WBN│ Penyelesaian urusan Tanah Warga Adat untuk Pembangunan Mega Proyek APBN Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Provinsi NTT, belum juga rampung hingga penghujung Bulan Desember 2021.
Rangkuman WBN, (20/12/2021), pada tanggal 14 Desember 2021, Warga Persekutuan Adat Labolewa kembali berinisiatif mendatangi Badan Pertanahan Kabupaten Nagekeo dan memberikan berbagai masukan serta harapan penanganan masalah secara berkeadilan, tepat guna dengan penegasan bahwa mereka sangat mendukung Pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo, namun tata cara pembangunan daerah tidak boleh melangkahi hak-hak warga masyarakat, dalam hal ini Warga Persekutuan Adat Labolewa, Nagekeo sebab tanah mereka mau dipakai untuk membangun waduk.
Rilis Penegasan Sikap Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa, Desa Labolewa Kabupaten Nagekeo kembali dilayangkan.
Berikut rilis dikutip redaksi media ini, (20/12/2021).
Menyatakan, mendukung pembangunan Waduk Lambo sebagai program strategis asional dan mempertanyakan kepastian luas areal genangan waduk, atas simpang siur keterangan luas genangan, menurut usulan Pemda Nagekeo kepmpinan Bupati Elias Djo luasnya 431,92Ha, sedangkan Pengumuman BWS sebagaimana dimuat dalam sebuah media resmi sejak tahun 2018 menyatakan luas 753,59 ha, sementara menurut Penlok Gubernur NTT, luas 592,59 ha, lalu menurut Kepala BPN luas 617 ha.
“Ada apa ini, informasi begini simpang siur, kalaupun berubah-ubah, yang berubah itu pada ulayat yang mana, pada kepemilikan siapa”, ungkap salah satu Tokoh Adat Labolewa, Urbanus Papu, (20/12).
Kami Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa menegaskan, bahwa Berita Acara Penyelesaian Sengketa Ulayat Kawa dengan Suku Nakarobho yang telah mengakui bahwa Bidang Tanah 196-199 adalah Ulayat Kawa, dan itu tertera dalam Berita Acara tanggal 26 November dan tanggal 29 November dengan Suku Rendu.
“Kami Masyarakat Adat Labolewa berpendapat bahwa telah terjadi praktek Kinerja Tim Pengadaaan Tanah sangat tidak prosedural dan cacat hukum. Dasarnya yakni, sejak awal pengadaan tanah tidak melibatkan pemegang ulayat dari Masyarakat Adat Kawa. Peran Kepala Desa sangat tidak transparan atas beberapa surat dari BPN dalam rangka keterlibatan masyarakat adat untuk pengukuran”, semua tokoh tegas Persekutuan Adat Labolewa.
Berikutnya, penandatangan Kwitansi Ganti Rugi dan Surat Pernyataan Pelepasan Hak tanggal 8 November 2021, merupakan kegiatan yang dipaksakan, sebab masih terjadi sengketa hak ulayat. Penandatangan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa mendorong Pemda Nagekeo untuk segera melakukan berbagai tindakan mediasi sengketa Ulayat Suku Ebudai, Ana Nuwa dan Tanah Warisan milik Wilhelmus Napa dengan pendekatan budaya “Puu Peo Wawo Nabe”.
BPN harus melalukan Pengukuran Ulang untuk Ulayat Kawa yang masuk dalam genangan, karena saat pengukuran awal tidak disertakan dan harus diawali dengan ritual di lokasi genangan untuk pemindahan lokasi ritual, termsuk dengan menjelaskan areal tambahan untuk bantalan, terowong dan saluran pembuangan.
Berikut tuntutan kepada BPN, tuntutan dari Kawa, dalam hal ini Tokoh Adat Urbanus Papu, Sensi Penga, Klemens Lay dan Ferdyn Ribo Rato, yakni1 BPN mengukur ulang lahan ulayat Kawa yang diperuntukan untuk pembangunan Waduk Lambo sesuai dengan berita acara. Sebab, identifikasi atau pengukuran awal tidak dilibatkan, sehingga tidak mengetahui secara pasti luas keseluruhan. Proses pengukuran ulang akan diritualkan, sebab berkaitan dengan Waduk Lambo, tanah yang digunakan adalah adat ulayat penyerahan tanah adat yang juga diatur dalam regulasi Indonesia Negeri beradat budaya, sehingga wajib hukumnya untuk diritualkan.
Masyarkat Adat Labolewa mendesak pihak Prtanahan segera memblokir kepemilikan lahan atas nama Dus Dhenga yg mengklaim Tanah Kawa sebagai miliknya, sebab perbuatan tersebut merupakan tindakan penggelapan tanah. Acuan Berita Acara yang menerangkan Tanah Ulayat Kawa termasuk tanah yang diklaim Dus Dhenga.
Apabila niat adan etika baik ini tidak direspon, maka Masyarakat Adat Kawa tidak akan melakukan penandatangan surat apapun yang berkaitan dengan penyerahan tanah atau surat ganti untung.
Selanjutnya, tuntutan Suku Ebu Dai, Markus Wolo, mendesak Pertanahan membatalkan proses kepemilikan sepihak oleh oknum yang mengatas namakan Suku Ebudai tanpa melalui musyawarah adat. Maka hal itu dianggap sebuah proses pengelapan Tanah Suku Ebu Dai.
Suku Ebu Dai mendesak Pertanahan dan pihak-pihak terkait untuk ikut serta ke rumah adat guna berdialog dengan seluruh masyarakat Suku Ebu Dai dengan oknum maupun Penggarap untuk pembuktian kepemilikan berdasarkan hukum adat dan sumpah adat suku. Sehingga pembangunan boleh dijalankan secara baik tanpa ada persoalan ikutan.
Berikut, dari Suku Lele, Wilem Napa, mendesak BPN membatalkan kepemilikan nama peta bidang atas Tanah Suku Lele, sebab kepemilikan sekarang bukan pihak sebenarnya, melainkan hanya penggarap. Tanah tersebut diberikan oleh Suku Ebu Dai sebagai hadia bantuan perang zaman dahulu kepada Suku Lele yang hingga saat ini dipercayakan kepada Wilem Napa. Pernyataan ini dibenarkan oleh saksi batas tanah Lele yang berdampingan dengan Tanah Ulayat Suku Ebudai dan Tanah Ulayat Kawa serta pengakuan kepemilikan Tanah Lele atas nama Wilem Napa oleh Suku Ebu Dai dan Masyarakat Adat Kawa.
Rangkuman tim media ini, Kepala BPN Nagekeo, Dominikus B Instatuan saat didatangi Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa, mendengar dan menerima baik keluhan-keluhan yang diutarakan.
Kepala BPN Nagekeo, Dominikus B Instatuan Beliau juga menyarankan agar meminta Camat Aesesa memediasi persoalan serta tuntutan permintaan Masyarakat Adat Labolewa agar dilangsungkan di Rumah Adat serta dilakukan Berita Acara agar diperuntukan sebagaimana mestinya dan menjadi rujukan untuk BPN dalam mengambil langkah-langkah selanjutnya sesuai tuntutan Persekutuan Masyarakat Adat Labolewa.
WBN Streaming Liputan :
WBN│Tim-Wil│Editor-Aurel