeda anak istri’ / ‘Leve Dja Endar Moeda en familie”. Tentu saja hadir koeriahoofd dari Batoe-na-Doewa, Losoeng Batoe dan Si-Mapil-Apil dan Hoofd-Djaksa van Sibolga. Acara dibuka, Dja Endar Moeda memberi kata sambutan, kemudian kembang api dinyalakan, lalu diikuti musik akordion, biola dan tamborin. Lalu kemudian dilanjutkan dengan hidangan. Acara yang dimulai pukul 8.30 malam berakhir tidak lama setelah pukul 9.30. Para tamu pulang dengan puas. Lantas pada tanggal 31 Maret, koeriahoofd Batoe-na Doewa, Pertoewan Soripada mengundang Dja Endar Moeda dengan horja dengan margondang dengan gondang Batak. Banyak pejabat pemerintah yang diundang. Di sela-sela acara itu, Dja Endar Moeda diajak oleh kepala koeria berburu rusa ke arah Sipirok. Hari berikutnya 1 April, Dja Endar Moeda menghadiri pesta rakyat yang diselenggarakan oleh kepala koeria dengan ‘manyambol horbo’ untuk menyambut kedatangannya di Padang Sidempuan dengan karangan bunga, acara manortor, lalu pukul satu siang dihidangkan makanan dan minuman yang melimpah’.

 

Kota Padang Sidempuan dan kota Sipirok di pedalaman Tanah Batak merupakan dua kota yang tercatat paling awal menerima musik barat sebagai bagian dari kehidupan sosial. Meski demikian musik tradisi Batak masih terus dilestarikan pada upacara-upacara khusus baik di Padang Sidempuan maupun di Sipirok. Satu kota lagi di pedalaman Tanah Batak yang memiliki ruang untuk musik barat adalah kota Batang Toru (pusat industri perkebunan di Tapanoeli). Disebut demikian, karena pada tahun 1919 sebuah grup musik mancanegara tengah berkeliling Nederlandsch Indie, termasuk tiga kota di Tapanoeli yang mendapat kesempatan dikunjungi, yakni: Padang Sidempuan, Batang Toru dan Sibolga.

Kutipan * Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe

akhirmh.blogspot.com/2016/03/sejarah-musik-batak-musik-tradisi-yang.html

Publikasi Red-Wbn Hs

 

 

Share It.....