Asal Usul PKH Vs Viral Video Beredar Ngada Kucur Belasan Milyar Untuk PKH

WBN │Akhir pekan 26 November 2022 tidak sedikit publik Ngada di Pulau Flores, Provinsi NTT dihebohkan dengan sebuah video yang beredar lepas, bertampilan gelap, namun ada suara.

Kabupaten Ngada kucurkan anggaran Rp 17 milyar untuk PKH, demikian isi suara dalam video beredar.

Tidak diketahui suara siapa yang termuat dalam video tanpa gambar dan beredar viral tersebut. Video beredar pun belum diketahui sumber sebaran, kebenaran dan keaslian video. Belum bisa dipastikan.

Saat berita diturunkan, pada Sabtu (26/11/2022), belum ada pihak di Kabupaten Ngada yang mengeluarkan rilis ataupun tanggapan resmi terhadap sebaran video beredar yang berisi pembicaraan Ngada kucurkan Rp 17 Milyar untuk PKH.

Telusur Asal Usul Program Bernama PKH

International PolicyCentre For Inclusive Growth, TNP2K, Tim Nasional, mengulas tajam tentang PKH sebagai program Pemerintah Pusat dengan sumber pembiayaan dari APBN, atau bukan merupakan program pemerintah daerah dengan anggaran daerah. Berikut ulasannya tentang PKH.  Catatan Profesor Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, yang juga Koordinator Kelompok Kebijakan TNP2K, Suahasil Nazara bersama Sri Kusumastuti Rahayu, Kepala Kelompok Kebijakan Klaster 1. Keduanya bertugas di Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).

Pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH), program bantuan dana tunai bersyarat pertama di Indonesia. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas manusia dengan memberikan bantuan dana tunai bersyarat bagi keluarga miskin dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan tertentu.

Program Keluarga Harapan (PKH): Program Bantuan Dana Tunai Bersyarat di Indonesia I. Pendahuluan Pada tahun 2007 Pemerintah Indonesia meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH), program bantuan dana tunai bersyarat pertama di Indonesia. Program ini bertujuan meningkatkan kualitas manusia dengan memberikan bantuan dana tunai bersyarat bagi keluarga miskin dalam mengakses layanan kesehatan dan pendidikan tertentu.

PKH membantu mengurangi beban pengeluaran rumah tangga yang sangat miskin (dampak konsumsi langsung), seraya berinvestasi bagi generasi masa depan melalui peningkatan kesehatan dan pendidikan (dampak pengembangan modal manusia). Kombinasi bantuan jangka pendek dan jangka panjang ini merupakan strategi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan bagi para penerima PKH ini selamanya.

PKH dikelola oleh Kementerian Sosial (Kemensos), dengan pengawasan ketat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Program ini mulai beroperasi pada tahun 2007 sebagai program rintisan (pilot) yang disertai unsur penelitian di dalamnya. Di awal kebijakan, pelaksanaan program rintisan ini menunjukkan kemajuan yang lamban, terlihat pada terbatasnya cakupan program (dalam pengertian jumlah keluarga maupun wilayah penerima manfaat).

Sejak tahun 2010 Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), di Kantor Wakil Presiden, mulai mendorong perluasan cakupan PKH, yang berdampak pada penyelenggaraan program yang lebih efi sien dan berdampak positif bagi penduduk miskin. II.

 

Cakupan, penetapan sasaran dan dampak program

Ketika PKH diluncurkan pada tahun 2007, penerima manfaat program yang dipilih merupakan rumah tangga yang sangat miskin – yaitu mereka yang berada di bawah 80 persen garis kemiskinan resmi saat itu.

Karena program ini merupakan program rintisan; cakupan awalnya pun sangat rendah (lihat Tabel 1).

Hingga tahun 2012, program ini hanya menjangkau 1,5 juta keluarga, dibanding total 60 juta keluarga miskin di Indonesia serta sekitar 6,5 juta keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. PKH diharapkan mampu menjangkau 3,2 juta rumah tangga di akhir tahun 2014. Pada tahun 2012 PKH akhirnya beroperasi di seluruh provinsi di Indonesia, meskipun masih belum menjangkau seluruh kabupaten di tiap provinsi.

Perluasan cakupan PKH merupakan tantangan program jika ingin memberikan dampak besar bagi penduduk miskin Indonesia.

2 International Policy Centre for Inclusive Growth Penetapan sasaran untuk PKH dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk pertama kalinya, menggunakan data tahun 2005 yang dimiliki (berdasarkan nama dan alamat), BPS melakukan Survei Pendidikan dan Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan (SPDKP) guna mengidentifi kasi rumah tangga sangat miskin serta fasilitas pendidikan dan kesehatan. Daftar tahun 2005 memuat sekitar 19,1 juta rumah tangga, seharusnya berada pada sebaran penghasilan terendah, dan digunakan sebagai daftar untuk program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada tahun 2005.

SPDKP dilakukan tidak hanya pada rumah tangga namun juga pada fasilitas, guna menguji kesiapan data tersebut untuk PKH. SPDKP dilakukan setiap tahun. Pada tahun 2008 Badan Pusat Statistik (BPS) menyelenggarakan pendaftaran kembali guna memperbaharui data sebelumnya (PSE 2005). Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2008 menggunakan 14 indikator yang mengidentifi kasi apakah rumah tangga tertentu layak memperoleh bantuan (Nazara, 2013).

Daftar baru ini digunakan sebagai penetapan sasaran PKH antara tahun 2009–2011. Sejak tahun 2012, penetapan sasaran PKH mulai menggunakan Basis Data Terpadu (BDT). Basis data ini, yang didasarkan pada data tahun 2011, berisi nama dan alamat individu rumah tangga yang berada pada 40 persen sebaran kesejahteraan terendah. BDT, yang dikelola oleh Sekretariat TNP2K, merupakan cara memadukan sistem penetapan sasaran nasional. Informasi lebih lanjut tentang BDT dapat ditemukan di TNP2K (2013).

Khusus PKH, ada sejumlah penelitian yang berupaya mengukur dampaknya. Berbagai uji petik dan survei lapangan telah dilakukan oleh berbagai lembaga, baik dalam maupun luar negeri. Sebagai tahap awal, Bappenas (2009) mencoba melakukan uji kuantitatif yang menggunakan intervensi acak berbasis rumah tangga dengan pengukuran sebelum dan sesudah intervensi, pada kelompok yang diberi perlakuan khusus maupun yang terkendali. Secara keseluruhan penelitan ini menunjukkan bahwa PKH memiliki dampak positif. Hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya dampak PKH pada kenaikan rata-rata banyak indikator di bidang kesehatan (misalnya kunjungan ke Posyandu naik 3 persen, pemantauan pertumbuhan anak naik 5 persen, dan kegiatan imunisasi naik 0,3 persen) dan indikator pendidikan (misalnya kehadiran di kelas naik 0,2 persen).

PKH juga berhasil meningkatkan pengeluaran rumah tangga per bulan per kapita untuk pendidikan dan kesehatan. Analisis dampak lain yang membandingkan PKH dalam perlakuan terkendali (control treatment) dikeluarkan oleh World Bank (2010). Penelitian ini menyimpulkan adanya peningkatan akses pada fasilitas kesehatan di lokasi PKH. Kunjungan perempuan ke fasilitas kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan di lokasi PKH menunjukkan angka 7–9 persen lebih tinggi daripada di lokasi kendali lainnya. Jumlah anak balita Persyaratan menerima manfaat PKH meliputi ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan, bayi baru lahir dan batita yang menerima perawatan paska kelahiran dan pemeriksaan kesehatan, dan anak-anak usia 6 tahun hingga 18 tahun yang mendapatkan pendidikan wajib sembilan tahun.

Bantuan ini dibayarkan setiap tiga bulan. Antara tahun 2007 hingga tahun 2012, jumlah yang diterima per tahun berkisar Rp600.000 hingga maksimal Rp2,2 juta per tahun, tergantung pada status rumah tangga (dengan rata-rata Rp1,4 juta per rumah tangga per tahun). Pada tahun 2013 ada kenaikan jumlah yang diterima, dengan rata-rata menjadi Rp1,8 juta per rumah tangga per tahun. III.

 

Dampak PKH

Ada sangat banyak rujukan yang mencatat dampak program-program bantuan dana tunai bersyarat seperti PKH. Program-program ini terbukti meningkatkan capaian pendidikan rumah tangga miskin (Schultz, 2004) dan berdampak luas pula pada capaian pendidikan rumah tangga tidak miskin (Bobonis dan Finan, 2005); menciptakan dampak multiganda melalui investasi pada diri sendiri (Gertler, Martinez dan Rubio,2005); meningkatkan status kesehatan ibu dan anak (Gertler, 2004); menurunkan angka kurang gizi (Hoddinott dan Skoufi as, 2003); meningkatkan perekonomian setempat (Coady dan Harris, 2001); serta mengurangi kesenjangan dan kemiskinan (Soares et al., 2006). 3 Policy Research Brief yang ditimbang di fasilitas kesehatan juga 15–22 persen lebih tinggi di lokasi PKH. Melahirkan di fasilitas kesehatan, atau yang dibantu oleh petugas kesehatan (bidan atau dokter) pun menunjukkan sekitar 5–6 persen lebih tinggi di lokasi PKH dibandingkan dengan lokasi non-PKH. Kajian ini juga menyiratkan dampak PKH lebih kuat di daerah perkotaan, dimana terdapat lebih banyak fasilitas kesehatan dengan kualitas yang juga lebih baik ketimbang di perdesaan.

Dampak PKH juga terlihat meluas dengan adanya peningkatan akses kesehatan yang lebih tinggi pada rumah tanggga bukan peserta PKH di kecamatan lokasi PKH, ketimbang mereka yang berada di lokasi non-PKH. Namun begitu dalam hal pendidikan, evaluasi dampak tidak menunjukkan perbedaan besar dalam status pendidikan antara lokasi PKH dan lokasi non-PKH pada semua tingkatan wajib belajar sembilan tahun di Indonesia. Salah satu alasannya adalah tingkat pendaftaran masuk dan partisipasi di SD yang cukup tinggi, yaitu lebih dari 95 persen. Sedangkan pada tingkat SMP yang tingkat pendaftaran masuk sekolah sebenarnya tidak terlalu tinggi, PKH seharusnya menunjukan perbedaan dampak.

Namun fakta evaluasi menunjukkan PKH tidak memiliki dampak yang berarti sehingga menyiratkan adanya masalah yang perlu diatasi dalam program PKH. Mengacu pada masalah ini, terdapat kajian lain yang mengemukakan dua persoalan: i. jadwal pembayaran bantuan PKH tidak selalu tepat waktu; oleh karena itu, rumah tangga yang memiliki siswa yang lulus SD tidak memiliki cukup uang pada saat pendaftaran ke SMP; dan ii. bantuan PKH yang tersedia untuk elemen pendidikan tidak cukup untuk pendaftaran masuk ke SMP. Tantangan lain yang dihadapi oleh PKH adalah adanya evaluasi yang menjukkan bahwa PKH tidak memiliki dampak apapun terhadap berkurangnya jumlah pekerja anak. Hal ini karena mekanisme PKH kurang memadai dalam mengatasi persoalan ini. Selain itu, jumlah bantuan PKH yang diterima dianggap tidak cukup memberikan insentif bagi anak-anak tersebut untuk berhenti bekerja dan kembali bersekolah.

Dilihat dari sisi konsumsi, kajian ini menunjukkan antara tahun 2007-2009 rumah tangga PKH mengalami kenaikan rata-rata konsumsi bulanan sebesar 10 persen. Dana yang diterima oleh rumah tangga PKH biasanya digunakan untuk konsumsi harian dan pengeluaran pendidikan (untuk belanja seragam, transportasi). Beberapa rumah tangga juga menggunakan bantuan ini untuk memperbaiki kondisi rumah mereka dan membayar hutang. Berhutang, selain menjual aset dan mengurangi konsumsi, merupakan salah satu mekanisme bertahan hidup bagi rumah tangga miskin. IV.

 

Tantangan Strategi PKH

Ada beberapa tantangan strategis yang dihadapi oleh PKH di masa depan. Tantangan-tantangan ini dapat dikategorikan menjadi tiga persoalan: i. Perluasan cakupan dan pendirian kelembagaan; ii. strategi pengakhiran (exit strategy) dan lepas dari program; an iii. masalah saling melengkapi (komplementaritas) dengan program lain. Perluasan Cakupan dan Pendirian Kelembagaan Hasil evaluasi dampak PKH yang disebutkan di atas menjadi dasar dalam melanjutkan perluasan bantuan dana tunai bersyarat di Indonesia. Idealnya, sebagai program penanggulangan kemiskinan, PKH harus menjangkau semua rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasar Basis Data Terpadu (BDT) terdapat sekitar 7,2 juta rumah tangga yang berada pada posisi tersebut di tahun 2011. Namun begitu saat ini pemerintah menetapkan 3,2 juta rumah tangga penerima bantuan hingga akhir tahun 2014 yang artinya hanya menjangkau kurang dari setengah proyeksi jumlah rumah tangga miskin. Upaya memperluas cakupan PKH menjadi semakin rumit ketika kita mempertimbangkan lokasi baru mana saja yang harus dijangkau.

Sebagaimana yang diperlihatkan dalam Tabel 1, walaupun PKH beroperasi di semua provinsi pada tahun 2012, program ini tidak menjangkau semua kabupaten/kota, dengan demikian tidak menjangkau semua kecamatan atau desa. Strategi perluasan PKH perlu menggabungkan dua fi tur penting. Pertama, perlunya menerapkan program ini di tingkat nasional. Jika semua provinsi tergabung ke dalam program ini, idealnya PKH beroperasi di seluruh 497 kabupaten/kota di Indonesia. Itu direncanakan untuk tahun 2013. Kedua, perluasan PKH juga perlu mempertimbangkan sudut pandang lain yang mampu mendukung efesiensi operasionalnya. Artinya, PKH perlu ada hingga ke tingkat kecamatan di semua lokasi PKH sekarang. Sebagaimana yang terlihat di Tabel 1, saat ini PKH tidak beroperasi di semua desa dalam satu kecamatan. Tentunya, penekanan yang terlalu besar pada prinsip pemenuhan cakupan akan menghambat tujuan cakupan nasional, dan juga sebaliknya. Perluasan program juga membutuhkan sumber daya manusia yang memadai.

Pada tahun 2012, PKH mempekerjakan sekitar 6.700 fasilitator. Sekretariat TNP2K memperkirakan jumlah ideal untuk melayani 3 juta rumah tangga penerima bantuan setidaknya 12.500 fasilitator. Pusat-pusat teknologi informasi yang saat ini tersebar di kantor-kantor bupati sebaiknya ditangani di tingkat provinsi guna meningkatkan efi siensi penyelenggaraan program. Fitur penting lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah mekanisme pembayarannya.

Pembayaran saat ini dilakukan melalui kantor pos. Jika PKH akan diperluas, pembayaran harus dilakukan melalui bank. Rumah tangga yang sangat miskin saat ini memang tidak memiliki rekening bank, tetapi pembayaran melalui bank akan memberi manfaat kepada mereka, karena mereka dapat belajar menabung, dan tabungan dapat digunakan di kemudian hari, ketimbang menghabiskannya untuk konsumsi.

Program bantuan tunai bersyarat biasanya membutuhkan sistem informasi manajemen yang menyeluruh. Oleh karena itu, penyelenggara PKH harus memberikan perhatian pada peningkatan sistem informasi manajemennya. Strategi Pengakhiran dan Lepas dari Program PKH memiliki tujuan ganda, yaitu penanggulangan kemiskinan jangka pendek dan pembangunan modal manusia jangka panjang. Dapat dipahami bahwa PKH sebaiknya tidak menciptakan ketergantungan jangka panjang; oleh karena itu, strategi pengakhiran (exit strategy) penting bagi keberhasilan operasi program ini. Strategi pengakhiran ini juga erat 4 International Policy Centre for Inclusive Growth hubungannya dengan keadilan horizontal, dimana dengan keluarnya mereka dari program akan memberi kesempatan kepada rumah tangga lain yang belum menerima bantuan.

Sebagai program yang dirancang untuk menanggulangi kemiskinan jangka pendek, PKH menetapkan berakhirnya kepesertaan penerima manfaat jika:  mereka tidak lagi memenuhi persyaratan kelayakan;Ÿ  mereka tidak miskin lagi; atauŸ  mereka telah mencapai batas waktu enam tahun sebagaiŸ penerima manfaat. Keluar dari program dikarenakan alasan pertama merupakan hal yang umum. Misalnya seorang anak yang menyelesaikan pendidikan sembilan tahun tidak akan menerima bantuan dari PKH lagi. Namun, alasan kedua agak rumit. Karena, program ini perlu pengawasan terus-menerus guna mengidentifi kasi rumah tangga yang akan terlepas dari program ini. Kegiatan resertifi kasi terjadwal dapat menjadi pilihan untuk pengawasan. Namun, ada alasan lain mengapa keluar dari program berdasarkan alasan ini dapat dianggap agak rumit – yaitu, penghasilan beberapa rumah tangga berfl uktuasi di seputar garis kemiskinan. Rumah tangga yang berada di seputar garis kemiskinan masih sangat rentan terhadap goncangan ekonomi. PKH sebaiknya tidak melepaskan rumah tangga dari program jika ada kemungkinan besar rumah tangga tersebut akan berada di bawah garis kemiskinan kembali dikarenakan ketidakmampuan mereka menopang diri mereka sendiri setelah keluar dari program ini.

Alasan ketiga untuk keluar dari program, batas enam tahun, merupakan aturan termudah untuk ditegakkan tetapi tidak sesuai untuk PKH sebagai program transformasi sosial. Kemampuan suatu rumah tangga atau individu keluar dari kemiskinan parah terwujud dalam konteks, dan dengan demikian, dibentuk oleh, dinamika di dalam rumah tangga dan konteks sosial, ekonomi dan politik yang lebih luas dimana rumah tangga hidup (misalnya daerah yang memiliki prasarana yang tidak memadai, atau layanan yang terkena dampak bencana). Gelombang pertama penerima bantuan PKH — yaitu kelompok tahun 2007 — seharusnya tidak lagi menjadi bagian dari program ini sejak tahun 2013, karena mereka telah berada dalam program ini selama enam tahun.

Namun, ada pertimbangan bahwa penghentian selamanya kelompok pertama tanpa persiapan bukan keputusan terbaik bagi rumah tangga ataupun bagi program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Strategi harus dikembangkan terlebih dahulu guna memastikan bahwa PKH merupakan cara terbaik dalam mengatasi kebutuhan rumah tangga penerima bantuan program ini dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia pada umumnya. Strategi seperti ini disebut Proses Transformasi. Dalam proses ini, resertifi kasi tahunan akan dilakukan di tahun kelima partisipasi guna mengkaji status penghasilan rumah tangga. Resertifi kasi merupakan proses mengkaji status sosial dan ekonomi penerima bantuan PKH guna menentukan apakah mereka masih layak ikut dalam program berdasarkan status kemiskinan mereka.

Resertifi kasi untuk PKH juga akan dirancang untuk mengkaji faktor-faktor lain yang mempengaruhi kapasitas penerima bantuan PKH untuk keluar dari kemiskinan. Data yang diperoleh dari hasil resertifi kasi kemudian akan digunakan guna menetapkan kelanjutan partisipasi rumah tangga dalam program ini. Selain itu, resertifi kasi dapat mengumpulkan informasi tentang akses yang dimiliki oleh penerima bantuan ke bantuan sosial pelengkap atau program pengentasan kemiskinan yang akan digunakan dalam mengembangkan strategi pengakhiran. Resertifi kasi di tahun kelima partisipasi dalam PKH akan memberikan cukup waktu kepada pengelola PKH untuk menyiapkan fase transformasi selanjutnya, dengan aturan-aturan berikut ini:

Rumah tangga PKH yang, berdasarkan hasil resertifi kasi,Ÿ masih miskin (berada di 10 persen terbawah rumah tangga dalam BDT) dan memenuhi kriteria kelayakan PKH akan masuk dalam fase transisi. Rumah tangga-rumah tangga ini akan menerima bantuan dana untuk tiga tahun lagi, bersama dengan program perlindungan sosial lainnya seperti Jamkesmas (asuransi kesehatan), BSM (bantuan pendidikan), Raskin (beras bersubsidi bagi rumah tangga miskin) dan lain-lain. Dalam proses transisi tiga tahun, penerima bantuan akan menerima jumlah bantuan dana yang sama seperti yang diterima penerima bantuan PKH lainnya. Setelah tiga tahun dalam fase transisi, penerima bantuan otomatis akan keluar dari program tanpa proses resertifi kasi.

Penerima bantuan PKH yang, berdasarkan resertifi kasi,Ÿ tidak lagi miskin (yaitu di atas 10 persen terbawah rumah tangga dalam BDT) dan/atau tidak lagi memenuhi kriteria kelayakan PKH tidak akan menerima PKH dan akan masuk dalam fase pelepasan, dimana mereka akan terus menerima program perlindungan sosial lainnya seperti Jamkesmas, BSM dan Raskin, serta program peningkatan penghidupan dan pengurangan kemiskinan lainnya yang tersedia. Keberhasilan strategi transformasi di atas akan tergantung pada sejumlah faktor kunci. Pertama, kegiatan resertifi kasi harus rutin dilaksanakan untuk tiap kelompok — kecuali pertama kalinya, karena kelompok tahun 2007 dan 2008 akan diresertifi kasi bersamaan, karena kelompok pertama telah melewati titik enam tahun.

Kedua, PKH harus memastikan kesiapan program perlindungan sosial lainnya sehingga dapat membawa rumah tangga yang telah lepas dari PKH ke dalam program mereka masing-masing. Koordinasi lintas program merupakan keharusan. Ketiga, sosialisasi intensif – yang dipahami sebagai proses memberikan informasi kepada penerima bantuan tentang aturan operasional program – harus dilakukan bagi penerima bantuan.

 

Masalah Saling Melengkapi (komplementaritas) dengan Program Kemiskinan Lain

Program-program penanggulangan kemiskinan di Indonesia dibagi menjadi tiga kelompok (disebut klaster) yang berbeda. PKH adalah salah satu dari beberapa program dalam Klaster 1 program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Klaster 1 adalah program yang menyasar individu dan rumah tangga. Program lain dalam Klaster 1 adalah Raskin (beras bersubsidi), Jamkesmas (asuransi kesehatan) dan BSM (bantuan dana pendidikan). Klaster 2 terdiri dari beberapa program PNPM, yang merupakan sekumpulan program pembangunan yang didorong oleh masyarakat (community driven). Klaster 3 adalah pengembangan usaha mikro dan usaha kecil melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang pada dasarnya merupakan program jaminan kredit yang diselenggarakan oleh bank-bank pemerintah dan swasta yang berpartisipasi. Ada dua dugaan tentang komplementaritas (saling melengkapi), yang akan dibahas di bawah ini.

Pertama, dalam hal cakupan — yaitu penduduk termiskin harus menerima, 5 Policy Research Brief dengan cara yang terpadu, semua program Klaster 1; kedua, dalam hal operasi program. Hingga tahun 2011, komplementaritas program merupakan hal yang sangat menantang di Indonesia, terlihat dari fakta bahwa tiap program memiliki basis data penerima bantuan masingmasing. Berbicara tentang konsep, karena PKH menjangkau rumah tangga yang sangat miskin dalam sebarannya, dan cakupannya merupakan yang terendah di antara programprogram Klaster 1 lainnya, maka semua penerima bantuan PKH seharusnya juga menerima Raskin, Jamkesmas dan BSM. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Meski begitu, ada upaya untuk memastikan bahwa program-program ini saling melengkapi.

Misalnya, pada tahun 2009 Menteri Kesehatan mengeluarkan instruksi bagi semua fasilitas kesehatan bahwa semua anggota rumah tangga PKH juga harus dicakup dalam Jamkesmas; oleh karena itu, kartu PKH cukup bagi anggota rumah tangga PKH untuk mendapatkan layanan kesehatan bebas biaya di fasilitas kesehatan manapun. Contoh lain tentang komplementaritas adalah antara PKH dengan BSM. Untuk tahun 2010 dan tahun 2011, penyelenggara PKH menarik daftar nama dan alamat anak-anak PKH di sekolah, yang difasilitasi oleh Sekretariat TNP2K, kemudian daftar tersebut diberikan kepada Kementerian Pendidikan dan Budaya untuk dimasukkan dalam daftar penerima bantuan BSM. Komplementaritas program seperti ini bersifat ad hoc, dan tidak menjamin pelaksanaan jangka panjang yang sistematis.

Dalam contoh koordinasi antara PKH dengan Jamkesmas, cakupan PKH diperluas setiap tahun, dengan begitu terdapat lokasi-lokasi baru, yang tidak terdata di program Jamkesmas. Akibatnya, masih banyak keluhan mengenai ditolaknya pemegang kartu PKH dalam memperoleh layanan kesehatan. Dasar bagi cakupan yang saling melengkapi dimulai ketika Indonesia mempersiapkan pendaftaran tunggal nasional, BDT, pada tahun 2011. Pendaftaran ini seharusnya memastikan cakupan yang saling melengkapi agar dapat dipertahankan.

Sejak tahun 2012 semua nama dan alamat yang diajukan ke PKH untuk perluasan program ini juga telah dimasukkan dalam penetapan sasaran untuk Jamkesmas, Raskin dan BSM. Berbagai kementerian yang berbeda masih menyelenggarakan program-program ini secara terpisah, tetapi sasaran individu dan/atau rumah tangga untuk tiap program berasal dari BDT nasional yang sama. Sudut pandang lain tentang komplementaritas adalah dalam hal tujuan program. PKH dimaksudkan untuk memberikan tambahan dana mengurangi beban pengeluaran rumah tangga.

Namun, program ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas modal manusia melalui, antara lain, akses ke fasilitas kesehatan dan pendidikan. Untuk itu, PKH beroperasi dengan fasilitator dalam membantu rumah tangga miskin. Peran fasilitator seharusnya lebih dari sekedar melayani rumah tangga miskin berkenaan dengan layanan PKH. Fasilitator diharapkan mampu membantu peserta PKH dalam mengakses berbagai layanan publik dan kegiatan pembangunan. Selayaknya fasilitator PKH merupakan agen yang tepat untuk memastikan bahwa rumah tangga PKH berhak membeli jatah beras Raskin dengan harga yang sesungguhnya.

Mereka juga harus berhubungan erat dengan fasilitator PNPM yang memungkinkan rumah tangga PKH aktif berpartisipasi serta suaranya lebih didengarkan selama pertemuan perencanaan desa. Fasilitator juga dapat berperan penting dalam hubungan antara PKH dengan BSM. Peran penting ini merupakan tambahan bagi pernyataan resmi dalam Pedoman BSM yang memasukkan secara otomatis anak-anak rumah tangga PKH dalam program BSM. Intinya, fasilitasi sebaiknya tidak berfokus semata-mata pada operasi internal program saja.

PKH juga dapat berfungsi sebagai focal point yang dapat digunakan oleh rumah tangga miskin dalam mengakses semua layanan publik di lokasi mereka. Bukan hanya pelayanan kesehatan dan pendidikan saja, namun juga layanan seperti partisipasi masyarakat, pendaftaran untuk tujuan identifi kasi dan dokumen sipil lainnya, akses pekerjaan padat karya untuk pemeliharaan prasarana setempat dan lain-lain. Jika PKH ingin bertransformasi menjadi focal point, koordinasi erat dengan badan pemerintah lain, di tingkat pusat dan daerah, sangat dibutuhkan. Persoalan penting lain dalam komplementaritas program berasal dari fakta bahwa PKH sangat mengandalkan keberadaan prasarana seperti sekolah dan fasilitas kesehatan. Di lokasi-lokasi yang tidak cukup memiliki prasarana yang demikian, PKH tidak akan berhasil menjadi program bantuan dana tunai bersyarat.

Oleh karena itu, perluasan PKH juga harus memperhatikan ketersediaan prasarana di lokasi tersebut. Namun, tantangannya adalah bahwa ketersediaan prasarana di suatu lokasi tertentu tidak tergantung hanya pada pemerintah pusat.

Dalam banyak kasus, prasarana juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah; karenanya, kerja sama dengan pemerintah daerah merupakan langkah yang sangat penting.

 

Penutup

Walaupun telah berjalan selama tujuh tahun, PKH Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Program ini masih perlu diperluas sehingga mampu mencakup sebagian besar rumah tangga miskin di Indonesia; program ini memerlukan banyak peningkatan efi siensi; harapan-harapan yang ada pun harus mempertimbangkan proses pelepasan dan transisi bagi penerima manfaat PKH; dan yang terakhir, PKH perlu meningkatkan koordinasinya dengan program-program penanggulangan kemiskinan dan perlindungan sosial lainnya.

Disamping tantangan-tantangan tersebut, PKH tetap menjadi program yang sangat penting bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Bagaimanapun reformasi program yang efesien dan efektif masih dibutuhkan secara terus menerus.

WBN

Share It.....