Oleh: Aurelius Do’o
Miras atau Minuman Keras adalah minuman beralkohol atau minuman yang mengandung etanol. Etanol adalah bahan psikoaktif dan konsumsinya menyebabkan penurunan kesadaran.
Di berbagai negara, penjualan minuman beralkohol dibatasi bagi kalangan tertentu saja. Umumnya orang-orang yang telah melewati batas usia tertentu diperbolehkan mengkonsumsi miras. Dan di sana kebanyakan minuman pabrikan atau racikan industri.
Bagaimana dengan Miras Produksi NTT?
Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu provinsi yang diketahui juga memiliki aneka tumbuhan alam cipataan Yang Maha Kuasa, seperti enau dan lain-lain yang menghasilkan minuman masyarakat seperti dikenal dengan sebutan moke, sopi, tua bhara atau tuak putih dan berbagai sebutan lainnya dalam wilayah NTT.
Secara turun temurun minuman-minuman seperti itu terus dilestarikan meski pada periode tertentu dibatasi dengan munculnya peraturan dan larangan. Namun, fakta menunjukan penyebarannya tetap tidak terkendali, bahkan semakin dibutuhkan dan semakin diproduksi secara diam-diam. Semakin langka, semakin dicari.
Berbagai kerawanan sosial ataupun sengketa perkelahian di tengah masyarakat, pesta-pesta warga disebut dipicu oleh konsumsi miras berlebihan. Dalam kalangan tertentu juga muncul istilah “minum harus sampai puas dan mabok baru itu disebut minum moke, tuak putih dan lain-lain.
Namun demikian, tidak semua kalangan di NTT mengamini hal yang sama.
Dengan rumus berpikir seperti ini, sesungguhnya mabok karena meminum minuman seperti miras produk NTT, sebenarnya mabok yang diakibatkan oleh keserakahan mengkonsumsi miras. Miras itu sendiri hanyalah produk olahan manusia yang ditentukan oleh manusia selaku makhluk berakal.
Lalu tetaplah manusia sendiri yang memastikan apakah miras seperti racun memabukan, sebaliknya apakah miras adalah juga zat yang dibutuhkan oleh tubuh manusia.
Jika diamati secara sungguh-sungguh, legal dan tidaknya miras sebenarnya lebih cenderung untuk mengontrol perilaku dan tabiat agar tidak merugikan manusia itu sendiri, apalagi merugikan orang lain.
Itulah sebenarnya fungsi instrumen yang diciptakan oleh manusia. Pada sisi lain, secara de facto miras di NTT memang hidup seusia kehidupan manusia itu sendiri.
Maka sesungguhnya bisa dilakukan terobosan Managemen Miras sebagai cara alternatif. Bisa juga titik penguatannya terletak pada hal-hal seperti pengendalian berbasis visi yang lebih jenial.
Sebelumnya fakta juga membuktikan bahwa mabok miras di era pelarangan miras tidak lebih baik dibanding era legal miras. Legal dan tidak legalnya miras sebenarnya menuntut kekayaan pikir dan berbagai metode yang bisa saja ditemukan untuk diseimbangkan.
Nah, ini yang akhirnya muncul. What next? Selanjutnya warga NTT menanti konsep dan strategi produktif seperti apa yang ditawarkan dan diterapkan pasca pencabutan pelarangan miras.
NTT melegalkan miras, sesungguhnya dapat dipahami juga dari sejumlah sudut pandang berbeda. Di antaranya kultur, berikutnya alam NTT yang memang kaya akan tumbuhan penghasil miras. Seterusnya miras lokal NTT juga terbukti berfungsi ekonomi sepanjang peradaban dari olahan tradisional yang dikendali langsung oleh para pengerajinnya.
Melegalkan miras dengan diikuti konsep ekonomi, instrumen pengaturan dan visi pemasaran yang baik, atau juga dipaketkan dengan hak-hak paten, sebenarnya juga dibutuhkan untuk mengkondisikan sebuah kondisi alternatif atas realita NTT.
Miras tidak mutlak sebagai zat yang dipenuhi dengan minor persepsi dan dampak buruk, tetapi miras juga bisa mempunyai managemennya. Tidak berhenti pada titik itu, pasti masyarakat menulis bagaimana NTT selanjutnya.
Pentingnya Managemen Miras
Managemen menurut para ahli adalah usaha untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan. Managemen juga merupakan suatu proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya.
Jika pada akhirnya Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur mencabut pelarangan miras, maka sesungguhnya dalam hemat penulis, Pemerintah NTT tidak sedang mengarahkan minuman miras untuk menghancurkan warga Nusa Tenggara Timur.
Mencabut pelarangan miras dengan sebuah konsep yang cerdas merupakan tujuan untuk kebaikan juga. Berbeda jika melegalkan miras untuk duduk menonton warga selanjutnya mabuk-mabukan miras.
Maka pesan pencabutan pelarangan miras, sebetulnya menghadirkan manajemen potensi yang bisa saja disasar kepada hal-hal potensial menguntungkan warga itu sendiri, baik dalam poin kesadaran dan kesehatan maupun hal pengendalian dan berbagai dampak ikutan lainnya, seperti ekonomi bagi para pengerajin, hak cipta atau hak paten produksi daerah, pengolahan asset kekayaan alam, pengaturan standar alkohol yang memperhatikan berbagai hal, termasuk sektor produksi berwawasan, dan seterusnya.
Sebaliknya mendefenisikan pencabutan miras sebagai sebuah langkah yang tidak menguntungkan dan atau juga seperti bencana, justeru bukanlah sebuah kekeliruan juga.
Kecemasan terhadap miras yang dilegalkan juga merupakan tantangan untuk menguji sejauhmana konsep dan ketepatan managemen miras Nusa Tenggara Timur dalam kendali kepemimpinan Viktor Laiskodat-Yoseph Nae Soi bersama segenap stake holders Nusa Tenggara Timur.
Miras NTT adalah Minuman Murni dari Tumbuhan Alamiah tanpa campuran kimia mengada-ada.
Miras Vs Managemen Miras
Penulis: Aurelius Do’o : Wartawan / Pemimpin Redaksi Pers Warisan Budaya Nusantara/WBN Cabang Prov. NTT, Dewan Redaktur Pelaksana WBN pusat).