WBN l NTT – Nagekeo, Kampung adat Kawa di tengah pembangunan Waduk Mbay-Lambo terisolir dan dilupakan hak hak atas tanah yang menjadi dampak dari pembangunan waduk tersebut, Kamis(16/9).
Tiga rangkaian Suku yakni Suku Labo, Suku Lele, dan Suku Kawa yang tanah ulayatnya menjadi sentral dari pembangunan waduk Lambo, kini mulai buka suara setelah terpasangnya papan Plang Kegiatan Pembangunan Proyek Waduk Mbay-Lambo tersebut.
Sebelumnya diberitakan media ini, “Dianggarkan 1,6 T Waduk Mbay-Lambo Siap Dibangun”, Pemerintah Nagekeo Melalui Camat Aesesa Lakukan Pemasangan Plang Proyek Waduk Mbay-Lambo”. Pemasangan papan plang pengumuman proyek sendiri bermanfaat untuk menyampaikan informasi mengenai item item pekerjaan serta membuat masyarakat mengetahui realisasi anggaran, volume, sumber dana dan batas waktu pelaksanaan proyek, termasuk lembaga pemerintah pemilik proyek.
Bertempat di Kampung Kawa, tiga Suku tersebut duduk berembuk untuk menyatukan pendapat, menuntut hak atas tanah ulayat mereka. Bahwa sampai saat ini belum ada kesepakatan soal harga ganti rugi atas tanah mereka yang menjadi dampak dari proyek waduk tersebut. Sedangkan aktifitas kegiatan proyek terus berjalan.
Ketiga Suku tersebut mengutarakan bahwa mereka sangat mendukung program pemerintah tentang pembangunan waduk Lambo, namun yang menjadi persoalan bahwa hak hak adat mereka dilupakan atau diabaikan.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Klemens Lay (Emen) selaku turunan lurus Ketua Adat Suku Kawa mewakili “Ana Woso Ebu Kapa” menyampaikan, Negara harus mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak mereka sebagai masyarakat adat sesuai amanat undang-undang, bukan melecehkan atau melupakan hak-hak masyarakat adat, tanah ulayat kami yang menjadi dampak dari pembangunan waduk tersebut.
Lebih Lanjut Emen menuturkan berbagai cara telah dilakukan yaitu dengan cara pendekatan dan bersurat namun karena keterbatasan, semuanya tidak dihiraukan pemerintah. Oleh karena itu kami masyarakat meminta pendampingan bantuan Hukum kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nurani untuk membantu menyuarakan aspirasi kami atas hak-hak kami yang terabaikan atau terlupakan. Hari ini kamis 16/9/2021 kami masyarakat Adat Labo, Lele, dan Kawa memberikan Surat kuasa Kepada LBH Nurani untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan dari kami masyarakat adat.
komitmen kami sudah pasti mendukukung pembangunan Waduk Lambo, namun tentunya waduk tersebut dibangun di atas tanah ulayat kami Suku Kawa. Kami masyarakat adat Suku Kawa merasa segala kegiatan cacat prosedural, mengacu pada PP 19 tahun 2021 tentang pengadaan tanah, kenapa kami masyarakat adat Kawa tidak dilibatkan dalam identifikasi lahan dan pengukuran lahan yang terkena dampak dari pembangunan waduk Lambo tersebut. Padahal Pemerintah tahu betul keberadaan tanah ulayat suku Kawa ada pranata-pranta sosial, kearifan lokal dan sistem kepercayaan yang ada sampai hari ini, kenapa kami masyarakat adat Kawa diabaikan atau dilupakan dari proses tersebut. Hal ini dapat dinilai prinsip pembangunan berdasarkan partisipasi tidak terjadi, “tutur Emen.
Selanjutnya Pada tagal 7 April kami melakukan keberatan karena hak kami tidak terakomodir secara baik, kurang dari 14 hari kami mengirim surat keberatan secara prosedural, kami memberithaukan kepada Pemerintah kepada Negara kenapa titik-titik yang menjadi dampak dari pembangunan waduk tidak terdaftar dalam “Ganti Rugi” yang kami suarakan, “ pungkasnya.
Adapun kesepakatan antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan kami Suku Kawa termuat dalam berita acara yaitu, Pertanahan meminta suku Kawa menunjukan titik titik itu dan pihak pertanahanan akan turun ke lokasi termasuk Kepala pertanahan, pihak Kepolisian dan seluruh masyarakat adat Kampung Kawa, untuk bersama-sama turun ke lokasi dan menunjukan 9 titik (Lowo Rawa, Ianudha, Wolokota, Rogalobo, Ratekolo, Tabaraga, Lebekora, Lebinunu dan Teo Go) semuanya itu difoto dan dividiokan sebagai bukti bahwa pernah turun kelokasi yang menjadi ulayat dari Kampung Kawa.
Kampung Kawa juga mengucapkan terima kasih melalui tim mediasi Camat Aesesa dan Kasat Intel Polres Nagekeo pada tanggal 25 Agustus sehingga melahirkan berita acara bahwa Nakarobho mengakui bahwa Lowo Toro hak ulayat Kampung Kawa di Doko Togo sehingga kisruh dua kampung tersebut final artinya persoalan interen kedua kampung telah selesai. Berjalannya waktu, diduga telah teken kontrak dan belum clear naiklah tim BWS bersama tim Aprasial ke Kampung Kawa lebih tepatnya di Sa’o Radawona sebagai Sa’o Teka tana ria watu (Bahasa Daerah setempat). Maksud kedatangan tim tersebut untuk silaturahim dan rencana pembangunan beskem. Dalam kebersamaan tersebut terjadilah diskusi, masyarakat Kampung Kawa melayangkan pertanyaan mengenai berita acara dan dokumen dokumen lain yang dikirim ke tim BWS dan Aprasial apakah sudah dikantongi atau belum? Namun tim BWS dan Aprasial menjawab bahwa mereka belum terima dan masih mengatongi data lama sehingga timbul pertanyaan masyarakat tehenti dimana? berita acara dan dokumen yang dikirim, “ jelas Emen.
Secara keseluruhan masyarakat Kawa Proaktif memberikan keberatan, kasi data berita acara, mediasi dan klarifikasi namun rupanya semangat dan etikad baik masyarakat Kampung Kawa dianggap angin lalu. Sehingga masyarakat beranggapan banyak proses yang terlewatkan atau dengan sengaja dihilangkan. Karena upaya-upaya baik tidak diakomodir, masyarakat Kampung Kawa mencari jalan, bangun Komunikasi dengan Lembaga LBH Nurani untuk mengadvokasi persoalan-persoalan kepada pihak-pihak yang berkompotensi, sehingga keluhan-keluhan akan hak-hak mereka bisa di dengar atau bisa terjawab. Negara atau Pemerintah harus mengingat satu hal bahwa kami tiga Suku yakni Suku Labo, Suku Lele dan Suku Kawa dengan hati putih mendukung adanya pembangunan Waduk Lambo, namun prosesnya yang kami sesali karena cacat prosedural. Kami masyarakat adat tidak menolak, tetapi kami menuntut hak-hak tanah kami yang menjadi dampak dari pembangunan waduk tersebut. Karena sampai sekarang belum ada putusan dan kesepakatan mengenai Ganti Rugi atas lahan kami yang terkena dampak, “ tutup Emen. Rept l Wil Wu No l