Kitab Sakral Manusia Dhawe Di Nagekeo Flores : Perintah Iman Dan Lestari Alam
Rumah Adat Dhawe di (Kampung) Ola Dhawe, dalam wilayah Kecamatan Aesesa, Kab.Nagekeo Pulau Flores. Kampung Adat Dhawe jaraknya sekitar 8km-10 km dari Kota Mba, Ibu Kota Kab.Nagekeo)

Pers Warisan Budaya Nusantara

Kisah Manusia Sakral bernama Dhawe (Laki-laki) dan Dhengi (Perempuan).

Dhawe dan Dhengi dikisahkan adalah dua insan yatim piatu. Keduanya hidup bersama orang-orang dalam sebuah tatanan kehidupan di kampung. Kisah ini dirangkum dari tutur sejarah sejumlah Pemangku Adat Budaya Ola Dhawe di Kabupaten Nagekeo Pulau Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Dikisahkan secara turun temurun dan dilestarikan dalam budaya Dhawe, bahwa Dhawe dan Dhengi hidup sebagai petani biasa di perkampungan. Dhawe dan Dhengi berladang di tempat yang jauh dari jangkauan penduduk kampung setempat.

Pada suatu waktu, saat jagung di kebun Dhawe dan Dhengi mulai matang atau menyongsong panenan, setiap malam tiba, kawanan babi hutan masuk ke kebun Dhawe Dhengi dan memakan jagung serta tanaman yang ada di dalam kebun Dhawe dan Dhengi.

Menghadapi ancaman hasil-hasil tanaman mereka akan segera habis akibat dimakan oleh babi-babi hutan, maka seorang diri Dhawe bersama seekor anjing kesayangannya bernama Ebo Rua, bergegas menuju kebun untuk melakukan pengawasan, patroli dan penjagaan.

Namun, meski sudah dilakukan penjagaan, ternyata setiap malam tiba, babi-babi hutan masih terus berusaha memasuki kebun Dhawe dan Dhengi.

Hingga pada suatu malam tiba, babi-babi hutan itu kembali masuk ke kebun Dhawe dan Dhengi. Melihat babi-babi hutan memasuki kebunnya, Dhawe mulai memberikan isyarat kepada anjing kesayangannya bernama Ebo Rua, untuk memulai pengejaran pada babi-babi hutan.

Mendapat isyarat dari sang majikan, anjing Ebo Rua pun mulai berburu mengejar. Namun, pengejaran yang dilakukan anjing kesayangan bernama Ebo Rua itu akhirnya tertuju khusus pada seekor babi betina besar.

Pengejaran terus dilakukan, babi-babi hutan pun lari terbirit-birit meluputkan diri dari ancaman anjing yang bernama Ebo Rua, hingga babi-babi hutan memasuki sarang persembunyian terakhir yakni sebuah gua. Ebu Rua terus mengejar hingga masuk ke gua persembunyian terakhir babi-babi hutan itu,

Mengetahui perburuan sang anjing kesayangan kian menjauh bahkan hingga memasuki sebuah gua, Dhawe pun mengikuti jejak kemana perginya anjing kesayangannya Ebo Rua.

Dengan bermodalkan jejak dan suara gonggongan yang diketahuinya, Dhawe menuju ke gua itu dengan membawa serta tombak yang telah sebelumnya disediakan.

Namun, setelah tiba di gua yang dituju, diluar perkiraanya, Dhawe sangat terkejut, sebab ketika diintipnya ternyata yang terjadi dalam gua tidak seperti yang dikira biasanya anjing menggigit babi ataupun sebaliknya babi hutan mencabik-cabik anjing yang memburunya.

Dhawe mengintip ke dalam gua dan melihat betapa ajaibnya peristiwa yang sedang terjadi di depan matanya. Dhawe melihat babi-babi hutan itu sedang bercakap-cakap dalam bahasa manusia (bahasa daerah setempat). Babi-babi hutan itu bercakap-cakap dengan anjingnya yang bernama Ebo Rua.

Dhawe menyaksikan babi hutan itu sedang berkata-kata kepada Ebo Rua, menjelaskan mengapa mereka mencari makanan untuk dimakan sepuas-puasnya.

Kata Babi : Hai Anjing, jangan kau buru kami. Sebab, kami mau makan sepuasnya bersama anak-anak kami, sebab tujuh hari lagi air laut akan naik dan penuhi isi bumi ini. Kita semua pasti akan mati. Tidak hanya kita binatang, tetapi manusia juga akan musnah. Dan harus kau ketahui bahwa air laut naik memenuhi isi bumi adalah karena ulah manusia sehingga Tuhan semesta alam sudah sangat marah dan mengutuk kebiadaban perbuatan manusia. Sudah dua kali Ga’e Bapu (Tuhan dalam bahasa daerah Nagekeo : Ga’e Bapu) menyiksa karena perbuatan manusia :

Pertama, dahulu pada awalnya hubungan manusia sangat beradab, bermartabat dan sangat akrab. Tumbuhan “balang” menjadi penolong manusia, jika manusia ketiadaan api, bisa ambil di langit, dimana tempat Tuhan Semesta tinggal. Sebab, tumbuhan berada dimana-mana seperti manusia berada dimana-mana, tumbuhan pun sama, sebab fungsinya untuk menolong kehidupan manusia. Tetapi, manusia tidak takut kepada Tuhan Raja Semesta. Manusia justeru lebih takut kepada setan (Setan atau Polo, dalam bahasa setempat).

Maka Tuhan memutuskan semua tali balang pada semua sisi permukaan bumi ini, maka terputuslah hubungan langsung langit dan bumi, Tuhan dan manusia.

Kedua, meskipun telah putus hubungan langsung antara langit dan bumi, antara Tuhan dan manusia, tetapi Tuhan tetap mencintai manusia, Tuhan tetap memberikan hujan yang teratur, agar manusia sadar dan dapat hidup baik. Tuhan memberikan itu semua agar manusia tidak perlu takut akan kekurangan makanan, sebab Tuhan memberikan hujan dan panas yang teratur untuk kehidupan di bumi ini. Tetapi semakin lama, manusia bukannya sadar, namun semakin tidak taat pada Tuhan Raja Alam Semesta. Manusia memotong kayu-kayu besar, hutan yang hijau dirusakan, rumput-rumput dibakar, manusia berbuat sesuka hati mereka, seolah memperolok Tuhan dan mengusir Tuhan. Maka Tuhan kembali menyiksa manusia dengan cara tidak menurunkan hujan dari langit secara teratur, lalu manusia panik. Padi dan jagung dimakan habis, umbi-umbian juga digali habis, sampai manusia membagi-bagi kelompok untuk mencari dimana genangan dari air hujan. Setelah berhari-hari manusia mencari air, ditemukan sebuah kolam kecil dengan genangan air sangat jernih di dalamnya.

Di sekitar kolam itu tumbuh rumput-rumput yang sangat hijau, juga hutan belukar. Mereka mengamati situasi itu dan melihat diantara rimbunan belukar duduklah seorang manusia tua jompo, dia duduk bermenung diantara hutan belukar. Orang-orang lalu datang mengerumuni orang tua itu hendak bertanya asal muasalnya dari mana, dan untuk menanyakan dari mana dia menemukan kolam dengan air yang sangat jernih itu bersama rumput-rumput dan belukar yang sangat hijau.

Orang tua jompo itu lalu menjelaskan kepada mereka tentang mengapa hujan sudah tidak turun teratur dan mengapa banyak orang mati kelaparan.

“Akulah Ga’e Bapu (Tuhan Raja Semesta), yang kamu aniaya. Lihatlah ! Tubuh Ku penuh luka, akibat ulah perbuatan kamu yang semaunya memotong tumbuhan dan kayu-kayu besar, dimana disitu juga Aku berada. Lihatlah ! Kepala Ku tidak lagi memiliki mahkota dan rambut karena ulah kamu manusia semaunya membakar hutan dan rumput-rumput. Sebab, di rumput-rumput pun Aku berada. Aku berada dimana-mana, karena Aku Tuhan Raja Semesta Alam. Lihatlah juga seluruh tubuh Ku penuh dengan kotoran kamu manusia karena kamu manusia membuang kotoran pada batu-batu, pada pohon-pohon dan tumbuhan-tumbuhan. Aku akan memberi kamu hujan, jika kamu berjanji tidak lagi menebang hutan semau kalian manusia, tidak lagi membakar rumput serta membakar kotoran sekehendak kemauan kalian manusia”.

Setelah melihat dan mendengar langsung pesan dari orang tua jompo itu, semua yang menyaksikan kejadian itu berjanji bahwa tidak lagi mengulangi perbuatan yang sama dan merusak alam lingkungan.

Ketiga, namun sumpah janji kaum manusia itu dilupakan pada beberapa generasi penerus mereka, maka sekarang Ga’e Bapu mau menyiksa lagi manusia dengan air bah, dalam waktu tujuh hari kedepan”, kata Babi mengisahkan kepada anjing bernama Ebo Rua milik Dhawe, tentang siapa dan apa itu makluk yang bernama manusia.

Pers Warisan Budaya Nusantara, Editor : Aurelius Do’o

Keterangan Foto : Rumah Adat Dhawe di (Kampung) Ola Dhawe, dalam wilayah Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, NTT. Kampung Adat Dhawe berjarak sekitar 8km-10 km dari Kota Mbay, Ibu Kota Kab.Nagekeo)

Di sebelah rumah adat Dhawe nampak sebuah tempat rumah kecil, diyakini merupakan sisah-sisah atau puing perahu purbakala milik Dhawe, yang masih ada di puncak Kampung Dhawe yang terletak persis di atas puncak bukit. Sebuah Perahu yang digunakan oleh Dhawe  dan Dhengi pada saat air bah naik menutup daratan di masa lampau.   

Nantikan edisi lanjutan ……………………….

Share It.....