WBN│Agenda Penertiban Aset Daerah dan Penataan Pasar Boawae, Kabupaten Nagekeo, Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang dipimpin langsung oleh Camat Boawae, Vitalis Bai, S.Pt (19/11/2021), ditunda tidak dilaksanakan, meski Camat setempat sudah mendatangkan alat berat guna melakukan pembersihan lapak untuk digeser ke sisi timur Pasar Boawae.
Disaksikan WBN (19/11), penundaan ini bukannya tanpa alasan, Ahli Waris Adat Suku Tegu Boawae, Baltasar Yosef, Ibu Fransiska Dede (70th) dan para pihak mendatangi Camat menyatakan sikap tegas, menolak penataan dan penertiban, sebab sejak dahulu kala status tanah sisi timur yang berdampingan dengan Pasar Boawae, merupakan lahan pertanian mereka yang berisikan tanaman jagung, sayur mayur beserta tanaman umur panjang lainnya.
Kepada Camat dan para pihak, Suku Tegu juga menguraikan sejarah Pasar Boawae, tanah yang berada di sisi timur pasar tidak pernah dijual kepada pihak mana pun termasuk Pemerintah Daerah.
Dikutip WBN, menurut salah satu warga saksi mata sejarah Pasar Boawae menguraikan, konon area lingkar luar Pasar Boawae merupakan arena pacuan kuda, dengan status tanah hak pakai, bukan hak milik.
Pasalnya, sejumlah pemilik tanah memberikan tanah dengan status hak pakai melalui tanda mata siri pinang berupa uang sekitar Rp.2 juta lebih pada masa itu.
Sementara, lahan sisi timur Pasar Boawae, sejak awal masa itu tidak diizinkan oleh Suku Tegu, sebab di tempat itu merupakan tanah mereka yang dipergunakan sebagai kebun pertanian untuk menopang ekonomi kehidupan.
Menurut Camat Boawae, Vitalis, Penertiban Aset dan Penataan Pasar Boawae merupakan kebutuhan mendesak yang patut dikerjakan dan sudah berdasarkan kajian hukum, yakni Sertifikat Hak Pakai Tanah dikantongi Pemda Nagekeo.
Agenda eksecusi menuai protes keras dari Suku Tegu, sebab selain sebagai pemilik tanah sisi timur pasar, mereka juga memastikan mereka adalah juga saksi-saksi sejarah yang masih hidup yang mengetahui sungguh-sungguh kebenaran sejarah Tanah Pasar Boawae.
Kepada Camat Boawae, mereka membuka kembali sejarah dan asal usul tanah adat Pasar Boawae. Suku Tegu juga mempertanyakan sertifikat hak pakai yang di dalamnya berisikan tanah mereka di sisi timur pasar, tercaplok masuk sebagai kawasan hak pakai milik Pemda Nagekeo.
Dugaan pencaplokan ditemukan dan terbaca melalui sertifikat hak pakai milik Pemda Nagekeo. Mereka mendesak Pemda harus bertanggungjawab atas dugaan pencaplokan ini, sebab sejak zaman dahulu tanah sisi timur Pasar Boawae tidak pernah diberikan kepada pihak manapun, termasuk kepada Pemda Nagekeo. Diduga kuat ada praktek manipulasi hak atas lahan milik Suku Tegu.
Atas perdebatan ini Pemda Nagekeo melalui Camat Boawae menyampaikan terimakasih kepada terimakasih kepada masyarakat atas saran, masukan pikiran maupun keberatan. Camat Boawae mengajak para pihak untuk bersama-sama menguraikan masalah dengan kepala dingin atau tidak emosional.
Dengan berbagai pertimbangan matang, Camat Boawae menunda eksecusi penertiban aset dan Penataan Pasar Boawae, dan mengajak para untuk pihak duduk bersama guna menemukan solusi-solusi terbaik untuk memecahkan persoalan tanah yang satu ini. Pada hari yang sama, hasil kesepakatan Warga Suku Tegu dengan Camat Boawae bersama Kepala Bidang Aset Pemda Nagekeo, Camat dan Kabid Aset diminta memediasi pertemuan diskusi Warga Suku Tegu bersama Bupati Nagekeo.
Menurut Camt Boawae, dalam agenda Penertiban Aset dan Penataan Pasar Boawae secara bertahab dipastikan juga akan mengeksecusi bangunan rumah yang masuk dalam kawasan Pasar Boawae karena Pemda Nagekeo mengantongi Sertifikat Hak Pakai lahan.
Berdasarkan Pasal 41 UUPA, Hak Pakai adalah hal menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Hak pakai diberikan berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang atau berdasarkan perjanjian dengan pemilik tanah.
Sertifikat Hak Pakai adalah sertifikat yang melegalkan pemanfaatan properti sesuai karakteristik hak pakai. Pihak yang memiliki sertifikat hak pakai memiliki hak untuk membangun atau mengembangkan properti, atau juga mengolah tanah untuk mendapatkan hasil produksi. Sertifikat hak pakai memiliki masa berlaku tertentu, dan dapat diperpanjang sesuai ketentuan yang berlaku antara pemilik tanah dan pemegang sertifikat.
Sedangkan Hak Milik adalah hak terkuat dan tertinggi atas tanah, bersifat turun-temurun, tetap, dan berlaku seumur hidup. Sertifikat Hak Milik memiliki kekuatan legalitas yang paling tinggi, sebab tanpa campur tangan pihak lain atas kepemilikan tanah.
Hak Pakai oleh Negara atau daerah tidak sama dengan negara “memiliki” atau hak milik atas tanah, namun berhak “menguasai” pengelolaannya demi kemakmuran rakyat.
Sesuai Pasal 45 PP No. 40/1996, jangka waktu sertifikat hak pakai atas tanah negara dan tanah hak pengelolaan adalah maksimal 25 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 20 tahun. Sementara itu jangka waktu pemanfaatan sertifikat hak pakai atas tanah milik perorangan adalah maksimal 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang.
Walau tidak dapat diperpanjang, sertifikat hak pakai atas tanah milik perorangan menurut pasal 49 ayat 2 PP No. 40/1996, dapat diperbaharui berdasarkan kesepakatan dengan pemegang hak milik atas tanah.
Streaming Liputan Pers WBN :
WBN│Editor-Aurel