
Media Warisan Budaya Nusantara
Pengacara Hukum Persekutuan Masyarakat Adat Kawa di Kabupaten Nagekeo NTT, Petrus Selestinus, SH mengungkapkan salah satu bidikan hukum dalam mengurai benang kusut tarik ulur realisasi hak Masyarakat Adat Suku Kawa untuk nomor bidang tanah 493 dan 496 dari Penetapan Lokasi I, yakni membongkar pemain nakal beserta dugaan tanda tangan palsu.
“Kami menduga serius, ada pemain nakal yang coba menelikung kesepakatan resmi antara Masyarakat Adat Kawa dan Suku Redu, Isa, Gaja, atas dua nomor bidang tanah, nomor 493 dan 496 Penlok I Proyek Strategis Nasional Bendungan Mbay Lambo”, kata Petrus Selestinus, SH.
Penegasan tersebut diungkap Petrus Selestinus kepada wartawan di Mbay, usai menemui Kepala Badan Pertanahan Nagekeo, Zainal Abidin, pada Kamis (12/6/2025).
Pengacara kawakan Petrus Selestinus, yang juga selaku Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), menegaskan keabsahan kesepakatan awal bagi hasil 60% untuk hak Masyarakat Adat Kawa, selanjutnya 40% Hak Suku Redu, Isa dan Gaja, tidak gugur oleh dading atau kesepakatan perjanjian damai dua tahun berikutnya, yang digelar secara sepihak, tidak melibatkan Persekutuan Masyarakat Adat Kawa sebagai subyek hukum dari perjanjian kesepakatan awal.
“Polemik nomor bidang tanah 493 dan 496 dari Penlok I PSN Bendungan Mbay Lambo, sebenarnya sudah melalui mekanisme Kesepakatan Bagi Hasil antara para pihak, yakni Masyarakat Adat Kawa dan Perwakilan Masyarakat Adat Redu, Isa, Gaja. Kesepakatan dibuat pada tahun 2021, tertera dalam Berita Acara Resmi di Meja Pemerintah Daerah Nagekeo, disaksikan para pihak, juga TNI Polri, tanpa paksaan. Yang isinya telah bersepakat 60% Hak Masyarakat Adat Kawa, 40% hak Redu Isa dan Gaja”, jelas Petrus Selestinus, SH (12/6).
Dia menjelaskan, Berita Acara Kesepakatan Tahun 2021, Perwakilan Masyarakat Adat Suku Redu, Isa dan Gaja atas nama Leonardus Suru, Gabriel Bedi, Gaspar Sugi, Tadeus Betu, dan Kristoforus Lado, secara resmi dan terang benderang menyatakan pengakuan mereka atas kedudukan dan hak Masyarakat Adat Kawa.
“Namun kemudian pada tahun 2023 muncul Kesepakatan Perjanjian Damai dengan tidak melibatkan Masyarakat Adat Suku Kawa. Isi perjanjian damai antara mereka secara sepihak tersebut menyatakan mencabut kesepakatan awal yang telah dibuat pada tahun 2021. Ini yang namanya menelikung sepihak”, tegasnya.
“Dalam surat perjanjian damai itu kami mendalami dan menduga ada praktek pemalsuan tanda tangan. Tim Hukum akan coba membongkar dugaan praktek nakal, pemalsuan tanda tangan. Ini potensial pidana”, kata Selestinus.
Diketahui, Persekutuan Masyarakat Adat Suku Kawa dalam lembaran PSN Bendungan Mbay Lambo, merupakan suku pelopor, yang bersuara keras, menyatakan menerima kehadiran Bendungan Mbay Lambo.
Suku Kawa bahkan menyurati Presiden Republik Indonesia, menyatakan dukungan dan penerimaan mereka agar Bendungan Mbay Lambo harus diwujudkan di Kabupaten Nagekeo.
Sikap kepeloporan Suku Kawa pada masa itu justeru dilawan keras oleh sejumlah suku adat lainnya yang menolak PSN Bendungan Mbay Lambo.
“Suku Kawa menyatakan menerima PSN Bendungan Mbay Lambo di tengah penolakan keras pada masa itu, namun kemudian sejumlah titik lokasi lahan ulayat milik Suku Kawa, justeru hendak disabotase pihak-pihak berkepentingan, ketika PSN Bendungan Mbay Lambo, berhasil didaratkan di wilayah Kabupaten Nagekeo Pulau Flores. Kami mengutuk keras siapa pun pelakunya. Sungguh memalukan”, kata Tokoh Adat Suku Kawa, Urbanus Papu kepada wartawan, di depan Kantor Badan Pertanahan Nagekeo di Mbay, pada Kamis (12/6).
Kepada wartawan, Pengacara Hukum Masyarakat Adat Kawa, Petrus Sekestinus menginformasikan bahwa pertemuan dengan Kepala BPN Mbay dalam agenda mendukung percepatan dan progres PSN Mbay Lambo dengan mendorong realisasi hak-hak Masyarakat Adat yang tanahnya sudah dipakai dan tengah dikerjakan.
“Kesepakatan 60% dan 40% jangan terus menerus ditelikung. Permainan nakal, kita bongkar itu”, tutupnya.
WBN