Zaman dulu, tradisi mengunyah daun sirih seakan wajib hukumnya. Terutama bagi kaum hawa. Anda mungkin pernah menjumpai para nyonya senior bercengkerama sambil melumat daun sirih dan gambir. Masing-masing dari mereka memiliki satu kotak khusus sebagai tempat penyimpanan alat nginang. Sebagian orang menyebut kotak penyimpanan ini sebagai tepak sirih.
Sempat orang menganggap bahwa tradisi ini berasal dari India, yakni berdasarkan cerita sastra dan sejarah lisan. Namun bila dilihat dari catatan perjalanan Marcopolo, kemungkinan besar tradisi ini berasal dari kepulauan Indonesia. Hal ini didukung oleh pernyataan dua orang penjelajah lain, yakni Ibnu Batuta dan Vasco Da Gama.
Budaya nginang tersebar antara lain di Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Papua. Baru belakangan tradisi ini perlahan ditinggalkan, karena orang makin enggan dengan efek memerahnya air liur yang disebabkan kebiasaan nginang. Jorok, pikir mereka. Terlebih lagi, lambat laun budaya nginang ini digusur oleh kebiasaan baru menyesap rokok.
Tradisi Nginang, Benarkah Menguatkan Gigi?
Kakek nenek kita kerap mengatakan, bahwa kebiasaan nyusur bisa menjadikan gigi dan gusi semakin kuat. Serta menghilangkan bau mulut yang tidak sedap. Memang, daun sirih terbukti mengandung senyawa yang ampuh membunuh bakteri. Sehingga bisa jadi inilah alasan mengapa mereka yang terbiasa nginang cenderung tidak pernah keropos giginya, bahkan sampai tua sekalipun.
Dalam ramuan nginang juga ada tembakau, yang merupakan bahan pembuatan rokok. Namun ternyata resiko kesehatan yang ditimbulkan cenderung lebih kecil. Tidak separah resiko yang mesti dihadapi para perokok.
Terlebih lagi, dampak negatif nginang hanya dirasakan oleh mereka yang memang melakukan aktifitas tersebut. Beda dari rokok, yang tetap memberikan efek buruk sekalipun Anda tidak pernah menghisapnya. Perokok pasif, istilahnya. Ikut menanggung resiko hanya karena kita berbagi ruang dengan para perokok aktif.
Penulis by Al-ghofur Rifda