Forum Seniman Peduli TIM, Menggugat Pergub DKI

WBN | Jakarta – Forum Seniman Peduli TIM (FSP-TIM) berangkat ke Mahkamah Agung Republik Indonesia mengawal ‘gugatan’ yang sudah dikuasakan kepada pengecara Effendi Salman, SH. Gugatan yang dimaksud berupa pengajuan hak uji materi terhadap Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2019 juncto Nomor 16 Tahun 2022 yang memberikan wewenang penuh kepada PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk mengelola pusat kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM). Perusahan perseroan daerah yang sesuai dengan Akta Notaris Nomor 24, tanggal 26 Oktober 2021, bidang usahanya adalah perdagangan, jasa dan pengembangan infrastruktur, serta utilities real estate dan infrastruktur.(22/08/22)

Pendaftaran uji materi Pergub No. 16 /2022 yang di serahkan oleh kuasa hukum Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP-TIM), Effendi Salman, SH. di terim pihak Mahkamah Agung Republik Indonesia Senin tanggal 22 Agustus 2022.
Dengan di kawal para Seniman Forum Seniman Peduli Taman Ismail Marzuki (FSP-TIM). Dengan aksi Tari, Musik, dan pembacaan Puitik Resistance. Dengan damai aksi tersebut di gelar di depan gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia Jl. Merdeka Utara No. 9. RT. 2/RW.3 Gambir. Kecamatan Gambir. Kota Jakarta Pusat.

TIM yang diwariskan oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai rumah besar seniman, justru sudah tidak merdeka. Kawasan kesenian milik negara, yang sejak awal didirikan bebas dari intervensi kuasa politik dan ekonomi kapitalistik itu kini telah direnggut oleh PT Jakpro,
tanpa alasan yang jelas, tanpa perbincangan yang patut dan benar, dengan para seniman yang memiliki hak sejarah, hak moral, hak kultural, dan hak konstitusional atas ruang ekspresi yang melahirkan a.l. Rendra, Arifin C. Noer, Huriah Adam, Sardono W. Kusumo, Wahyu Sihombing, Sutardji Calzoum Bachri, Slamet Abdul Syukur, dll.

54 tahun yang lalu, Ali Sadikin sudah tegas menyatakan bahwa TIM dibangun sebagai investasi kultural. “Hasilnya tidak segera dapat dikecap, tapi memakan waktu yang lama,” kata Ali Sadikin saat meresmikan Taman Ismail Marzuki pada tanggal 10 Nopember 1968, sebagaimana dikutip Pelopor Baru, No. 684 Tahun 1968. Ia pun mengingatkan, “Politik sebagai panglima di bidang kebudayaan tidak boleh terjadi di Pusat Kesenian,” (El Bahar, 12 November 1968)

Dikeluarkannya Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 63 Tahun 2019 yang diperkuat lagi dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2022, adalah hulu persoalan yang memicu kemelut atas nasib TIM yang didirikan oleh Ali Sadikin tersebut. Penugasan kepada PT Jakpro, BUMD yang tupoksinya membangun dan merawat gedung-gedung itu, untuk mengelola TIM, tidak tanggung-tanggung, selama 28 tahun, adalah kebijakan yang keliru.

Hal ini bisa terjadi oleh karena alasan tak masuk akal, bahwa Pemprov. DKI menyatakan tidak sanggup membiayai TIM. Bahwa pusat kesenian seluas 72.551 m2, yang sepetak kecil di keluasan Jakarta itu, dianggap membebani APBD. Lantas dengan enteng, PT Jakpro ‘dimodali’ oleh Pemprov. DKI dengan menggelontorkan dana Penyertaan Modal Daerah (PMD) sebesar 1,6 trilyun, sebagai pinjaman, yang justru bersumber dari APBD juga, yang harus dikembalikan dengan cara membisniskan kawasan TIM.

Di beberapa pasal dalam Pergub. Nomor 63 Tahun 2019 dan Pergub. Nomor 16 Tahun 2022 itu, kepada Jakpro diserahkan ‘cek kosong’, antara lain berwenang penuh, antara lain: menyewakan seluruh ruang dan bangunan yang ada, mengelola lahan parkir bawah tanah, mengelola hampir dua ratusan kamar penginapan, memasang dan menyewakan media iklan luar ruang (videotron).

Dengan kekuasaan mutlak itu, tak pelak di mata para seniman, Jakpro bertindak sebagai predator, gergasi, yang leluasa menggerogoti ruang yang selama ini menjadi wilayah interaksi pemikiran dan gelanggang ekspresi para seniman itu. Tidak hanya seniman Jakarta, dari juga dari segenap penjuru Indonesia.

Bagi FSP-TIM, memaksakan Jakpro bercokol di TIM adalah kebijakan blunder, kekeliruan, bahkan kesalahan yang fata
Hari ini, de jure dan de facto, ada 2 (dua) instansi resmi Pemprov. Jakarta yang menguasai TIM. Ada 2 (dua) penguasa di satu kawasan, yang mengerjakan urusan yang sama!

Yang satu, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Yang berdasarkan Peraturan Daerah juncto Peraturan Gubernur juncto Instruksi Gubernur diberi amanah untuk mengelola TIM, serta membangun, mengembangkan, dan menghidupkan kebudayaan dan ekosistemnya di Jakarta. Bahwa, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2019 Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan
Perangkat Daerah Provinsi DKI Jakarta Dinas Kebudayaan juncto Peraturan Gubernur Nomor 149 Tahun 2019, yang berwenang, bertugas, dan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang kebudayaan dan sub urusan kebudayaan adalah Dinas Kebudayaan DKI Jakarta.

Adapun yang satu lagi, ialah PT Jakarta Propertindo, (BUMD yang sebutir zarah pun tugas pokok dan fungsinya tak mengandung DNA kesenian itu), yang merasa mendapat hak penugasan untuk ikut mengelola urusan pemerintahan dibidang kebudayaan dengan menguasai TIM selama 28 tahun, tapi hanya dengan berdasarkan Peraturan Gubernur, bukan berdasarkan Peraturan Daerah yang disusun bersama DPRD. Dan mengelola TIM tanpa melibatkan Akademi Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta.

Padahal, semua pihak mengetahui bahwa PT Jakpro itu wajib bekerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah; yang pada pasal 7, butir c dengan tegas menggariskan bahwa tujuan pendirian BUMD adalah untuk “memperoleh laba dan/atau keuntungan.”

Tapi hari ini, kedua instansi itu sama-sama bicara soal kesenian. Yang satu, yaitu Dinas Kebudayaan, memang ahlinya. Yang satu lagi, sama sekali bukan ahlinya. Kedua kini ‘berebutan’ untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kebudayaan/kesenian itu, dengan segala macam cara. Tapi sumber anggarannya satu: APBD Jakarta. Di satu lokasi pula, yaitu di TIM.

Berdasarkan (hanya dua tekenan) Pergub Nomor 63 Tahun 2019 dan Pergub Nomor 16 Tahun 2022, PT Jakpro terang benderang telah mengamputasi, dan mengambil alih sebagian besar kedudukan, kewenangan, tugas pokok, fungsi Dinas Kebudayaan DKI Jakarta di TIM. Bahkan asetnya (berupa tanah) di Jalan Cikini Raya no. 73 itu. Dan juga sebagian anggarannya (jika subsidi sebesar puluhan miliar per tahun yang konon tengah diajukan oleh PT Jakpro untuk mengelola kegiatan dan perawatan TIM dikabulkan oleh Gubernur dan DPRD DKI Jakarta).

FSP-TIM menilai bahwa preseden buruk yang ganjil dan tidak pernah terjadi di manapun itu, adalah malpraktik kebijakan. Ia menebas dan memberangus banyak hal sekaligus: marwah ruang kesenian, moral kaum seniman, serta filosofi dan sejarah TIM itu sendiri.

Oleh karena itu, FSP-TIM sebagai gerakan moral seniman, yang menganggap bahwa TIM tak boleh dikacaukan dan dibusukkan dengan urusan untung rugi ala kapitalis, sangat berkepentingan dan menuntut agar kedua Pergub itu dicabut, Pergub yang menyusahkan banyak pihak itu: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, para seniman, dan Taman Ismail Marzuki.

Apalagi, dalam proses pembangunan itu PT Jakpro tidak konsisten mematuhi kesepakatan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diamanatkan oleh Komisi X DPR RI, Ketua DPRD Jakarta, dan Gubernur Anies Baswedan, agar proses revitalisasi TIM dibahas secara intensif dengan para seniman, termasuk dengan para empu seni yang berpuluh tahun beraktivitas di sana, (tidak hanya dengan Dewan Kesenian Jakarta dan Akademi Jakarta, yang tidak sepenuhnya memposisikan diri sebagai representasi seniman se-Jakarta Raya itu). Pembahasan, tidak hanya soal fisik bangunan, tapi juga harus sampai ke ikhwal non fisik, berupa sistem dan mekanisme tata kelolanya.

Forum Seniman Peduli TIM tidak punya kepentingan lain, selain menjaga marwah itu. Marwah Taman Ismail Marzuki, marwah Dinas Kebudayaan, marwah PT Jakpro, marwah kaum seniman (di mana pun), marwah Ali Sadikin, marwah Ajip Rosidi, marwah
Rendra, Arifin C. Noer, dan semua seniman yang pernah hidup dan mati untuk Taman Ismail Marzuki itu!

Apapun alasan dan alibi yang dipakai, tak ada DNA-nya sebuah PT menguasai dan mengelola Taman Ismail Marzuki, sebuah kawasan seniman dan kesenian yang telah menyejarah selama lebih dari 50 tahun. Setiap orang, yang memiliki nalar, akal sehat, kesadaran, hati nurani, pasti akan menolak kebijakan yang ganjil, anomali, bahkan tak pernah terjadi di negeri kapitalis mana pun di muka bumi ini.

Sebuah kawasan, yang sesungguhnya adalah aset kaum seniman dan budayawan itu, yang berpuluh tahun menjadi salah satu mata air, muara peradaban bangsa itu, hanya pantas dikelola oleh sebuah badan khusus yang

Taman Ismail Marzuki adalah ruang publik, adalah wahana proses kreatif, adalah warisan keluhuran, kerendah-hatian, dan kecerdasan para tokoh visioner: Ali Sadikin, Ajip Rosidi, Ilen Surianegara, Ramadhan K.H., Mochtar Lubis, Arief Budiman, cum suis, yang paham betul bahwa seniman dan kesenian itu, bahwa nilai-nilai yang mereka hidupkan dan persembahkan kepada bangsa ini, bukan dilahirkan dari rahim dan teori dagang, jual beli, untung rugi. Melainkan dari idealisme, kejujuran, keindahan, marwah, kredo dan etos penciptaan, yang sesungguhnya adalah antitesis dari segala jargon kapitalistik, yang jumud, banal, dan merusak itu.

Seperti pesan Radhar Panca Dahana: “Membiayai TIM, dan Taman-taman di seluruh penjuru negeri ini adalah obligasi kultural, obligasi konstitusional! Danitu adalah tanggungjawab negara, pemerintah.” Adalah kewajiban mutlak pemerintah untuk membiayai sebuah pusat kesenian seperti TIM, sebagai investasi nonmateriel.

Forum Seniman Peduli TIM berpandangan bahwa Taman Ismail Marzuki adalah rumah peradaban bangsa ini. Karena itu, ia harus berwibawa, murni, bebas merdeka dari segala kalkukasi rugi laba, dari segala intervensi yang meruntuhkan marwahnya.

FSP-TIM menuntut pengelolaan TIM harus berdasarkan asas-asas, tujuan, strategi, perlindungan, pengamanan, pemeliharaan, pengembangan, dan pemanfaatan atas obyek pemajuan kebudayaan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

FSP-TIM menuntut pengelolaan TIM harus berdasarkan prinsip pelayanan publik yang baik, dengan merujuk pada asas-asas kepentingan umum, kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban, profesional, partisipatif, adanya persamaan perlakuan, keterbukaan, akuntabilitas, serta ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Bahwa, ruang kesenian yang dikelola oleh pemerintah wajib dilindungi dari dijalankan dengan mengedepankan prinsip pelayanan publik yang baik dan benar itu. Terutama dengan
mengingat bahwa kesenian adalah bentuk ekspresi kearifan spiritualitas, dengan komponen esensialnya adalah karya, proses penciptaan, konsep dan gagasan, pencapaian estetika, hingga nilai-nilai keibadahan dan kebudayaannya.

Reporter Frans H.R.

Share It.....