Refeksi Harapan dan Iman Kebangkitan Sekolah GMIT Di Kabupaten Sabu Raijua

Oleh : Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru (Pendeta GMIT)

Dokumen ini menyajikan refleksi teologi kritis mengenai kebangkitan institusi pendidikan GMIT di Kabupaten Sabu Raijua dengan menggunakan kerangka dialektika Hegelian melalui tesis,antitesis, dan sintesis.

Dengan berpijak pada narasi perjumpaan Yesus dan Tomas dalam Yohanes 20:24-29, refleksi ini mengeksplorasi dinamika antara harapan ideal dan realitas tantangan yang dihadapi, serta menawarkan jalan sintesis untuk kebangkitan sekolah GMIT.

Melalui pendekatan teologis yang dialogis, dokumen ini bertujuan untuk menginspirasi transformasi pendidikan Kristen yang relevan dan berdaya di konteks lokal Sabu Raijua.

I. KERANGKA DIALEKTIKA: TESIS, ANTITESIS, SINTESIS

Kerangka dialektika Hegelian merupakan pendekatan filosofis yang dikembangkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel, yang memandang perkembangan pengetahuan dan realitas sebagai proses dinamis melalui tiga tahapan: tesis, antitesis, dan sintesis.

Dalam konteks iman, pendekatan ini menawarkan jalan untuk memahami ketegangan antara keyakinan ideal dan realitas yang sering bertentangan, khususnya dalam pengalaman komunitas beriman.

Tesis dalam konteks ini merepresentasikan posisi atau pandangan awal yang diyakini sebagai kebenaran — pandangan ideal tentang bagaimana iman seharusnya bekerja dalam institusi pendidikan Kristen.

Antitesis hadir sebagai negasi atau tantangan terhadap tesis tersebut, mewakili realitas yang seringkali bertentangan dengan idealisme. Sementara sintesis muncul sebagai penyatuan yang lebih tinggi, mengintegrasikan unsur-unsur tesis dan antitesis dalam pemahaman baru yang lebih komprehensif dan transformatif.

Dalam konteks transformasi sosial dan keagamaan, dialektika memainkan peran penting sebagai mekanisme perubahan dan pembaruan. Pergumulan antara tesis dan antitesis menciptakan ruang bagi lahirnya pemahaman baru yang lebih kaya dan kompleks.

Pendekatan ini sangat relevan dalam upaya pembaruan pendidikan Kristen, khususnya di wilayah dengan tantangan geografis dan sosio-ekonomi seperti Sabu Raijua.

Penggunaan kerangka dialektika dalam refleksi teologis memungkinkan kita untuk tidak terjebak dalam idealisme kosong maupun pesimisme realitas, melainkan bergerak menuju sintesis yang memberdayakan.

Dinamika ini mencerminkan perjalanan iman yang autentik — tidak statis, melainkan terus bertumbuh melalui pergumulan dengan keraguan dan tantangan, seperti yang dialami Tomas dalam perjumpaannya dengan Yesus yang bangkit.

II. NARASI ALKITABIAH: YESUS DAN TOMAS (YOHANES 20:24-29).

Narasi perjumpaan Yesus dan Tomas dalam Injil Yohanes 20:24-29 merupakan kisah yang kaya akan dimensi teologis mengenai iman, keraguan, dan transformasi. Kisah ini terjadi setelah kebangkitan Yesus, ketika Ia menampakkan diri kepada para murid.

Tomas, salah satu dari dua belas murid, tidak hadir saat Yesus pertama kali menampakkan diri. Ketika murid-murid lain bersaksi bahwa mereka telah melihat Tuhan, Tomas menanggapi dengan keraguan yang tegas: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan memasukkan jariku kedalam bekas paku itu dan memasukkan tanganku kedalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.”

Delapan hari kemudian, Yesus menampakkan diri kembali, kali ini dengan kehadiran Tomas. Dengan kasih dan pengertian, Yesus mempersilakan Tomas untuk menyentuh bekas luka-Nya: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkanlah ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah.”

Respons Tomas adalah pengakuan iman yang mendalam: “Ya Tuhanku dan Allahku!” .Yesus kemudian memberikan berkat khusus bagi mereka yang percaya tanpa melihat: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.”

Posisi Yesus dalam narasi ini menjadi sintesis yang mempertemukan iman komunal para murid dengan keraguan individual Tomas. Yesus tidak menghakimi keraguan Tomas, melainkan menghadirkan diri-Nya sebagai jawaban atas pergumulan tersebut.

Ia membuka ruang bagi Tomas untuk mengalami sendiri kebenaran kebangkitan, sekaligus mengarahkannya pada dimensi iman yang melampaui pembuktian fisik.

Kisah ini menawarkan paradigma berharga bagi kebangkitan sekolah GMIT di Sabu Raijua. Seperti Tomas, komunitas pendidikan GMIT juga menghadapi ketegangan antara iman ideal dan realitas yang menghasilkan keraguan. Perjumpaan transformatif dengan Kristus yang bangkit menawarkan sintesis yang membawa pembaharuan harapan dan iman, membuka jalan bagi kebangkitan institusi pendidikan di tengah berbagai tantangan.

III. TESIS: HARAPAN DAN IMAN KOMUNAL DALAM SEKOLAH GMIT

Tesis tentang pendidikan Kristen di sekolah GMIT Sabu Raijua berakar pada pandangan ideal tentang sekolah sebagai lembaga transformatif yang menjadi perpanjangan misi gereja dalam membentuk generasi beriman dan berpengetahuan.

Secara teologis, sekolah GMIT diharapkan menjadi ruang dimana nilai-nilai Injil tidak hanya diajarkan tetapi juga dihidupi, menciptakan komunitas pembelajaran yang holistic–memadukan pengembangan spiritual, intelektual, dan sosial.

Fondasi teologis sekolah GMIT terletak pada konsep kebangkitan dan transformasi –aspek sentral dari narasi Paskah. Sebagaimana Kristus bangkit dan membawa pembaharuan, pendidikan Kristen diyakini memiliki daya transformatif untuk membangkitkan potensi setiap anak didik dan komunitas sekitarnya.

Iman akan kebangkitan menjadi landasan harapan bahwa perubahan positif selalu mungkin, bahkan di tengah keterbatasan sumber daya dan tantangan geografis Sabu Raijua. Dimensi komunal dalam iman Kristen menjadi elemen penting dalam tesis ini.

Sekolah GMIT diimajinasikan sebagai komunitas iman yang saling mendukung dan menguatkan–tempat dimana guru, siswa, orangtua, dan jemaat bersama-sama membangun visi pendidikan yang transformatif. Nilai-nilai seperti keadilan, belas kasih, kesetaraan, dan penghargaan terhadap kearifan lokal diharapkan menjadi ciri khas yang membedakan sekolah GMIT dari lembaga pendidikan lainnya.

Secara pragmatis, tesis ini memandang sekolah GMIT sebagai pusat pemberdayaan masyarakat dan pelestarian budaya. Di tengah arus globalisasi dan perubahan sosial yang cepat, sekolah GMIT diharapkan menjadi benteng yang menjaga nilai-nilai kultural positif sekaligus membuka wawasan global bagi siswa di Sabu Raijua.

Imajinasi akan sekolah GMIT sebagai pusat perubahan mencakup visi tentang lulusan yang tidak hanya sukses secara akademis tetapi juga memiliki integritas karakter, kepekaan sosial, dan komitmen untuk berkontribusi positif bagi masyarakat.

Harapan komunal ini menjadi kekuatan pendorong bagi eksistensi sekolah GMIT di tengah berbagai tantangan. Seperti iman para murid yang telah bertemu dengan Yesus, tesis ini membawa keyakinan bahwa pendidikan Kristen memiliki peran vital dalam membentuk masa depan masyarakat Sabu Raijua yang lebih baik dan berkeadilan.

IV. ANTITESIS: KERAGUAN, TANTANGAN, DAN KRISIS REALITAS

Antitesis dalam dialektika kebangkitan sekolah GMIT di Sabu Raijua hadir dalam bentuk realitas keras yang kontras dengan idealisme pendidikan Kristen. Seperti keraguan Tomas yang

mempertanyakan kesaksian para murid, berbagai tantangan dan krisis di lapangan memunculkan tanda tanya besar terhadap kemungkinan mewujudkan visi ideal sekolah GMIT.

Keraguan ini bukan semata-mata sikap pesimistis, melainkan pengakuan jujur atasbkompleksitas permasalahan yang dihadapi Yaitu =

1. Krisis Guru Berkualitas;

Keterbatasan jumlah guru yang memiliki kualifikasi akademik memadai dan pemahaman mendalam tentang pendidikan Kristen menjadi tantangan serius. Faktor geografis dan ekonomi menyebabkan sulitnya menarik dan mempertahankan tenaga pendidik berkualitas di daerah terpencil seperti Sabu Raijua. Guru yang ada sering kali tidak mendapatkan pelatihan dan pengembangan profesional yang memadai.

2. Keterbatasan Sumber Daya;

Infrastruktur fisik sekolah yang minim, keterbatasan bahan ajar, teknologi pembelajaran yang tertinggal, serta pendanaan yang tidak memadai menjadi hambatan serius. Di banyak sekolah GMIT, siswa harus belajar di ruangan yang tidak layak dengan fasilitas minimal, jauh dari standar pendidikan nasional.

3. Perubahan Sosial dan Tantangan Kultural;

Penetrasi media digital dan globalisasi telah mengubah lanskap sosial- budaya

Sabu Raijua, menciptakan kesenjangan antara nilai-nilai yang diajarkan di

sekolah dengan realitas yang dihadapi siswa. Erosi nilai-nilai tradisional dan identitas kultural berjalan seiring dengan meningkatnya materialisme dan individualisme.

Pengalaman “Tomas” dalam konteks sekolah GMIT mencerminkan pergumulan antara harapan dan kenyataan. Banyak pendidik dan siswa yang mengalami hilangnya keyakinan akan relevansi pendidikan Kristen di tengah tuntutan pragmatis dunia kerja dan dominasi pendekatan pendidikan sekuler. Berbagai kegagalan program dan inisiatif di masa lalu telah menciptakan sikap skeptis terhadap upaya-upaya pembaruan, mirip dengan keraguan Tomas yang membutuhkan bukti nyata.

Pada tingkat institusional, kegagalan dalam beradaptasi dengan perubahan sosial, teknologi, dan paradigma pendidikan contemporary telah menempatkan sekolah GMIT pada posisi sulit. Kurikulum yang kaku, pendekatan pedagogis yang ketinggalan zaman, serta lemahnya kepemimpinan dan manajemen telah menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap kualitas pendidikan yang ditawarkan.

Komunikasi yang tidak efektif antara gereja, sekolah, dan komunitas semakin memperburuk situasi, menciptakan silo-silo yang menghambat kolaborasi.

Dalam bentuknya yang paling mendasar, antitesis ini menunjukkan bahwa visi ideal tentang sekolah GMIT sebagai agen transformasi masyarakat terancam menjadi utopia yang terlepas dari realitas.

Keraguan ini, seperti keraguan Tomas, mempertanyakan klaim-klaim transformatif yang belum terbukti dalam pengalaman nyata komunitas Sabu Raijua. Tanpa pengakuan jujur atas realitas ini, upaya kebangkitan sekolah GMIT berisiko terjebak dalam retorika kosong tanpa dampak substantif.

V.SINTESIS: INTEGRASI IMAN DAN HARAPAN BARU

Sintesis dalam dialektika kebangkitan sekolah GMIT di Sabu Raijua hadir sebagai jalan tengah yang mengintegrasikan kekuatan idealisme iman (tesis) dengan pengakuan jujur atas realitas tantangan (antitesis). Seperti perjumpaan transformatif antara Yesus dan Tomas, sintesis ini tidak menolak keraguan tetapi justru menjadikannya sebagai pintu masuk menuju pemahaman iman yang lebih matang dan kontekstual.

Proses ini melibatkan dialog kritis antara tradisi teologis dengan realitas sosial-budaya Sabu Raijua. Yesus sebagai sumber sintesis menawarkan model yang berharga bagi proses integrasi ini. Dalam perjumpaannya dengan Tomas, Yesus tidak menghapus luka-luka kebangkitan-Nya justru luka itulah yang menjadi titik perjumpaan dengan keraguan Tomas.

Demikian pula, sekolah GMIT di Sabu Raijua perlu mengakui “luka-luka” institusionalnya sebagai bagian dari

identitas yang telah dan sedang bertransformasi. Damai yang dibawa Yesus (“Damai sejahtera bagi kamu”) menjadi prinsip penting dalam sintesis ini, mengingatkan bahwa proses transformasi sejati berjalan dalam kerangka rekonsiliasi dan penerimaan, bukan konfrontasi dan penghakiman.

Motif kebangkitan dalam narasi Yesus-Tomas menjadi metafora kuat bagi visi pendidikan GMIT. Kebangkitan tidak menghapus realitas kematian dan penderitaan, tetapi mentransformasinya menjadi narasi baru yang penuh harapan. Sekolah GMIT diundang untuk menghayati kebangkitan ini dengan membangun etos pembelajaran baru yang mengintegrasikan iman dan ilmu pengetahuan secara kreatif.

Ini mencakup pengembangan  pendekatan pedagogis yang menghargai pertanyaan kritis, mendorong eksplorasi intelektualbdan menghubungkan nilai-nilai iman dengan tantangan kehidupan nyata. Secara praktis, sintesis ini terwujud dalam beberapa praktik konkret.

Pertama, penguatan kapasitas guru melalui program pengembangan profesional yang tidak hanya meningkatkan kompetensi akademik tetapi juga memperdalam pemahaman teologis dan komitmen misi.

Kedua, pengembangan kurikulum kontekstual yang mengintegrasikan per spektif iman dengan kearifan lokal dan standar akademik nasional.

Ketiga, penerapan model manajemen partisipatif yang melibatkan komunitas dalam pengambilan keputusan dan mobilisasi sumber daya.

Keempat, membangun jaringan kolaboratif dengan berbagai lembaga pendidikan, gereja, dan organisasi pembangunan untuk memperkuat dukungan eksternal.

VI. REFLEKSI TEOLOGI KRITIS UNTUK KEBANGKITAN SEKOLAH GMIT

Refleksi teologi kritis merupakan jembatan penting untuk mewujudkan sintesis yang telah dirumuskan menjadi tindakan nyata dalam konteks kebangkitan sekolah GMIT di Sabu Raijua. Refleksi ini berpijak pada penghayatan iman yang sehat, positif, dan terbuka –mengakui bahwa iman Kristen autentik tidak pernah statis atau tertutup, melainkan terus bergerak dalam dialog dengan realitas kehidupan.

Seperti iman Tomas yang harus melalui pergumulan dan keraguan sebelum mencapai pengakuan “Tuhanku dan Allahku”, komunitas pendidikan GMIT diundang untuk menghayati iman yang hidup dan relevan.

Aspek kritis dari refleksi ini terletak pada kesadaran bahwa iman bukanlah kebal kritik. Justru, iman yang transformatif adalah iman yang berani menghadapi pertanyaan-pertanyaan sulit dan tantangan kontemporer.

Teologi pembebasan menawarkan wawasan berharga dalam hal ini, mengingatkan bahwa iman Kristiani sejati selalu memiliki dimensi praksis yang berpihak pada mereka yang terpinggirkan.

Dalam konteks Sabu Raijua, ini berarti mengembangkan pendidikan yang memberdayakan siswa dari berbagai latar belakang sosial-ekonomi, dengan perhatian khusus pada kelompok rentan.

Harapan yang lahir dari dialektika iman-keraguan menjadi kekuatan pendorong dalam proses kebangkitan. Berbeda dengan optimisme naif yang mengabaikan realitas tantangan, harapan teologis bersumber dari keyakinan akan kehadiran dan karya Tuhan dalam sejarah –termasuk dalam konteks pendidikan di Sabu Raijua.

Harapan ini memberikan ketahanan (resilience) untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan sekaligus keberanian untuk membayangkan dan memperjuangkan masa depan yang lebih baik. Sintesis sebagai visi menghadirkan gambaran sekolah GMIT yang inklusif, kreatif, dan relevan.

Inklusif berarti membuka pintu bagi semua anak tanpa diskriminasi, menghargai keberagaman, dan mengembangkan pedagogi yang memperhatikan kebutuhan khusus setiap anak.

Kreatif mengacu pada pendekatan pembelajaran inovatif yang mengatasi keterbatasan sumber daya dan menghargai ekspresi budaya lokal.

Relevan berarti pendidikan yang menjawab kebutuhan nyata masyarakat Sabu Raijua, membekali siswa dengan keterampilan hidup dan nilai-nilai yang memungkinkan mereka berkontribusi positif.

Melalui refleksi teologi kritis, komunitas sekolah GMIT diundang untuk menemukan kembali identitas dan misinya dalam terang narasi kebangkitan Kristus. Seperti perjumpaan Yesus dengan Tomas yang menghasilkan pengakuan iman baru, perjumpaan antara tradisi pendidikan Kristen dengan realitas kontemporer Sabu Raijua berpotensi melahirkan model pendidikan transformatif yang autentik dan kontekstual. Inilah jalan kebangkitan yang ditawarkan melalui sintesis harapan dan iman.

VII. PENUTUP: AKSI DAN KOMITMEN MENUJU KEBANGKITAN

Perjalanan reflektif melalui dialektika tesis, antitesis, dan sintesis telah membawa kita pada titik kulminasi – panggilan untuk aksi dan komitmen konkret menuju kebangkitan sekolah

GMIT di Sabu Raijua. Refleksi teologi kritis bukanlah tujuan akhir, melainkan batu loncatan menuju praksis transformatif yang nyata dan berkelanjutan.

Seperti perjumpaanTomas dengan Yesus yang bangkit berujung pada pengakuan iman dan misi baru, refleksi kita harus bermuara pada gerakan kolektif yang memberdayakan.

1. Membangun komunitas reflektif. Langkah pertama adalah membentuk kelompokkelompok dialog antara jemaat, sekolah, dan masyarakat yang secara rutin melakukan refleksi teologis bersama.

Forum-forum ini menjadi ruang bagi berbagi pengalaman, pergumulan, dan visi, sekaligus membangun kerangka bersama untuk aksi.

Melibatkan pemuda, guru, tokoh adat, dan pemimpin gereja untuk menciptakan perjumpaan lintas generasi dan sektor.

2. Mendesain Program Peningkatan Kapasitas. 

Mengembangkan program-program pelatihan berkelanjutan bagi para pendidik dan pemimpin sekolah, dengan fokus pada pedagogik kontekstual, integrasi iman-ilmu, dan leadership transformatif. Program ini perlu dirancang dengan memperhatikan keterbatasan sumber daya lokal, memanfaatkan teknologi sederhana dan metode peer- learning yang efektif.

3. Memperkuat Integrasi Gereja-Sekolah- Masyarakat.

Membangun mekanisme kolaborasi yang lebih terstruktur antara gereja, sekolah, dan masyarakat Sabu Raijua.

Ini mencakup sistem manajemen bersama, mobilisasi sumber daya lokal, dan program-program lintas sektoral yang menjadikan sekolah sebagai pusat kegiatan komunitas. Mengembangkan model pendidikan yang melibatkan orang tua dan tokoh masyarakat sebagai co-educator.

4. Mengadvokasi Kebijakan Pendidikan Kontekstual. 

Bekerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga terkait untuk mengembangkan kebijakan pendidikan yang lebih responsif terhadap konteks Sabu Raijua. Ini mencakup kurikulum muatan lokal, pola rekrutmen dan pengembangan guru, serta alokasi sumber daya yang lebih berkeadilan. Membangun jaringan advokasi untuk menyuarakan kebutuhan pendidikan di wilayah terpencil.

Komitmen memberdayakan iman praksis dalam konteks Sabu Raijua memerlukan kesediaan untuk berpikir jangka panjang sekaligus bertindak dalam skala kecil namun konsisten.

Seperti benih yang ditanam dalam tanah yang gersang, iman praksis membutuhkan ketekunan dan kesabaran untuk melihat hasil. Tantangan geografis, ekonomi, dan kultural tidak boleh menjadi alasan untuk menyerah, melainkan konteks nyata di mana kreativitas dan ketahanan iman diuji dan dibentuk.

Tekad untuk menghidupi kebangkitan berlandaskan sintesis iman dan harapan menjadi komitmen spiritual yang mengikat seluruh komunitas pendidikan GMIT di Sabu Raijua.

Ini bukan sekadar program institusional, melainkan panggilan misional untuk berpartisipasi dalam karya pembaharuan Tuhan.

Seperti Tomas yang berubah dari skeptis menjadi saksi kebangkitan, komunitas sekolah GMIT dipanggil untuk bertransformasi dari penerima pasif menjadi agen aktif perubahan.

Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu. (Yohanes 20:21) Pesan pengutusan Yesus kepada para murid, termasuk Tomas, menjadi penutup yang tepat bagi refleksi kita.

Kebangkitan tidak berakhir pada sukacita personal, tetapi berlanjut pada misi transformatif. Sekolah GMIT di Sabu Raijua, melalui sintesis harapan dan iman yang telah dirumuskan, dipanggil untuk menjadi komunitas pembelajar yang tidak hanya menerima berkat tetapi juga menjadi berkat.

Dalam tekad menghidupi kebangkitan inilah, masa depan pendidikan yang lebih bermakna, berkualitas, dan memberdayakan dapat terwujud di tanah Sabu Raijua .

Share It.....