
Oleh : Ermelinda Noh Wea – Ket. Harian Pemuda Katolik Komisariat Cabang Nagekeo.
Tanggal 22 Mei 2025 menandai usia ke-67 Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA), sebuah tonggak penting dalam perjalanan panjang organisasi yang berkomitmen menghadirkan kontribusi nyata bagi Gereja dan bangsa.
Dalam usia yang semakin matang ini, ISKA dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan: era digital yang disruptif, krisis etika di ruang publik, polarisasi sosial-politik, dan ancaman terhadap keberagaman yang menjadi fondasi negeri ini.
Namun, tantangan itu sekaligus merupakan panggilan: untuk hadir, bersuara, dan bertindak sebagai “Terang dan garam dunia”.
Sebagai organisasi yang mewadahi para sarjana Katolik lintas bidang, ISKA bukan hanya sekadar wadah berhimpun. ISKA adalah panggilan misi.
Dalam ajaran Gereja, kaum intelektual Katolik dipanggil untuk tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga menjadi pewarta nilai-nilai Kristiani di tengah dunia sekuler termasuk di bidang politik, ekonomi, hukum, dan budaya. ISKA selama ini telah mengambil peran itu melalui berbagai forum ilmiah, kajian kebijakan publik, hingga advokasi moral dan sosial.
Namun dalam usianya yang ke-67 ini, peran tersebut perlu diperkuat dan diperluas.
Pertanyaan reflektif yang penting kita ajukan pada momentum perayaan ini adalah: dimana ISKA berdiri di tengah dinamika bangsa saat ini? Ketika suara kebenaran kadang dibungkam oleh pragmatisme politik, dan ketika kaum muda kehilangan panutan dalam dunia kerja yang kian kompetitif namun miskin etika, ISKA seharusnya menjadi pelita.
Suara ISKA yang berakar pada iman dan intelektualitas harus lebih lantang dan relevan.
Kita membutuhkan lebih banyak kader ISKA yang hadir sebagai pengambil kebijakan yang jujur, pendidik yang inspiratif, profesional yang berintegritas, dan aktivis sosial yang setia pada keadilan dan perdamaian. ISKA harus berani keluar dari zona nyaman dan melibatkan diri dalam ruang-ruang strategis di masyarakat.
Sebab seperti dikatakan Almarhum Bapa Suci Paus Fransiskus, “Kita tidak bisa hanya menjadi penonton dalam dunia yang terluka ini.”
Dies Natalis ke-67 ini harus menjadi momentum pembaruan. Tiga hal kiranya menjadi penting untuk ditegaskan kembali:
1. Kolaborasi lintas iman dan keilmuan. Di tengah meningkatnya polarisasi, ISKA harus menjadi jembatan dialog bukan hanya antaragama, tetapi juga antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual. Keutuhan ciptaan, keadilan sosial, dan demokrasi yang sehat membutuhkan kontribusi dari semua elemen bangsa.
2. Keberanian untuk bersuara dan bersikap. Dunia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berani menyuarakan kebenaran, meskipun tidak populer. ISKA perlu hadir dengan suara kenabian di tengah ketimpangan dan krisis nilai.
3. Kesaksian dalam kehidupan sehari-hari. Sarjana Katolik tidak hanya dipanggil untuk bicara, tetapi juga menjadi teladan. Integritas, kejujuran, dan pelayanan harus menjadi identitas yang melekat dalam diri setiap anggota ISKA.
Dies Natalis bukan sekadar perayaan nostalgia, melainkan momentum untuk merefleksikan jati diri dan memperbarui komitmen. Di usia ke-67 ini, ISKA harus semakin teguh menjadi kekuatan moral dan intelektual yang mampu memberi arah dan harapan di tengah derasnya arus zaman.
Mari kita rayakan Dies Natalis ini dengan semangat baru tidak hanya bangga menjadi bagian dari ISKA, tetapi siap melanjutkan warisan mulia dengan kerja nyata. Karena masa depan bangsa ini juga ada di tangan para sarjana Katolik yang setia pada iman, cerdas dalam berpikir, dan rendah hati dalam melayani.
Pro Ecclesia Et Patria!
Pro Bono Publico!