Surat Cinta Hardiknas Dari SDK Watunggere, Ende Flores

Secuil Catatan, Oleh : Aurelius Do’o

Zaman doeloe memang beda dengan zaman now. Namun, bangsa yang besar, baiknya jangan sekalipun lupakan sejarah.

Saya teringat saat duduk di bangku Sekolah Dasar, Sekolah Dasar Katolik  Watunggere, Kecamatan Maurole Kabupaten Ende, Flores. Namun, sejak pemekaran Kecamatan Maurole dan Detukeli berdiri otonom, SDK Watunggere hingga kini dan seterusnya berada dalam teritorial Kecamatan Detukeli.

Menengok satu sejarah kecil saat duduk di bangku SDK Watunggere.

Seperti sekolah-sekolah lain, SDK Watunggere mempunyai para Guru, Bapak Guru dan Ibu Guru. Salah satu diantaranya bernama Guru Ambrosius Doa (Almarhum).

Ya – seperti Bapak Ibu Guru lainnya, Bapak Guru Ambros Doa juga dikenal sebagai seorang guru berkharisma tinggi. Dia dikenal sebagai pribadi pekerja keras, cerdas, bersahaja, baik hati, hebat mengajar, sangat disiplin, dst.

Guru Ambros Doa menangani mata pelajaran mulai dari ilmu berhitung sampai ilmu- ilmu sosial.

Semuanya diajarinya, dipersembahkan bagi anak didik, siswa-siswi dengan menerapkan pola pengajaran yang sungguh hebat dan penuh dengan penguasaan ilmu.

Diantara sekian banyak kelebihan yang dimilikinya, Bapak Guru Ambros Doa juga diketahui sebagai seorang pekerja kebun yang sangat ulet.

Ya, Guru hebat, di sekolah maupun luar sekolah, gembala yang luar biasa ini siapa sangka ternyata berangkat dari riwayat pendidikannya hanya Kelas 5 Sekolah Rakyat (SR), zaman itu. SR adalah tingkatan pendidikan setara Sekolah Dasar.

Namun Sekolah Rakyat ternyata tidak hanya tentang sekolah, ataupun tentang tingkatannya yang setara Sekolah Dasar. Sebaliknya, berangkat dari titik itu, bisa menjadi Guru Sekolah Dasar (SD) yang sungguh cemerlang.

Guru Ambrosius Doa tidak hanya mampu menjadi guru pengajar murid kelas I SD semata, atau yang hanya bertugas untuk mengajar “Ini Budi, Itu Wati, ini Bapak Budi, Ini Ibu Budi, tetapi mengajar hingga Kelas VI SD.

Ia menguasai semua mata pelajaran, pandai membawakan suasana dalam ilmu psikologis anak didik, agar cepat menangkap ilmu mata pelajaran, jago menulis huruf tegak bulat hingga huruf tali, dan seterusnya.

Guru Ambros juga mengantar murid-muridnya sampai tamat Kelas VI sekolah dasar. Bahkan, sempat mengajar beberapa saat untuk pelajar kelas I tingkat SLTP, bernama SMPK Marilonga. Lio Utara, Kabupaten Ende, zaman itu.

Ya, zaman doeloe memang beda. Sebaliknya, saat ini atau zaman now, kita menemukan sendiri betapa banyaknya kecaman sosial dimana-mana.

Kecaman terhadap gelar pendidikan yang tinggi tetapi bukan lagi menjadi jaminan mutu pribadi. Demikian juga dengan nama-nama besar sekolah ataupun universitas tidak lagi memberi garansi.

Tidak hanya soal ilmu pengetahuan, tetapi budi pekerti, toto kromo atau tata krama dan berbagai catatan lainnya, seolah menampar keras wajah negeri kita.

Garansi ilmu, garansi nilai, garansi mutu,dari produk sekolah seolah menjadi barang antik, mungkin di-korup gegap gempita zaman now.

Bapak Guru Ambros Doa di atas mungkin turut geleng kepala, walau telah di alam baka.

Hormat, Salam Cinta dan Terimakasih Bapak/Ibu Guru dan Kepala Sekolah, dari kami semua, Siswa Siswi SDK Watunggere.

Selebihnya, saya jadi ingat kalimat Bung Rocky Gerung berbunyi Sekolah menunjukan manusia bisa memiliki Ijazah, tetapi tidak lagi menjamin anda ber-ilmu. Ijazah Yes, Ilmu sabar dulu, atau bisa juga hampa, ruang kosong

Hari ini, Bangsa Indonesia merayakan Hardiknas  atau Ulang Tahun Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei.

Dengan sepotong story ini saya tertarik mengatakan sesuatu, semoga melalui HARDIKNAS tahun 2023 Kita Tingkatkan Kesadaran Menciptakan Keberimbangan Soft Skill dan Hard Skill bersama Pendidikan di Indonesia.

Penulis : Aurelius Do’o, tamatan SDK Watunggere, Kabupaten Ende, NTT. Jurnalis,. Pemimpin Redaksi Pers Warisan Budaya Nusantara, Cabang Provinsi NTT, Tim Redaktur Pelaksana dan Editor Pers Warisan Budaya Nusantara, NKRI.

 

Share It.....