Probolinggo, Jawa Timur – Ada berbagai versi yang diyakini warga sekitar Mulai dari Mitos, Legenda dan Dongeng, keyakinan seperti itu dibiarkan bergerak liar hingga turun temurun sampai saat ini, belum ada sejarawan yang membedah misteri bangunan yang sudah ada sebelum Belanda menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi ini.
Konon, masjid yang arsitekturnya mirip dan mendekati bangunan jawa (Joglo) diyakini muncul tiba-tiba, Sehingga tidak salah kalau disebut masjid tiban, asal dari kata Ketiban dalam Bahasa Jawa berarti jatuh dari langit atau terjatuh arti Bahasa Indonesianya, Ada juga yang mengartikan Tiban, tiba-tiba muncul dari dalam tanah, beredar pula dikalangan masyarakat, kalau tiban itu berasal dari kata Titiban, Bangunan masjid yang dititipkan oleh pendirinya ke masyarakat sekitar alasannya, pendiri akan mensiarkan agama islam ke daerah atau wilayah lain, hanya saja hingga kini belum terungkap nama orang yang menitipkan dan orang yang dititipi.
Terlepas dari mitos dan cerita tersebut diatas, masyarakat Probolinggo meyakini masjid Tiban belum diketahui pendiri dan yang membangun yang jelas, masyarakat percaya jika masjid yang terbuat dari kayu jati itu, peninggalan Syeh Maulana Ishaq, Seorang wali asal Negeri Campa (Sekarang Vietnam) yang tinggal di Jawa, yang menyiarkan agama islam di Jawa bagian timur.
Hanya saja, yang mendirikan masjid Tiban, bukan Syeh Maulana Ishaq, tetapi keturunannya, Di lokasi Masjid Tinban, Maulana Ishaq hanya singgah beberapa hari dalam perjalanan ke Blambangan, Banyuwangi, Perjalanan religinya untuk menyembuhkan putri Raja Blambangan Dewi Sekardadu yang sakit menahun.
Singkat cerita, setelah dipegang Syeh Maulana Ishaq sang putri raja sembuh, Sesuai janji Raja Blambangan, Maulana Ishaq kemudian menikah dengan mantan pasiennya dan dikaruniai seorang anak, namun, Ishaq tidak menyaksikan kelahiran putra pertamanya, Ia diusir oleh raja Blambangan (Mertuanya) atas hasutan panglima kerajaan.
Alasannya, keberadaan Maulana Ishaq mengancam keyakinan atau kepercayaan masyarakat Blambangan, dengan berat hati, Ishaq meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil menuju barat melewati Probolinggo lagi ke Surabay, Sebelum pergi, Ishaq berpesan kalau yang akan menggantikan dirinya menyiarkan agama islam, anak yang masih dalam kandungan istrinya, Dewi Sekardadu,
Pesan tersebut didengar panglima raja dan berencana akan membunuh anak tersebut, jika telah lahir.
Rencana tersebut didengar Dewi Sekardadu dan begitu putra sulungnya lahir, dibuang ke laut, Bayi berjenis kelamin laki-laki tersebut ditemukan nelayan dan dibawa ke Gresik yang kemudian diasuh perempuan kaya raya bernama Nyai Gede Pinatih, Bayi mungil itu kemudian diberi nama Joko Samudro karena ditemukan di laut.
Singkat cerita, Joko Samudro remaja oleh ibu angkatnya dingajikan di Ampeldenta (Kini Surabaya) yakni, ke Sunan Ampel, Tak berapa lama, Sunan Ampel akhirnya mengetahui asal-usul murid kesayangannya itu. Bersama santri yang lain yaiyu, Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang) Joko Samudro mendalami ajaran Islam di Pasai, Keduanya diajar Maulana Ishaq yang tak lain ayah Joko Samudro,
di situlah kemudian, Joko Samudro yang bernama lain Raden Paku mengetahui Asal muasalnya, Ia dijuluki Raden Paku, konon karena sering berdiam diri dan teguh pendirian, ibarat paku yang tak pernah goyah, tiga tahun berguru ke ayahnya, Raden Paku kembali ke Jawa, Ia lalu mendirikan pesantren di perbukitan Desa Sidomukti, Kebomas, Dalam bahasa Jawa, Giri berarti gunung sejak itu, Raden Paku dikenal dengan nama Sunan Giri.
Pesantren Giri sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil dengan sebutan Giri Kedaton, yang wilayahnya meliputi Gresik dan sekitarnya yang akhirnya dikalahkan Sultan Agung, lantas Apa hubungannya dengan Masjid Tiban.
Konon ceritanya, yang mendirikan masjid Tiban di Kota Probolinggo itu dimungkinkan, santri Sunan Giri, cerita tersebut diungkap Beny Hidayat (48), warga setempat yang kesehariannya berada di Masjid Tiban, lelaki yang memiliki kekuatan supra natural ini memperkirakan, bahan bangunan berupa kayu jati dan batu Cadas atau paras yang dibuat pelor, kedua santri tersebut.
Hanya saja, belum diketahui pasti asal-usulnya. Bisa saja, lanjut Beny berasal dari Bojonegoro atau Madura, Jika melihat kayunya, jati asal Bojonegoro dan batu paras putih yang digunakan untuk lapisan tembok, mereka berdua yang mendirikan atau membangun masjid Tiban, termasuk 4 tiang penyangga bangunan (Joglo), Enggak dibantu alat sama sekali.
Dengan kekuatan supra natural sehingga 4 tiang soko guru itu berdiri tandasnya,
Dalam tahapan pembagunan hingga selesai, warga setempat tidak tahu, Selain belum ada orang lanjut Beny, di lokasi pendirian masjid dipenuhi tanaman (rimbun).
Dari bangunan dekat laut itulah, kakak beradik tersebut menyiarkan agama dan mereka yang menjadi santrinya, tidak tahu sebelumnya, kalau dipantai utara laut jawa, ada masjid Jadi mereka menyebut bangunan tiban, Tiba-tiba jadi.
Dahulu tidak disebut masjid, tapi surau, tambahnya.
Di area Masjid Tiban, ada batu serukuran tubuh manusia, Batu yang salah satu permukaannya melengkung (Tidak rata) tersebut dipercaya tempat duduk Syeh Maulana Ishaq saat bermunajjat ke Allah, Selain itu didekat masjid ada tanaman kemuning, namun saat ini sudah mati atau mengering, Mungkin kedua benda itu sebagai tanda, kalau Syeh Maulana Ishaq pernah singgah, ujar Beny.
Dimungkinkan, Sunan Giri diwasiati ayahnya (Syeh Maulana Ishaq) agar siar agama ke wilayah timur, termasuk Probolinggo, dilokasi atau tempat yang diberi tanda batu dan pohon kemuning itulah, sebagai tempat siarnya, Sepertinya batu dan pohon kemuning itu sebagai tanda, Sunan Giri diminta dalam siarnya tinggal di sana dan membangun surau, Mungkin diwasiati saat ia belajar mengaji ke ayahnya, yakni Maulana Ishaq, katanya.
Pesan tersebut oleh Sunan Giri dilaksanakan dengan mengutus 2 muridnya. Kedua muridnyalah yang membawa bahan bangunan berupa kayu dan sarana kelengkapan lainnya ke Probolinggo. Namun tidak ada yang tahu, menggunakan apakah kedua santri itu membawa bahan bangunan masjid. Bisa saja diangkut dengan perahu dari Surabaya, atau kayu yang akan dibuat masjid dinaiki langsung, dibawa melalui laut, Kalau perjalanan darat, tidak mungkin, pungkasnya.
Demikian asal-usul masjid tiban, yang hanya cerita dari orang-perorangan. sementara dari sejarawan belum ada yang meneliti, benar tidaknya tidak ada yang menjamin, allah hu alam
Penulis Agus Purwoko
RED-WNB HS