Penulis Jacob Ereste
Upacara adat Salai Jin — tarian adat penolak penyakit — dirayakan setiap lima tahunan oleh Kesultanan Ternate kali ini di Pulau Hari Maluku Utara dengan tema “Peran Strategis Keraton se- Nusantara Sebagai Pilar Budaya Dalam Penguatan NKRI”, 30 Oktober 2021. Acara adat ini pun dilaksanakan Ratu Boki secara webinar pada waktu yang sama
Bersama Dewan Keraton Nasional di Sekretariat Kahmi Jl. Turi 1 No.14 Rawa Barat, Kebayoran Baru Jakarta Selatan.
Tari Salai Jin yang menandai upacara adat dari Kesultanan Ternate ini sungguh mistis. Boki Ratu Nita Budhi Susanti SE., MM., adalah istri Sultan Ternate, Mudadar Syah. Tampak hadir juga Putra Mahkota Kesultanan dari putra kembarnya sebagai penerus tahta Kesultanan Ternate, yaitu Ali Muhamad Tajul-Mulk Putra Mudafar Syah dan Gajah Mada Satria Nagara Putra Mudhafar Syah.
Tampak hadir pula tokoh penggagas Gerakan Kebangkitan Kesadaran Spiritual Indonesia, Eko Sriyanto Galgendu diantara tamu dan undangan lainnya sambil menyaksikan siaran langsung upara adat yang berlangsung secara bersamaan di ujung pelosok dari Kesultanan Ternate nun jauh disana itu.
Acara perayaan adat Ternate ini langsung dibuka dan disambut Boki Ratu Nita Budhi Susanti yang mengurai sabda raja — seperti sabdo pandita ratu dari lingkungan Raja Jawa — katanya berdasarkan atas petunjuk yang bisa dipertanggung jawabkan secara lahir dan bathin. Dan eksistensi Kesultanan Ternate yang hampir 1000 tahun usia sampai sekarang, menjadi saksi sejarah dari budaya suku bangsa nusantara — yang kemudian bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hukum adat dapat terus dijaga dan dipelihara agar untuk dapat menyelesaikan masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh hukum formal (negara). “Hukum adat bisa berperan maksimal untuk mengatasi masalah bangsa”, tandas Boki Ratu Nita meyakinkan. Karena tidak semua masalah bangsa dan negara dapat diselesaikan secara hukum negara, imbuhnya.
Karena kontribusi dari keragaman budaya bangsa Indonesia seperti tetap dipelihara di lingkungan Kesultanan Ternate merupakan anugrah dari Tuhan yang patut dijaga dan dilestarikan serta dijaga wibawa dan kharismanya, karena budaya warisan para keluhur itu merupakan bagian dari keperibadian bangsa Indonesia.
Paduka Raja Siau Prince John FES Kansil dari Sulawesi Utara ikut mengungkap Eksistensi Keraton dan Keragaman Budaya Dalam Penguatan NKRI. Sedangkan Profesor Dr. Gatot Dwi Hendro Wibowo, guru besar Universitas Mataram mengurai “Sistem Hukum Adat Di Tengah Pusaran Hukum Nasional dan Kepentingan Ekonomi”.
Koordinator Nasional IBPI (Ikatan Budayawan Profesional Indonesia), Shri Lalu Gde Pharma mengurai “Warisan Pengetahuan Kerajaan Nusantara : Paradigma, Nalar & Seni Memahaminya”
“Kebijakan Negara Dalam Upaya Melestarikan Eksistensi Kraton Untuk NKRI”, dipaparkan oleh Prof. DR. Zainuddin Maliki, Anggota Komisi X Fraksi PAN DPR RI.
Sedangkan Prof. Dr. Anna Mariana, Ketua Dewan Keraton Nadional menyingkap “Kain Tenun, Songket, Budaya Tradisional Warisan Leluhur Bangsa Indonesia Sebagai Benteng Ketahanan Sandang dan Jati Diri Bangsa serta Prospek di Pasar Dunia”.
Ikhwal Tenun dan Songket, seperti Ulos dari Batak, kain Tapis dari Lampung memiliki nilai filisofis yang tinggi sebagai simbolika dari jalinan keluarga, persaudaraan dan kekerabatan dari budaya suku bangsa nusantara yang kemudian sepakat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena akar budaya bangsa Indonesia yang kuat dan luhur itu tersemai dalam masyarakat keraton hingga lingkngan warga masyarakat kebanyakan.
Karena itu agaknya, Indonesia sendiri merasa tidak perlu memiliki skenario budaya untuk masa depan, seperti dikatakan Shri Gde Pharma, karena dominan mengandalkan pada budaya keraton dan tumbuh secara alami dari masyarakat adat maupun masyarakat kebanyakan seperti Songket, Ulos, ikan dan beragam jenis tenunan khas yang menyiratkan persatuan dalam satu ikatan yang kuat, seperti kain ikat. ***