WBN │ Pemerintah mencabut larangan ekspor CPO setelah memperhatikan beberapa faktor, seperti kondisi pasokan, harga minyak goreng saat, keberadaan para tenaga kerja dan petani di industri sawit.
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani juga berharap kebijakan pelaraangan dapat menjadi solusi permasalahan kelangkaan dan mahalnya minyak goreng selama ini. Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengapresiasi keputusan pemerintah yang mencabut larangan ekspor crude palm oil (CPO) dan bahan baku minyak goreng.
Menurutnya, pencabutan larangan tersebut akan menguntungkan petani sawit dan usaha kecil menengah di sektor sawit.
“Yang jelas memberikan nafas kepada petani sawit. Karena dampak dari pelarangan ekspor itu, yang paling terkena dampaknya petani sawit. Petani kecilnya dan usaha kecil menengah di CPO,” terang Piter.
Diuraikan, ketika perekonomian petani sawit membaik maka akan diikuti oleh sektor lain.
“Pada gilirannya pembebasan ekspor CPO ini akan membantu perekonomian di daerah-daerah di sentra sawit,” lanjutnya.
Piter menegaskan pemerintah seharusnya berpikir bagaimana mensejahterakan petani sawit kecil terlebih dahulu.
“Pemerintah seharusnya berpikir itu bagaimana mensejahterakan petani sawit. Karena kalau petani sawit sejahtera, perekonomian kita berputar,” tandasnya.
Menurut Piter, kebijakan larangan ekspor CPO sebelumnya cukup memberatkan petani sawit. Mereka terpaksa untuk menjual tandan buah segar (TBS) sawit dengan harga murah karena suplai berlimpah namun tidak didukung permintaan besar.
Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani juga telah mengingatkan bahwa kebijakan larangan ekspor produk CPO dan turunannya akan berdampak pada petani. Ia juga mengingatkan pemerintah agar membenahi seluruh tata niaga minyak goreng dari hulu sampai hilir.
Pemerintah harus membenahi struktur pasar dan struktur industri minyak goreng, termasuk penguasaan dari hulu ke hilir. Hal itu dinilainya bisa menyelesaikan masalah minyak goreng kedepannya dikelola Pemerintah.
Sementara itu, Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal setuju dengan langkah pemerintah untuk mendistribusikan langsung minyak goreng ke masyarakat.
“Ketika kita berada dalam masa ad hoc sekarang, kita tidak bisa mengandalkan produsen, maka kita harus mengutamakan organ pemerintah, Bulog, BUMN ID food untuk bisa mengawal proses distribusi ke lapangan. Biar barangnya ada dan murah. “ sebut Eko Fithra saat dihubungi hari ini (23/5).
Tata kelola minyak goreng di dalam negeri masih bermasalah. Pemerintah tidak punya kuasa yang besar, seperti pemerintah bisa mengontrol harga BBM. Dia mencontohkan, ketika bicara BBM itu kuasa supply dari hulu ke hilir kan dikuasai BUMN.
“Maka kita harus mampu duduk meniru proses itu. Karena semua proses dikelola oleh pemerintah.” sebut Fithra.
Untuk menjaga cadangan CPO dalam negeri tetap terjaga, bisa dari produksi dalam negeri maupun impor hasil turunan CPO yaitu minyak goreng dari Malaysia.
“Ini masalahnya terhambat dari mekanisme CPO ke Minyak goreng, ya udah impor saja dari malaysia atau negara lain yang lebih murah. Bisa, karena secara bilateral kita bisa melakukan itu. Secara jangka panjang kemudian kita bisa mengelola pada skala regional,” tandas Fithra.
Nara sumber : Hila
WBN │ Ega – Editor : Hidayat – Kabiro Tasikmalaya