Wajah Politik Di Lembata Masih Sangat Maskulin, Perempuan Hanya Jadi Pelengkap

Pers Warisan Budaya Nusantara

“Wajah Politik di Lembata Masih Sangat Maskulin, Perempuan Hanya Jadi ‘Pelengkap”, Talkshow Nimo Tafa Institute, Yuliana Atu.

Kaum perempuan masih dianggap sebagai ‘pelengkap’ belaka oleh partai politik di Lembata saat pemilu.

Dalam konteks Pemilihan Legislatif (pileg), perempuan direkrut oleh partai politik hanya untuk memenuhi kuota caleg perempuan sebesar 30 persen.

Perempuan, sekali lagi, tidak dipersiapkan dengan proses kaderisasi yang baik.

Hal ini terungkap dalam Talkshow yang diselenggarakan oleh Nimo Tafa Institute berjudul ‘Menggugat Peran Partai Politik Dalam Mewujudkan Pilkada di Lembata yang Demokratis’ di Aula Perpustakaan Daerah Goris Keraf, Selasa, 19 Juni 2024.

Yuliana Atu, salah satu peserta talkshow, pertama kali menggugat peran partai politik tersebut.

Menurut dia, wajah politik di Lembata masih sangat maskulin karena sama sekali tidak ada keterwakilan kaum perempuan di gedung legislatif.

Aktivis perempuan ini bahkan menyebutkan kalau demokrasi tanpa kehadiran perempuan adalah demokrasi yang timpang.

Partai politik di Lembata menurut dia selama ini tidak menjalankan fungsi pendidikan politik kepada masyarakat khususnya kaum perempuan.

“Perempuan di Lembata masih sangat tertinggal soal politik,” kata Yuliana.

Selain Ketua Perindo Lembata Hani Candra dan Ketua Nasdem Lembata Yuni Damayanti, tidak ada lagi tokoh perempuan dalam percaturan politik di Lembata.

Yuliana Atu menyebutkan rendahnya keterlibatan perempuan di Lembata juga merupakan dampak dari budaya patriarki yang sangat kental di tengah masyarakat Lembata.

“Perempuan itu bukan kader sebenarnya (yang direkrut partai politik untuk pemilu) karena kalau tidak ada aturan 30 persen caleg perempuan maka bisa saja tidak ada perempuan sama sekali di partai politik,” kata Yuliana.

“Kami sangat tidak diuntungkan dalam proses budaya patriarki,” ungkapnya.

Pengamat Pemilu Elias Kaluli Making tidak sepakat kalau budaya Lamaholot dijadikan sebab musabab rendahnya keterlibatan perempuan dalam politik.

Mantan Ketua KPU ini berujar budaya bukan jadi sebab.

Kalau ada yang menyebut budaya jadi sebab rendahnya keterlibatan perempuan dalam pemilu maka orang tersebut belum memahami budaya Lamaholot seutuhnya.

“Budaya Lamaholot itu sangat memuliakan perempuan,” ungkapnya.

Dalam pembicaraan-pembicaraan adat, kaum laki-laki harus melapor hasil pertemuan kepada perempuan. Elias sekadar memberi contoh.

Kendati demikian, Elias sepakat dengan Yuliana, bahwa perempuan selama ini hanya dijadikan ‘pelengkap’ untuk memenuhi kuota perempuan 30 persen oleh partai politik.

Rata-rata partai politik memang sulit mendapatkan calon kader perempuan. Ini terjadi karena proses kaderisasi memang tidak berjalan.

“Perempuan itu jadi boneka dan dimanfaatkan oleh calon laki-laki supaya kuota perempuan terpenuhi,” tambahnya.

“Kalau perempuan dikaderkan maka perlu ada pendidikan politik supaya perempuan merasa mempunyai kapasitas dalam politik, Tetapi ini kan tidak. Partai tidak jalankan fungsi tersebut,” ungkapnya.

Ketua Partai Kebangkitan Nusantara Juprians Lamabelawa, berjanji akan membuka sekolah politik perempuan di desa-desa.

Menurut dia, PKN di Lembata merupakan partai politik baru yang mengutamakan pengkaderan terhadap perempuan sama seperti pengkaderan laki-laki.

Karena sudah punya satu kursi di legislatif, Juprians mengatakan kalau PKN akan membuka sekolah politik perempuan di Lembata.

Talkshow Nimo Tafa Institute ini menghadirkan lima orang pembicara. Mereka adalah pengamat pemilu Elias Kaluli Making, Ketua DPC PDIP Lembata Frans Gewura, Ketua PKN Lembata Juprians Lamabelawa, Kepala Kesbangpol Kanis Making, dan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus.

Keterangan Foto/HO/Nimo Tafa Institute/

Share It.....